Work Text:
Suguru tidak merasa senang dengan kehidupannya.
Di masa-masa akhir musim tanpa pertandingan, Suguru diseret oleh Miguel ke restoran yang baru saja dibuka di kawasan Otemachi dan berafiliasi dengan hotel Four Seasons. Miguel bersumpah tempat itu adalah restoran Prancis terbaik yang pernah ada di dunia, catat, di dunia, dan Suguru terpaksa pergi karena Zari sangat ingin mencoba makanan di sana. Sejujurnya, Suguru tidak terlalu menyukai masakan mewah; dia lebih suka kembali ke kondominiumnya, memesan ayam goreng bagian paha dari KFC dan menikmatinya sambil duduk santai di sofa depan televisi. Akan tetapi, ketika Miguel menyebut nama Zari, Suguru tidak bisa menolak.
“Baiklah,” katanya, karena dia pun tidak memiliki kegiatan apa pun untuk dilakukan. Tidak ada, kecuali diam di Tokyo, dengan Miguel. Sebenarnya tidak masalah, jujur saja; hal ini jauh lebih baik ketimbang menonton siaran ulang pertandingannya dengan Chiba Jets — yang berakhir dengan kekalahan di pihaknya — apalagi pada momen di mana Suguru melakukan lemparan tiga poin di detik-detik terakhir dan meleset. Dia benar-benar kesal dan menghabiskan hari-harinya dengan minum hingga mabuk dan jatuh pingsan (di rumah, bukan di pub; setidaknya Suguru bisa berpikir waras untuk yang satu ini), sampai Miguel dan Zari datang berkunjung ke tempatnya. Zari membiarkannya menginap selama dua minggu terakhir, merawatnya hingga pengar paling menyiksa itu hilang, bahkan membiarkan Suguru bermain dengan anak-anak mereka meskipun kondisinya sangat kacau. Sedikitnya, dia harus mentraktir istri Miguel makan.
“Baiklah,” katanya lagi. “Tapi hanya karena Zari menginginkannya. Aku akan mengajaknya pergi ke luar untuk makan malam. Dia pantas mendapatkannya.”
“Berhenti menggoda istriku,” kata Miguel tanpa mengalihkan pandangan dari iPadnya di mana ia tengah memesankan meja untuk mereka semua.
“Dia pantas untuk diajak kencan oleh orang sehebat diriku, aku masih tidak mengerti kenapa dia mau denganmu,” balas Suguru.
“Selamat datang kembali, Sugu-chan, senang melihatmu sudah sepenuhnya sadar sekarang, jadi mungkin kau bisa segera angkat kaki dari rumahku dan kembali ke rumahmu, tapi berjanjilah kau tidak akan mabuk seperti orang bodoh lagi,” kata Miguel acuh tak acuh, jari-jarinya masih mengesat permukaan iPad.
Suguru hanya bisa tersenyum. Yah. Dia memang berhutang budi pada Miguel.
Ternyata La Fourchette des Ducs (dan nama macam apa itu? Sumpah, seharusnya ada semacam undang-undang di Jepang yang menyatakan bahwa kau tidak perlu pergi makan di tempat yang namanya bahkan tidak bisa kau lafalkan, pikir Suguru) masih memiliki daftar tunggu yang panjangnya tidak masuk akal; penuh dipesan hingga dua bulan kemudian.
“Memang apa yang sebenarnya hebat dari tempat itu?” tanya Suguru. “Ada banyak restoran Prancis di Tokyo, bung. Minta Zari untuk memilih tempat lain yang ingin dicobanya.”
“Koki di La Fourchette des Ducs katanya sangat hebat,” balas Miguel. Dia mengucapkannya dengan cara yang sangat kagok, T dan S-nya keras, dan kendati Suguru juga tidak tahu bagaimana pelafalan yang sebenarnya, tapi dia sangat yakin bahasa Prancis tidak terdengar seperti itu. Dia membuka mulutnya untuk berkicau sedikit tentang aksen aneh itu kepada Miguel, tapi kemudian Miguel menambahkan, "Aku bisa bertanya pada Nanami. Mungkin dia bisa memberi kita meja."
“Nanami? Maksudmu Kento Nanami dari Sun Rockers?”
“Memang ada berapa banyak Nanami yang kau kenal?”
“Apa hubungannya Kento dengan La Four – Four — maksudku, restoran ini?”
Miguel berkedik. “Dia yang memberitahuku soal ini. Katanya, si koki merupakan teman baiknya, senior semasa kuliah atau apa lah. Dia menggembar-gemborkan soal ini ke semua orang, sepertinya seluruh tim yang berpartisipasi dalam liga musim kemarin tahu. Aku hanya membahasnya sepintas dengan Zari, kemudian dia mengecek siapa koki restoran itu dan membaca ulasan tempatnya juga, setelah itu dia jadi sangat heboh. Oleh karena itu aku harus mendapatkan meja untuk kita di sana, dengan cara apa pun.”
Suguru sedikit kaget akan fakta ini. Kento Nanami, berteman baik dengan seorang koki ternama, dan memaksa orang-orang untuk mendatangi restoran sahabatnya. Kento Nanami yang punya kepribadian seperti tembok gedung olahraga itu? Dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat Miguel bangkit dari sofa dan berjalan menuju tangga, mungkin untuk mengambil ponselnya dan menelepon Kento.
