Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2023-07-06
Words:
1,161
Chapters:
1/1
Kudos:
1
Hits:
33

pacar kedua

Summary:

Pacar kedua kamu bisa bantu ngurangin beban kayak aku, ngga?

Notes:

wei (c) oui entertainment. this is a work of fiction. i gain no material profit from this work.

Work Text:

“Terus, ya, gue paham sih kalau seminar ini masih tanggung jawab gue. Namanya juga ketua himpunan, terus seminarnya di bawah nama himpunan, ‘kan. Otomatis ketua himpunan pasti bakal keseret. Tapi, ngga tiba-tiba masalahnya dilimpahin ke gue juga, dong. ‘Kan udah ada panitia khusus, ada ketuplaknya, pula.”

Atmosfer restoran makanan cepat saji yang ramai tidak sesuai dengan suasana hati Yohan yang berantakan. Langit biru di luar jendela juga tidak menghiburnya. Raut wajah Yohan sudah kusut sejak dia baru menarik kursi dan duduk di hadapan Yongha. Begitu Yongha bertanya, berbagai macam keluhan langsung tumpah begitu saja. Sudah setengah jam lebih Yongha menyimak permasalahan di seminar tahunan yang diadakan himpunan jurusan mereka itu.

“Bener, sih. Ketuplaknya udah tau?” Yongha mencomot kentang goreng di meja dan menyuapkannya ke mulut Yohan. Seperti tidak sadar, Yohan mengunyahnya dengan cepat dan menjawab, “Nah, itu. Gue cuma lewat di depan ruang dekan kayak orang ngga punya dosa. Tiba-tiba dipanggil, ditanyain soal ini. Bingung lah gue, orang ketuplaknya ngga ngomong apa-apa. Parahnya, pas nanya ke si ketuplak, dia juga ngga tau. Ternyata, ini tuh baru masalah internal divisi acara sama narasumber aja. Mereka juga belum bilang ketuplak karena lagi berusaha nyelesaiin sendiri. Ya emang kayak bertanggung jawab, tapi kalau sampai molor banyak dari timeline gini gimana? Coba bilang ke ketuplak atau ke gue dari awal, jangan tiba-tiba gue diciduk dekan kayak begini.”

Yongha mengulurkan segelas soda yang sedari tadi terabaikan oleh celoteh Yohan. Lagi-lagi, Yohan hanya menyedotnya dengan terburu-buru dan segera melanjutkan ceritanya, “Mungkin salah gue juga kali ya, kurang sering ngecek ke panitia gimana progress mereka. Tapi, pas gue cek tiga harian lalu, kata mereka lancar-lancar aja, tuh. Emang anak divisi acara yang ngaco. Bisa ngga, sih, kalau ada masalah itu bilang aja biar diselesaiin bareng-bareng? Waktu rapat bilangnya ngga ada kendala, tapi ujungnya kayak gini. Gue juga yang kena semprot dekan.”

Yongha mengangguk-angguk sambil melanjutkan menyuapkan kentang goreng. “Terus, jadinya siapa yang ngurus narasumber? Tetep anak divisi acara apa lo?”

“Ya gue, lah! Udah telanjur disandera sama dekan.” Yohan makin bersungut-sungut, mulutnya penuh dengan kentang goreng yang entah dia sadari atau tidak ada di sana. “Padahal awalnya divisi acara bilang kalau bakal lebih cepet, karena narasumbernya dari dosen, bukan orang luar. Mereka bilang pasti dosen ngga bakal mempersulit karena ini seminar buat umum juga, pasti pengen jurusan kita keliatan bagus. Ya harusnya gitu, kalau koordinasi anak divisi acara bagus.”

“Susah ya, jadi ketua himpunan. Suka ngga tau apa-apa, tiba-tiba keseret dan jadi tanggung jawab lo.”

“Asli. Udah kayak presiden aja, segala masalah yang ada di negara dibilang salah presiden.”

“Ya tapi kadang emang salah presiden, sih.”

“Makanya tadi gue bilang mungkin emang salah gue juga.”

“Tapi lo kan udah ngejalanin sesuai tanggung jawab lo. Udah rutin ngecek sesuai jadwal juga, tapi divisi acara malah ngga ngomong ada masalah apa. Padahal, kalau ngomong ada masalah, ngga bakal lo ajak baku hantam juga.”

“Nah, itu! Gunanya konsultasi ke ketua himpunan apa kalau ngga nyelesaiin masalah? Mungkin gue emang kurang ngorek masalahnya apa gimana, sih? Bingung gue, gimana caranya jadi ketua yang dipercaya sama anggota.”

Yongha yang semula tengah menyesap soda pun menurunkannya perlahan. “Divisi lain bilang ngga, misal ada masalah?”

“Ya, bilang ke ketuplak dulu. Kalau ketuplak ngga bisa nyari solusi, baru bilang ke gue.”

“Nah. Berarti bukan lo yang ngga dipercaya. Tapi tanggung jawabnya kan bukan cuma di lo aja, tapi di semua anak himpunan. Kalau lo udah ngejalanin tugas lo dan mereka ngga, kesalahannya ya karena keputusan mereka.” Saat Yongha mengatakan itu, mata Yohan baru benar-benar bertemu dengan matanya. Sedari tadi, Yohan terlalu berapi-api bercerita. Yongha pun melanjutkan, “Yang paling penting, lo ikut bantu mereka buat nyelesaiin masalahnya, ‘kan. Itu udah cukup.”

