Work Text:
Malam itu Riris telah menyelesaikan pekerjaannya. Memang lebih banyak dari biasanya, mengingat dirinya yang baru saja pindah tugas ke tempat ini, tetapi masih menyisakan waktu senggang sebelum beristirahat.
Dan tentu saja, rasanya tidak sempurna jika ia tidak menjaili kepala sipir sekaligus abang kembarnya yang sedang berjaga malam. Maka ia memutuskan untuk menuju ke pos abangnya, Rio, yang hanya berjarak dua blok dari ruangannya.
Meski malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hingga perempuan itu dapat mendengar suara sepatunya sendiri, tetapi ia tidak merasa takut sedikit pun. Toh, ia yakin tidak akan ada yang berani macam-macam kepadanya.
Hingga ketika ia hendak mengetuk pintu pos Rio, tangannya tertahan setelah mendengar suara asing dari ujung lorong. Dengan kunci yang ia bawa, Riris membuka gerbang, menutupnya kembali, dan mencari sumber suara itu.
Dan pemandangan yang dilihatnya sulit untuk diterima akal sehatnya.
Mulutnya begitu kelu untuk sekadar menyebut nama sosok yang dikenalnya. Sosok yang tengah dikerubungi oleh beberapa pria berseragam tahanan, sosok yang tak lagi menggambarkan seorang kepala sipir.
Pakaian lelaki itu tak lagi terpasang dengan semestinya, memperlihatkan dada besar dan penisnya yang mengacung tegak. Tak lupa dihiasi dengan cairan kental di berbagai bagian tubuhnya, yang tampaknya keluar dari penis-penis yang ada di sekelilingnya.
Lelaki itu terbaring, membiarkan tubuh sintalnya menjadi tontonan dan objek untuk disentuh. Kakinya mengangkang lebar, terisi dengan penis yang sibuk keluar masuk di lubang tengah sana. Tangannya menggapai penis-penis yang menunyut untuk disentuh. Mulutnya pun tak dibiarkan menganggur, diisi dengan penis lain yang memperlakukan mulut itu sebagai lubang pemuas hasrat.
"Mas... Mas Rio..."
Riris memanggil dengan lirih. Meski di tengah kesibukannya, Rio dapat mendengar suara yang begitu familiar untuknya.
Rio melepas penis di mulutnya, mengarahkan pandangannya kepada sosok lain yang berjarak tujuh langkah darinya, dan tersenyum tipis. Riris merinding dibuatnya.
"A-ah... Ris, sini, ikut Mas..."
Ucapan lelaki itu membuat para tahanan mengalihkan perhatiannya kepada sang perempuan asing. Wajah yang mirip dengan si kepala sipir, membuat mereka berani untuk mendekati perempuan itu.
Riris refleks menggeleng dan perlahan melangkah mundur, tetapi gerakannya kalah cepat dari dua orang tahanan yang mencengkeram tangan dan bahunya. Keahlian bela dirinya seakan tak berguna, terpaksa dirinya mengikuti tanpa perlawanan.
"Oh ini, adek kembarnya. Ga kalah gede ya, tete dan pantatnya."
Salah satu dari mereka menepuk bokong perempuan itu, sedangkan yang lainnya mengangguk dan mengarahkan tangannya untuk meremas payudara perempuan itu di hadapan abangnya.
"Tenang aja Dek, abangmu udah ceritain ke kita. Dia tau kamu bakal seneng sama kita, toh gen lontenya sama kan."
Bukannya mengelak, Riris malah tak sengaja mengeluarkan lenguhan dari mulutnya. Tubuhnya memang sensitif, tetapi bukan berarti ia harus terbawa suasana di saat seperti ini.
"Anjing, emang bener kakak adek sama aja lontenya."
Si kembar mengetatkan lubang mereka setelah mendengar kalimat itu, meremas penis di dalam mereka seakan meminta lebih.
Keduanya saling berhadapan satu sama lain, menyaksikan dengan jelas kembarannya yang sama-sama tengah dimainkan dada besarnya oleh para tahanan. Tangan-tangan itu bergantian meremas dada mereka serta memilin puting yang mencuat di sana, membuat keduanya refleks membusungkan dada mereka untuk meminta lebih, dan hanya dibalas dengan tamparan yang memberi bekas kemerahan—seakan mengejek betapa murahnya kakak beradik itu.
Keduanya juga sibuk mengejar klimaksnya masing-masing, bekerja dengan keras menaik-turunkan tubuh mereka di atas penis yang tertanam di bawah sana. Beruntung memiliki fisik yang kuat, mereka kuat melakukannya berkali-kali dengan penis yang berbeda-beda.
Tak ada satu pun tangan mereka yang membiarkan ada penis yang menganggur. Dengan lihainya mereka beri pijatan, kocokan, dan diselingi dengan sentuhan di ujung kepalanya.
"Jangan mau enaknya doang, yang berisik dong, perek. Contohin ke adeknya."
Salah satu dari mereka menampar pipi Rio setelah mencekik lehernya.
"H-ah... Iyah, mau peju yang banyak, semburin peju ke memek Rio, ke badan Rio... Hamilin Rio..."
"Pinter, anjingnya pinter banget."
Pria itu menyemburkan pejunya ke arah lidah Rio yang terjulur, begitu haus akan mani. Tak lupa diakhiri dengan meludahi mulut si sipir tampan.
Kembar yang lebih muda terpana akan tingkah kakaknya, membuat tubuhnya secara tak sadar semakin memanas.
"Giliran adek jalangnya, buruan."
Rambut hitamnya ditarik, pipinya ditampar dengan penis yang sedari tadi dipijatnya. Namun, kepalanya terlalu kosong untuk tau apa yang harus ia katakan dengan lantang.
"Cepetan, anjing."
Pria di bawahnya berucap tak sabar, dilanjutkan dengan penisnya yang dihentak kasar. Wajah perempuan itu dibuatnya berantakan dengan putih yang mendominasi matanya, serta lidahnya yang terjulur keluar. Payudara besarnya bergoyang hebat, mengundang remasan dari tangan-tangan nakal.
"M-Mau kontol, kontol yang banyak... Hngg—dipejuin kaya Mas Rio, mau dibikin hamil kaya Mas Rio... Enak, mau dikontolin terus..."
Rio merasa seakan dirinya menjadi contoh buruk untuk adiknya, tetapi persetan, kini ia hanya ingin mengejar puncaknya. Ia meraih penisnya sendiri untuk diberi stimulus, dan menggunakan satu tangan lainnya untuk memainkan puting di dadanya.
"Dek, Mas duluan..."
"Adek juga ikut, Mas..."
Tak lama setelah mempercepat gerakan pinggul mereka, keduanya mencapai klimaks dengan cairan yang menyembur dari kemaluannya masing-masing. Masih terengah-engah, keduanya tumbang dan menyentuh lantai. Keduanya tak lagi menghiraukan lelaki-lelaki mesum di sana, menikmati sisa fase tinggi mereka sembari berharap dapat beristirahat setelah ini.
"Kakaknya barusan pipis, tuh, Dek. Abis ini kamu yang dibikin pipis, ya?"