“Oke,” kata Miguel sekitar tiga puluh menit kemudian saat ia kembali ke ruang tengah. Suguru agak mengantuk, hangatnya sinar matahari bulan Mei di rumah Miguel membuat matanya berat, jadi dia hanya berbaring di sofa dan dengan malas mengusap-usap perut, kemejanya sudah kusut dan lusuh. “Nanami menelepon temannya, dia mendapatkan tempat untuk kita. Hari sabtu ini, jam 8 malam.”
“Oke,” Suguru menghela napas, tidak terlalu ambil peduli.
“Kau harus berpakaian yang pantas, Suguru.”
“Ya Tuhan,” Suguru menghela napas. “Jangan bilang kita bakal datang ke tempat mewah di mana setiap tamu harus menggunakan dasi dan menyediakan sepuluh jenis garpu hanya untuk makan.”
Miguel mengernyitkan dahi. “Tentu. Memangnya kau tidak menduga semua ini?”
“Sudahlah, aku mau tidur siang saja.”
Meskipun pada awalnya hanya membual, tapi Suguru benar-benar tertidur. Zari mengguncang bahunya, memanggilnya untuk makan malam bersama, Suguru mengaduh sesaat karena lehernya terasa sakit — akibat tubuh jangkung yang ditekuk di sofa selama beberapa jam — dan disambut tawa dari anak-anak Miguel di meja makan karena masih ada sisa iler di sudut bibirnya.
Selepas tidur tadi, pikirannya agak kacau tapi juga berani. Suguru tiba-tiba kepikiran untuk datang ke restoran Prancis itu menggunakan celana jins robek-robek dan singlet hitam favoritnya.
Tentu saja dia tidak datang menggunakan setelan pakaian sembrono tersebut. Dia kembali ke kondominiumnya di hari Kamis dan meringis jijik saat melihat kekacauan di dalam sana; botol dan kaleng bir kosong di mana-mana, bekas makanan cepat saji yang mulai berjamur di atas meja dan konter dapur. Dia bisa saja menyewa jasa pembersihan, tapi tidak dilakukannya. Dia menghabiskan sepanjang harinya dengan membereskan rumah; membuang semua hal yang bau ke tempat sampah, membiarkan penyedot debu dan alat pel otomatis bekerja, serta menyemprotkan wewangian ke setiap sudut ruangan sebab duh, semuanya benar-benar bau. Suguru menyelesaikan agenda bersih-bersih hingga petang dan merasakan tubuhnya nyeri saat hendak pergi tidur, tapi hei, ini rasa nyeri yang bagus — dan jelas tidak berbahaya seperti yang dialaminya saat mabuk berat. Tapi wajar saja, toh tekanan batinnya saat itu benar-benar tinggi. Menghadapi kekalahan di semifinal, terlebih lagi disebabkan lemparan tiga poinnya yang meleset, pastinya bisa membikin siapa pun hilang akal selama beberapa hari, bahkan minggu.
Suguru menghabiskan hari Jumatnya dengan bermalas-malasan; bermain permainan daring dengan akun palsunya, saling kutuk dengan orang asing di internet, menonton acara menggelikan di televisi, tapi dia tidak menonton satu pun siaran ulang dari pertandingannya musim ini.
Dia mengenakan setelan jas pada Sabtu malam, abu-abu arang, dasi biru tua, mengikat seluruh rambutnya kuncir kuda, dan menuju ke lobi untuk menunggu Miguel. Suguru harus mengakui: dia merasa nyaman seperti ini, setelah Miguel dan Zari merawatnya — memaksanya untuk berfungsi normal kembali —, rasanya menyenangkan ketika dia bisa kembali berdandan untuk menghabiskan waktu di luar ruangan, menantikan makan malam yang semoga saja berjalan baik, dan menganggap bahwa pertandingan-pertandingan di musim kemarin itu tidak pernah terjadi.
Dia senang Miguel menawarkan diri untuk mampir dan menjemputnya; yang mana berarti Suguru bisa menyicip beberapa gelas anggur berkualitas malam ini karena dia tidak perlu menyetir. Tidak akan sampai mabuk, tentu saja. Dia tidak akan melakukan kekacauan itu pada dirinya sendiri ataupun Miguel dan keluarganya. Mungkin hanya sampai di titik agak mabuk, di mana segala sesuatu terasa hangat, lembut, dan kabur sehingga dia bisa merasa rileks dan benar-benar menikmati malam setelah kekalahan timnya yang terakhir.
“Kau terlihat tampan,” puji Zari, ketika mereka baru tiba di depan gedung tempat Suguru tinggal. Suguru terenyak di kursi belakang, sedikit melonggarkan ikatan rambutnya yang terlalu ketat. Zari menoleh dari kursi depan dan meraih dasi Suguru untuk merapikannya. “Warnanya cocok untukmu, Suguru. Membuat warna matamu lebih terlihat.”
“Sungguh?” Suguru nyengir. Dia tidak pernah bosan dengan pujian.
“Sungguh.” Zari tersenyum balik, dan Miguel lekas memotong dengan, “Berhenti menggoda rekan satu timku, dan juga jangan menggoda koki kita di restoran nanti, Sayang.”
“Kau bercanda ya? Sudah kubilang berapa kali kalau aku menganggap Suguru seperti anakku sendiri,” kata Zari sungguh-sungguh dan Suguru — Suguru sudah menyerah untuk melakukan koreksi pada pernyataannya selama bertahun-tahun (aku bukan anakmu, ya Tuhan, hanya karena kau ingin anak laki-laki bukan berarti kau harus mengangkatku jadi anak, katakan aku adikmu atau semacamnya, dan Zari tidak pernah menggubris semua itu, tentu saja), jadi dia hanya bertanya, “Apa? Bagaimana mungkin Zari langsung terpikat pada koki ini bahkan sebelum kita mencoba masakannya?”