Meski masih terlihat agak sewot, ekspresi Yohan mulai melunak. “Tumben lo ngomongnya bener.”

Yongha terkekeh mendengarnya. “Emang gue suka ngomong ngga bener?”

“Sadar diri, dong.” Yohan meraih soda di meja, tidak sadar kalau itu milik Yongha. Yongha tidak mengatakan apa-apa. Setelah menyedotnya sampai tetesan terakhir, Yohan berkata lagi, “Lo jangan lupa juga bagian lo. Bantuin kurangin beban gue.”

Atensi Yongha yang semula teralihkan oleh kendaraan di luar pun kembali terpusat pada Yohan. Dia kan tidak ikut panitia seminar, terus bagian apa yang dimaksud Yohan? Mengurangi beban?

“Lo … mau gue peluk?” Entah kenapa, interpretasi itu yang keluar dari mulut Yongha. Yohan langsung melotot, meletakkan gelas yang sudah kosong itu keras-keras, lalu mengomel, “Tuh, ‘kan, apa gue bilang! Lo suka ngomong ngga bener! Bagian lo buat bikin power point besok, anjir. Kelas pagi, ‘kan? Kurangin beban gue harus mikirin presentasi besok.”

Yongha menggaruk bagian belakang kepalanya dengan ekspresi tanpa dosa. “Ya habis, lo bilang bantuin kurangin beban. Dulu, pas lo lagi sedih-sedihnya, ‘kan suka gue peluk ….”

“Ya kan gue lagi ngga sedih sekarang, lagi emosi!”

Yongha hanya menanggapi dengan tawa kecil, lalu membiarkan Yohan melanjutkan ocehannya. Ada saja masalah-masalah himpunan yang ia ceritakan. Yongha selalu merasa kalau pacar Yohan ada dua, Yongha dan urusan himpunan. Kalau bertemu pun, yang Yohan ceritakan kebanyakan adalah lika-liku mengetuai himpunan jurusan. Tapi Yongha tidak keberatan. Dia tidak akan cemburu dengan pacar Yohan yang lain itu.

Suara tangisan anak kecil dari keluarga yang mengitari meja paling besar mendistraksi obrolan mereka. Untuk sejenak, mereka sama-sama menoleh ke anak kecil yang tengah meronta-ronta di pangkuan orang tuanya itu. Suara tangisannya bercampur dengan lagu pop, tawa anak-anak berseragam SMA, dan wanita di kasir yang memanggil nama-nama pelanggan. Yongha kembali menatap Yohan. “Mau pulang sekarang? Tadi kata lo cuma bisa sampai jam lima.”

“Ya udah, yuk.” Yohan membereskan sampah di meja, lalu membuangnya sembari berjalan ke luar. Mereka melangkah dengan tangan Yongha di dalam saku dan tangan Yohan yang sibuk mengetik entah apa di ponsel. Mungkin urusan himpunan lagi. Pacar keduanya. Beberapa pasangan lewat sambil bergandengan tangan. Yongha jadi tergoda untuk mengatakan kalau tawarannya tadi masih berlaku.

“Yoh.”

“Yong.”

Mereka malah mengatakan itu secara bersamaan. Langkah mereka pun tersendat sebelum sempat mencapai tempat parkir. Yohan memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu memberi isyarat dengan gerakan dagunya. “Lo duluan.”

“Lo dulu aja, deh.”

Wajah Yohan berubah cemberut. Namun, tak sampai lima detik, raut wajahnya berubah menjadi campuran antara gugup, bingung, dan senyum yang ditahan mati-matian. “Yang tadi, kalau … kalau kamu mau, boleh, kok.”

Kamu? Dahi Yongha mengernyit. “Yang mana?”

“Yang kamu bilang tadi.”

“Yang mana? Kan banyak?”

“Yang … buat ngurangin beban?”

Oh. Yongha langsung mengerti. Namun, segaris senyum jahil malah terlintas di bibirnya. “Iya, power point, ‘kan? Nanti malem, ya.”

Seketika, raut jengkel pun kembali muncul di wajah Yohan. “Lo tuh … ah, ya udah, deh! Gue tunggu power point-nya!”

Tawa Yongha pun merekah. Kali ini, dia meraih tangan Yohan sambil berkata, “Iya, iya. Nanti ya, jangan di deket parkiran kayak gini juga.”

Sembari mereka berjalan, Yohan melanjutkan omelannya. Kali ini soal Yongha, yang dia bilang tidak to the point, tidak jelas, padahal Yohan sendiri yang begitu. Lalu ocehannya kembali ke masalah-masalah himpunan. Lagi-lagi, Yongha tidak keberatan. Yang penting, kalau pacar kedua Yohan membuat dia kesal, Yohan selalu lari ke pacar pertama. Seberapa pun sibuknya Yohan dengan pacar kedua, ujungnya yang bisa memeluk Yohan cuma pacar pertamanya, ‘kan?