“Dia mengeceknya di google, aku sudah bilang ‘kan,” kata Miguel.
“Tinggi, mata indah, dan senyum menawan. Benar-benar idamanku,” kata Zari jahil sambil mengelus pundak Miguel.
“Kau sudah menikahi atlet paling seksi se-Afrika,” dengus Miguel. “Hanya aku yang berhak memegang titel pria tinggi dengan senyum menawan di tempat ini.” katanya lagi sambil tertawa.
Restorannya … bagus, Suguru agak terkejut. Pasalnya, dia kira dia akan mendatangi tempat yang pengap dan kelewat mewah; dengan pelayan angkuh dan para tamu yang sombong, tapi ternyata tempat itu terasa begitu hangat dan nyaman. Hanya ada dua garpu di tempatnya, bukan sepuluh seperti yang dia bayangkan, dan dia tahu persis untuk apa keduanya, terima kasih banyak. Pencahayaannya agak temaram seperti yang biasa didesain untuk restoran semacam ini, namun dapurnya dibiarkan terbuka dengan lampu menyala di balik dinding kaca sehingga tamu-tamu bisa melihat langsung bagaimana para koki memanggang, mengiris sesuatu, membuat saus, dan menyajikan makanan. Berbeda dengan interior ruang restoran yang didominasi bata berwarna merah tua dan kayu tebal, seisi dapur tampak terbuat dari baja dan kaca, sangat modern dan berkilau. Entah bagaimana caranya, tapi dua hal yang bertolak belakang itu terasa nyambung begitu dipadukan alih-alih bentrok.
Ada banyak orang di dapur; Suguru tidak bisa melihat mana dari mereka yang jangkung, bermata indah, dan memiliki senyum menawan. Yah, bukan berarti dia mencoba mencarinya juga sih. Hanya sekilas pandang saja.
Ada beberapa orang terkenal yang juga hadir di restoran tersebut, beberapa di antaranya mengenali Miguel dan Suguru, jadi mereka banyak berjabat tangan hari ini. Ada seorang jurnalis dari Yomiuri, penyiar berita NHK, Naoya Zenin dari Brave Thunders, dan Yuuji Itadori — anggota grup idola remaja merangkap teman satu kelas Mimiko dan Nanako. Anak itu menghampirinya begitu ia duduk, menepuk punggung Suguru dan menyapanya dengan ceria.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Suguru.
“Makan,” cengirnya. “Makanan di sini enak-enak. Apa Getou- san berkunjung untuk pertama kalinya?”
“Ya,”
“Aku sering dengar review tentang restoran ini dari sejak pertama mereka buka, jadi aku memutuskan datang ke sini beberapa bulan lalu. Eh, jadi keterusan, dan aku ke sini setiap pekan sejak saat itu.”
“Setiap pekan?” ulang Suguru tidak percaya.
“Ya. Biasanya aku tidak suka makanan Prancis, tapi apa boleh buat kalau makanannya enak, iya ‘kan?”
Zari terlihat sangat tidak sabar begitu Yuuji kembali ke mejanya. “Astaga, aku sangat penasaran,” katanya, mata melihat senarai makanan di buku menu. “Aku tidak pernah mendengar atau pun melihat ulasan buruk tentang tempat ini. Koki itu pasti seorang penyihir atau semacamnya.”
“Yah, mungkin saja. Hal seperti itu ‘kan memang ada; bisa jadi dia merapal mantra di tiap makanannya supaya orang-orang ketagihan dan kembali lagi ke tempat ini. Sihir-sihir dengan bantuan roh halus semacam itu,” kata Suguru. Baik Miguel maupun Zari memandangnya dengan telisik aneh — seakan-akan berkata, ini sudah abad dua puluh satu dan kau masih berbicara tentang takhayul — tapi Suguru tidak peduli, dan lebih memilih untuk melihat buku menu.
Ada menu pencicipan, Suguru refleks mendengus begitu melihatnya. Jika bicara soal definisi makanan bagi Suguru, itu berarti sesuatu dengan porsi normal, bukan makanan kecil-kecil yang ditata dengan indah di atas sendok yang akan membuatnya mendambakan irisan pizza atau paha ayam goreng KFC yang bisa didapatkannya di lantatur. Suguru punya pengetahuan cukup tentang makanan mewah — berkat serentetan gala dinner yang terpaksa dihadirinya sebagai atlet — dan dia tahu bahwa hal itu tidak cocok untuknya.
Zari memerhatikan cara Suguru mendecak jadi dia menyambar, “Aku akan memesankan makanannya untukmu,”
Suguru mengangkat bahu, karena dia menyadari bahwa lebih dari separo kosakata yang ada di menu itu ditulis dalam bahasa Prancis, dan sungguh, dia dikenal sebagai pemain basket pro yang pernah mencetak rekor dalam pertandingan, oleh karena itu dia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri di depan umum dengan mencoba melafalkan nama makanan yang bisa membuat lidahnya keseleo. Dia senang memerhatikan Miguel bersusah payah mengucapkan beef bourguignon, dan gagal. Memalukan. Suguru tidak mau terlihat bodoh seperti itu.
Pada akhirnya, Zari memesankan makanan untuk mereka semua, dan dia melakukannya hanya dengan menunjuk nama makanan di menu tanpa berusaha mengucapkannya. Sebuah cara pintar yang tidak terpikirkan oleh Suguru dan Miguel. Wanita itu memesan steak frites sebagai hidangan utama, lalu escargots, duck rillettes, dan foie gras sebagai hidangan pembuka.
“Ya Tuhan, Zari,” Suguru mengerang ketika hidangan pembuka mereka tiba. “Siput? Yang benar saja?”
Dia benar-benar ogah menyentuh hidangan siput itu ketika Zari menawarkan; menyodorkan satu dengan penjepit, cangkangnya masih menempel, ya Tuhan, sungguh sebuah keajaiban karena Suguru masih belum kehilangan nafsu makannya. Miguel memutuskan untuk mencobanya, dan baik dia atau pun Zari mengatakan escargots itu benar-benar enak. Suguru menundukkan pandangan agar tidak perlu melihat teman-temannya mengunyah siput, sumpah, ia tidak mau muntah di tempat.
Suguru memotong foie gras; dia pernah makan yang satu ini sebelumnya, dan dia menyukainya. Akan tetapi, Miguel menyipitkan mata ke arahnya lalu berkata, “Kau tidak mau makan siput, tapi kau makan hati angsa yang digemukkan secara sadis?”
“Apanya yang sadis?” sergah Suguru. “Cuma hati angsa kok,”
Miguel geleng-geleng kepala. “Cek di google, Bung.” katanya, lalu menatap Suguru dengan tatapan jijik yang nyaris tidak bisa disembunyikan saat dia melahap potongan foie gras pertamanya. Sekonyong-konyong, Suguru tidak bisa lagi memikirkan Miguel, atau siput-siput menjijikan, atau apa pun karena foie gras itu praktis meleleh di lidahnya, rasanya begitu gurih dan lembut. Suguru mau tidak mau menutup mata saat ia menelan makanannya. Astaga. Ini adalah kepingan surga yang jatuh ke bumi.
“Kau kelihatan seperti sedang orgasme, Suguru, hentikan.”
Suguru tidak mengatakan apa pun selain memelototi Miguel, dia tidak bisa berucap ketika lidahnya sibuk bekerja sebagai indera pengecap. Foie gras ini adalah makanan terbaik yang pernah ia coba, bahkan, tanpa mengurangi rasa hormat, masakan ibunya pun tidak bisa disandingkan.
Zari terlihat senang. “Aku tahu kalau tempat ini memang layak untuk dikunjungi,” katanya sambil berseri-seri.
Sisa makan malam berlanjut dengan kesan yang kurang lebih sama: duck rilletesnya luar biasa, halus seperti mentega dan tidak terlalu asin seperti yang pernah Suguru coba di restoran lain. Steaknya dimasak dengan sempurna, marbling- nya luar biasa, dan sangat empuk hingga Suguru tidak perlu susah payah mengunyahnya.
“Oke,” akhirnya dia berucap, ketika mereka sudah selesai menyantap hidangan utama dan dihadapkan dengan ramekin berisikan crème brulee dengan lapisan karamel paling indah di dunia. “Oke, aku setuju kalau makanan di sini enak. Lebih dari enak, sebenarnya.”
Zari nyengir, “Apa kau mau memuji kokinya secara langsung?”
"Apa maksudmu?"
Dia menunjuk ke arah samping dengan dagunya. “Dia di sebelah sana, lihat, dia sedang bicara dengan Itadori.”
Suguru menoleh, dan memang ada seorang lelaki di meja Yuuji; bertubuh jangkung, berambut nyaris keperakan, mengenakan pakaian koki berwarna putih, tengah berjabat tangan dengan Yuuji sambil tersenyum. Kemudian dia berbalik, berjalan ke arah yang sama dengan meja Suguru, senyum masih tercetak di bibirnya dan Suguru langsung duduk tegak. Dia mengira Zari melebih-lebihkan, kiranya sebutan jangkung, tampan, dengan senyum menawan itu hanya serentetan omong kosong tapi ternyata tidak. Suguru memerhatikan saat koki itu berjalan di sekitar ruang makan, dia berhenti di setiap meja untuk bertukar kata dengan setiap pengunjung sambil menjabat tangan mereka. Bahkan dari kejauhan, Suguru dapat melihat garis otot bisepnya yang tegas di balik setelan putih yang ia kenakan.
Sial. Suguru menggigit bibir, mencoba untuk tidak menatap pria itu terlalu lama. Bintang basket, dia adalah seorang bintang basket. Dia bisa bersikap tenang, semuanya bisa dia kendalikan. Tidak peduli seberapa seksi pria itu, atau sudah seberapa lama dia tidak bercinta — dengan rasa pedih yang samar-samar, Suguru menyadari bahwa dia bahkan tidak dapat mengingat kapan terakhir kali dia bercinta. Jauh sebelum babak semi final , tentunya.
Serangkaian hal yang berputar di kepala Suguru mendadak berhenti saat Satoru menghampiri meja mereka. Dia menjabat tangan Zari terlebih dahulu, tegas tapi bersahabat, “Halo, saya Satoru Gojo, executive chef di La Fourchette des Ducs.” Dia melafalkan kosakata bahasa Prancis itu dengan sempurna, dan untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh Suguru terasa merinding. “Terima kasih sudah datang malam ini. Saya harap hidangan kami sesuai dengan selera Anda?”
“Lebih dari sesuai,” kata Zari. “Hidangannya luar biasa.”
Satoru tersenyum padanya, kemudian menatap Miguel. “Miguel- san, selamat datang,” katanya, mereka berjabat tangan, lalu dia mengulurkan tangannya pada Suguru. “Dan tentu saja, Getou- san, senang kalian bisa hadir di restoran kami malam ini.”
Tangannya besar dan kasar; kulitnya terasa kering dan panas di tangan Suguru, benar-benar tangan seorang koki, hanya saja lebih besar, dan tiba-tiba saja Suguru membayangkan bagaimana jika sepasang tangan itu memegangnya di pinggang, menahannya di atas meja makan atau konter dapur. Dia pasti sudah gila.
Satoru menatap Suguru, tidak lagi tersenyum — matanya berwarna biru laut yang intens dan Suguru tidak bisa mengalihkan pandangan ataupun melepas jabatan tangannya. Dia tidak tahu berapa lama dia duduk di sana, memegang tangan Satoru dan balas menatapnya, sampai Miguel pura-pura terbatuk dan momen itu pecah. Satoru menarik tangannya seolah-olah dia bisa terbakar jika membiarkannya bersentuhan dengan Suguru lebih lama lagi.
Suguru menangkap Zari lewat ekor matanya; tengah duduk tegak dengan mulut yang bergerak sedemikian rupa, yang mana berarti dia sedang menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan tawa. Melihat respons demikian, Suguru merasakan wajahnya mulai terbakar.
Suguru tetap diam saat Satoru dan Miguel membangun konversasi kecil dan astaga, bahkan suara Satoru terdengar seksi sekalipun dia berbicara dengan nada monoton yang aneh. “Saya senang Anda menikmati makan malamnya,” kata Satoru, dan Suguru membayangkan bagaimana pria ini memberi perintah di dapur dengan suara itu dan – tidak, dia harus berhenti memikirkan Satoru ketika berada di dapur atau apa pun itu.
“Ya. Kami berhutang pada Nanami. Tapi sangat mengagetkan kau bisa memberikan meja untuk kami dalam waktu sesingkat itu meskipun lewat rekomendasi Nanami. Kalian sudah lama berteman, ya?”
“Ya, kami satu universitas, bermain untuk tim basket kampus bersama. Tapi yah, berbeda dengannya yang melanjutkan karir sebagai pebasket profesional, aku malah bekerja di dapur.” Kata Satoru, mengubah gaya bicaranya dari formal ke kasual.
Pernyataan Satoru membuat Suguru mengangkat wajah. “Kau bermain basket?” tanyanya, mata terbuka lebar, dan dia menahan napas saat Satoru beralih menatapnya.
“Aku sangat menyukai basket,” tuturnya. “Aku menonton pertandingan kalian di tiap musim, sebenarnya. Kalian hebat.”
“Terima kasih,” kata Suguru, sejenak merasa tidak pantas menerima pujian karena dia tidak merasa sehebat itu. Suguru membuat timnya gagal mencetak angka dan kalah di babak semi final. Akan tetapi, Satoru membungkuk rendah sehingga dia sejajar dengan Suguru, dan tiba-tiba Suguru tidak bisa memikirkan pertandingannya yang buruk, ikat rambutnya yang melonggar, atau Zari dan Miguel yang mulai menahan tawanya kembali. Kalau boleh jujur, isi kepalanya jadi agak carut marut, malah. Sulit untuk berpikir jernih ketika ada pria menawan yang menatapmu dengan intens seakan-akan mampu mengubah otakmu menjadi genangan air.
“Aku sungguh-sungguh kok,” ujarnya; dia benar-benar terdengar tulus alih-alih bersikap laiknya penjilat, rona suaranya berubah hangat dan rendah serta tidak monoton. “Menurutku, permainan kalian keren di musim ini. Tidak perlu merasa buruk hanya karena satu game. Selalu ada tahun depan.”
Astaga, sepertinya dia bisa membaca pikiran Suguru menggunakan tatapan lasernya. Untuk berjaga-jaga, Suguru dengan cepat menutup pikiran-pikiran memalukan seperti ya Tuhan, kau seksi atau; ya ampun, lengan-lengan sialan itu tampak menggoda atau; kapan restoranmu tutup, karena aku ingin membawamu pulang ke tempatku dan mengajakmu bercinta sepanjang akhir pekan. Dan – oh, pemikiran terakhir itu tidak baik, sangat tidak baik.
“Terima kasih,” Suguru akhirnya bergumam lagi.
Satoru menegakkan tubuh dan mengangguk pada mereka. “Sekali lagi terima kasih sudah datang, senang jika kalian menikmati hidangannya,” kata Satoru, suaranya kembali datar seperti semula. “Jika kau ingin kembali dan tidak bisa mendapatkan meja lewat reservasi biasa, jangan ragu untuk meneleponku.” Dia mengeluarkan selembar kartu nama, lalu menuliskan sesuatu di atasnya. “Aku sudah mencantumkan nomorku di sini.”
Baru setelah dia berjalan pergi, Suguru menatap bodoh ke arah Satoru dan memerhatikan bagaimana celana putih itu menarik ketat bokongnya. Sial, bahkan bokongnya pun seksi. Sejurus, Miguel dan Zari tertawa nyaris terbahak-bahak, dan Suguru kembali tersadar.
“Kalau saja kau bisa melihat wajahmu sendiri!” Zari terkikik.
“Sepertinya Suguru baru dapat gebetan,” goda Miguel.
“Sepertinya mereka saling gebet,” kata Zari, sambil menunjuk kartu nama di tangan Suguru dengan dagunya, dan saat itulah Suguru menyadari bahwa dia adalah satu-satunya orang di meja itu yang mendapatkan kartu nama Satoru. Dia membaliknya untuk melihat nomor ponsel yang ditulis dengan tinta hitam tebal tepat di antara baris “Satoru Gojo” dan “La Fourchette des Ducs”.
Dia memasukkan kartu itu ke dalam saku dan menghabiskan makanan penutupnya, ogah melihat Miguel dan Zari yang terus menggodanya. Tetapi, dia merenungkan apa yang dikatakan Satoru tentang performa timnya, dan menakjubkan karena hatinya terasa sedikit lebih ringan, entah bagaimana bisa — seakan-akan apa yang dikatakan Satoru padanya berhasil mengangkat sebagian beban kegagalan itu dari pundaknya. Dia bermain dengan baik sepanjang liga B, cukup baik untuk membantu timnya mencapai babak semi final; ada tahun depan, dan Suguru harus percaya pada dirinya sendiri. Dia tahu dia bisa sampai pada titik itu lagi tahun depan, bahkan lebih. Dia hanya membutuhkan orang asing — seseorang yang bukan orangtuanya, atau keponakan-keponakannya, atau Miguel, atau Zari —untuk memberikan perspektifnya.
Ketika dia akhirnya membayar tagihan dan hendak keluar dari restoran, Suguru melihat ke arah dapur untuk terakhir kalinya melalui dinding kaca tebal.
Satoru tidak terlihat di mana pun, dan hal itu membuatnya kecewa. Aduh.
Masalahnya adalah, Suguru bisa saja melupakan Satoru dalam beberapa hari, bisa saja dia menjalin beberapa hubungan kasual dengan pria lain di sepanjang musim panas, tapi dia tidak melakukannya. Malah, dia membuat kesalahan fatal dengan mencari “Satoru Gojo” di Google.
Satoru berusia 30 tahun — seusia dengannya, hanya saja beberapa bulan lebih tua — lahir di Kyoto dari pasangan campur Jepang dan Prancis, dan dia memang pernah main di tim basket universitas bersama Kento ketika mereka berkuliah strata satu. Secara garis besar, dia pemain basket yang bagus, sampai sebuah kecelakaan mobil di tahun kedua kuliahnya menyebabkan dia mengalami gegar otak dan patah kaki. Namun, dia tampaknya tidak membiarkan hal itu menghalanginya; dia hanya mengalihkan bakat dan fokus intensnya ke dalam memasak, sesuatu yang seumur hidup telah menjadi kegemarannya selain basket. Di dalam sebuah sesi wawancara, dia menyebutkan bahwa dia suka memasak untuk keluarga, teman satu kelas, dan teman sekamarnya pada masa kuliah, menjajakan resep-resep ciptaannya. Kemudian dia melanjutkan kuliah untuk gelar magisternya di Prancis — kampung halaman kakeknya — dan secara diam-diam didaftarkan ke Masterchef Prancis oleh ayahnya, meskipun hanya untuk iseng. Tapi siapa sangka, dia terus maju dan memenangkan kompetisi tersebut, melewati musim itu dengan mudah dan mendadak ia jadi kesayangan media. Dia muncul di berbagai wawancara dan majalah, selalu penuh semangat, ramah, dan serius dengan kreasi-kreasinya.
Dia kembali ke Kyoto untuk membuka restoran pertamanya, dan hanya dalam tahun ke-dua bisnisnya, restoran itu telah menerima bintang Michelin. Memang bukan hal luar biasa karena sudah ada beberapa restoran di Kyoto yang memperoleh penghargaan tersebut, tapi tetap saja merupakan sebuah kebanggaan. Kemudian dia pindah ke Nara dan membuka restoran lain di sana, yang juga mendapat banyak sorotan dari media karena menjadi tempat makan favorit dari penyanyi solo paling terkenal seantero Jepang, Utahime Iori — Suguru mengenal perempuan itu dengan baik dan kenapa Suguru tidak pernah mendengar nama Satoru? Sebenarnya berapa luas koneksi orang ini dengan para figur publik? Setahun di Nara, dan dia akhirnya pergi ke Tokyo untuk membuka restoran ke-tiganya. Lalu, tentu saja ketampanannya juga tidak menjadi penghalang bagi kariernya. Dia telah melakukan pemotretan untuk iklan, majalah, bahkan menjadi model untuk acara gelaran adibusana amal, dan semua itu menambah banyak poin plus untuknya. Suguru menghabiskan waktu sepanjang hari mencari gambar dan video Satoru sebanyak yang bisa dia temukan di internet.
Bahkan ada kebun binatang di Prancis yang menamai leopard salju mereka dengan nama Satoru. Suguru spontan mendengus ketika membacanya karena orang-orang Prancis aneh itu, ya Tuhan, tapi kemudian fokusnya lekas teralih oleh foto Satoru di majalah Men’s Non-no.
Jadi dia muda, tampan, seorang jenius kuliner, dan pebisnis sukses — Suguru bisa menerima semua fakta itu karena, kalau dipikir-pikir, kondisi mereka cukup mirip; Suguru masih muda, menarik, sukses, dan pemain basket pro.
Dia membaca wawancara lainnya, saat Satoru baru saja tiba di Tokyo, berbicara tentang bagaimana dia merasa bisa melakukan hal yang lebih lagi, bagaimana masih ada pencapaian yang tersisa untuk dia capai di dunia kuliner, lalu bla bla bla. Kemudian muncul pertanyaan: Mengapa Tokyo?
Aku suka Tokyo. Suguru membaca jawaban Satoru, terpampang jelas di layar laptopnya. Aku sudah ke sini beberapa kali, dan ada sesuatu yang menarik tentang kota yang semarak dan penuh ingar bingar ini. Aku suka nuansa di sini. Selain itu, aku penggemar berat Alvark.
Alvark? Sungguh? Jadi kau bukan penggemar Hannaryz?
Jangan salah paham, Hannaryz adalah tim dari kampung halamanku, dan mereka akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi, aku menikmati pertandingan Alvark — energi mereka, teknik-teknik mereka, dan semuanya sangat menakjubkan buatku. Mereka punya tim yang hebat sekarang, dan aku yakin mereka akan jadi lebih baik lagi ke depannya.
Apa kau punya pemain favorit di Alvark?
Ya. Suguru Getou, tentu saja. Kemampuannya sangat luar biasa, aku tidak bisa berhenti menonton tangannya saat bermain.
Sial, pikir Suguru, dia terenyak kembali di sofa, merasakan wajah dan dadanya memanas.
Pada akhirnya, wawancara itulah yang memberinya keberanian untuk mengeluarkan kartu nama Satoru dan meneleponnya. Oke, dia tidak berkata jujur sepenuhnya. Sebenarnya maraton satu musim Masterchef Prancis di mana Satoru menjadi peserta juga menjadi pemicunya. Ada satu episode di mana Satoru menyiapkan mousse buah persik dan mint, wajahnya lebih intens daripada yang pernah Suguru lihat; lewat sorot matanya, Suguru bisa tahu bahwa Satoru sedang dalam mode sangat-sangat fokus, tangannya dengan anggun mengocok putih telur hingga halus, sementara di menit berikutnya kamera memperbesar wajah Satoru saat dia menyicip sesendok krim kocok di punggung tangannya dan menyapukan lidah di sudut bibirnya kalau-kalau ada krim yang masih menempel di sana.
Suguru agak terangsang karena adegan itu.
Suguru mengambil kartu nama Satoru yang disimpannya dengan rapi di laci kamar, dan tanpa pikir panjang, dia menelepon pria itu. Panggilannya ditangguh ke nada tunggu, tidak ada tanda-tanda akan diangkat. Suguru melirik jam dinding dan mengerang dalam hati. Sekarang jam 6 sore pada hari Minggu; tentu saja Satoru akan sibuk di restorannya, mungkin berpindah dari stasiun ke stasiun dengan keanggunan yang sama seperti saat dia berpindah dari wastafel ke kompor di Masterchef, mungkin memberi perintah kepada sous chef dan asisten dapurnya dengan suara rendah yang sejuk itu.
Lalu, seolah diberi isyarat, terdengar bunyi klik, dan suara Satoru – yang direkam, namun entah bagaimana masih terdengar sangat seksi – berkata, "Hai, ini Satoru. Aku sedang tidak bisa mengangkat telepon, silakan tinggalkan nama dan pesanmu, aku akan segera menghubungimu kembali. Terima kasih.”
Ini adalah pesan suara yang paling hambar dan umum yang pernah ada, tapi – sial. Penis Suguru berkedut lagi, dan dia benar-benar harus melatihnya agar tetap tenang, atau penisnya akan menegang setiap kali dia memikirkan atau menyebut Satoru, seolah-olah sudah disetel sedemikian rupa.
“Um,” dia memulai dengan canggung, “Hei, Gojo. Maksudku, Satoru.” (Dia mencatut dari Masterchef bahwa pria ini lebih suka dipanggil dengan nama depannya.) Tapi mungkin, agak terlalu cepat memanggilnya demikian. “Maksudku, Gojo- san. Ini Suguru. Uh, Suguru Getou. Alvark Tokyo? Er …y-ya, jadi, aku berniat untuk datang ke restoranmu lagi, dan kau mengatakan untuk menelepon jika aku tidak bisa mendapatkan meja, jadi yah — aku menelepon. Kau bisa meneleponku balik jika kau perlu data pemesan lebih lengkap?” Suguru menjauhkan ponsel dan menarik napas panjang sebelum mengembuskannya lagi, lalu melanjutkan: “Er … t-terima kasih. Semoga bisa bertemu denganmu lagi.”
Dia menutup telepon, lalu membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak di sana. Dia bintang basket Jepang tapi dia bahkan tidak bisa bicara tanpa tergagap di hadapan pria seperti Satoru. Setelah menerima pesan suara itu, Satoru pasti tidak akan pernah ingin bertemu atau berbicara dengannya lagi. Dia tidak akan menjadikan Suguru pemain favoritnya lagi — Suguru membayangkan jikalau Satoru kembali diwawancara dan mengatakan hal-hal seperti: Ya, dulu aku menyukai Suguru Getou, tapi ternyata dia payah, jadi pemain favoritku saat ini adalah Yu Haibara. Atau, aduh, dia akan jadi penggemar Miguel, dan mengoceh tentang hal itu ke setiap majalah di Jepang, dan Miguel akan menjadi semakin besar kepala—
Ponselnya berdering, membuat jantung Suguru nyaris melompat. Dia mencari-cari ponsel di bawah bantalnya, menekan tombol jawab dan berkata, “H-halo?” lagi-lagi tergagap, karena ia yakin penelepon itu pasti –
“Hei, Satoru Gojo di sini. Aku sudah mendengar pesan suaramu.”
“Hei,” kata Suguru, menelan ludah; berusaha dengan keras agar kegugupannya tidak terdengar. “Terima kasih sudah menghubungiku kembali, Gojo- san. Aku tahu kau pasti sedang sangat sibuk sekarang.”
“Tidak masalah,” ujar Satoru. “Dan eh, panggil Satoru saja. Agak aneh ketika orang yang seusia denganku, memanggilku Gojo- san. ”
“Oh, oke — Satoru,” ucap Suguru, merasa pusing hanya karena sebuah nama. Kendalikan dirimu, Suguru, katanya dalam hati.
“Jadi, kau perlu meja? Kapan dan jam berapa?”
“Uh, bagaimana kalau besok? Jam delapan malam?” Suguru tidak memikirkan ini sebelumnya tapi besok kedengarannya oke. Dia hanya ingin bertemu dengan Satoru lagi, secepat mungkin.
“Baik. Untuk berapa orang?”
Ya Tuhan. Suguru bingung. Dia tidak memikirkan ini sebelumnya, tapi jika dia memberi tahu Satoru bahwa dia akan datang sendirian, itu akan terlihat sangat menyedihkan, atau yang lebih parahnya, akan terlihat sangat jelas bahwa dia punya maksud lain dengan kembali ke restoran itu — selain untuk makanannya.
“Dua,” katanya mantap. Dia akan berusaha mencari orang yang mau ikut bersamanya, bahkan Miguel pun tidak apa jika dia tidak punya pilihan lain. Tapi itu adalah opsi terakhir. Dia tidak mau menerima guyonan Miguel tentang … bagaimana cara dia menggebet seseorang.
“Oh.” Entah ini hanya perasaan Suguru saja atau suara Satoru memang terdengar lebih rendah, lebih pelan, bahkan mungkin agak dingin, “Membawa … pacar, ya?”
"Tidak," kata Suguru cepat. "Tidak, bukan pacar. Tidak ada pacar, ha ha."
Terjadi keheningan sejenak, lalu Satoru berkata, "Maaf. Seharusnya aku tidak bertanya urusan pribadi semacam itu.”
“Bukan begitu!” Sambar Suguru cepat. “Aku akan datang dengan salah satu anggota tim — Haruta Shigemo — begini, kau penggemar Alvark, kan? Kau tahu Haruta, kan? Dia bilang padaku dia pernah dengar tentang restoranmu dan dia ingin berkunjung.” Usai serentetan kata itu keluar dari mulutnya, Suguru menjauhkan ponsel agar Satoru tidak mendengar apa pun, kemudian dia memukul-mukul bibirnya dengan tangan. Sial, sial, dasar asbun. Sekarang dia harus melibatkan Haruta dalam hal ini. Lagipula, kenapa dia harus melakukan klarifikasi tentang teman makan malamnya pada Satoru? Toh, Satoru bukan pacar Suguru atau pun semacamnya?
Dia meletakkan ponselnya kembali ke telinga. Satoru mengatakan sesuatu, tapi terpotong di tengah jalan. Meskipun begitu, nada dingin telah hilang dari suaranya dan dia mulai terdengar normal kembali. “—ya, bisa. Tentu saja aku akan sangat menantikan kehadiran kalian. Aku akan membuat reservasi atas namamu, Getou- san.”
“Oke,” kata Suguru lega. “Dan omong-omong, bung … panggil aku Suguru. Jangan pakai embel-embel hormat seperti itu karena rasanya aneh, seperti katamu di awal; kita seumur.”
Satoru kemudian tertawa – sebuah tawa sungguhan, bergulir melalui telepon ke telinga Suguru, dan ya Tuhan, Suguru akan dengan senang hati melakukan apa pun yang diinginkan Satoru, asalkan bisa mendengar tawa itu lagi. "Tentu. Tapi aku mungkin lebih suka memanggilmu Sugu- chan. ”
“Hentikan, bung, jangan pakai nama olokan dari Miguel.” katanya, tapi dia ikut tergelak, dan mendadak ketegangan di antara mereka pecah; semuanya terasa ringan seakan dia dan Satoru telah berteman lama. “Trims, kalau begitu, sampai bertemu besok.”
“Baik,” kata Satoru, lalu sebelum mengakhiri panggilan, dia menambahkan, “Aku sangat menantikan pertemuan kita besok, Sugu- chan.” Lalu panggilan itu terputus.
Suguru hanya melongo, dia menatap ponsel selama beberapa saat sebelum kembali menenggelamkan wajah di bantal dan berteriak lebih keras dari sebelumnya; karena Satoru Gojo memanggilnya Sugu- chan. Dia benar-benar bisa kehilangan akalnya karena pria itu.
Untungnya, Haruta tidak memiliki acara apa pun pada malam berikutnya, dan Suguru berhasil membujuk lelaki itu untuk meninggalkan pacarnya di rumah agar bisa makan malam di La Fourchette des Ducs. Sisi buruk dari semua ini adalah: dia harus memberi tahu Haruta tentang apa yang terjadi agar pria itu mau membantunya. Oleh karena itu, Haruta tidak bisa berhenti tertawa setiap kali melihat Suguru tersentak di kursinya tatkala ada orang dengan pakaian putih — siapa pun itu, selama mirip pakaian koki — bergerak di dekat meja mereka.
“Aku tidak percaya aku harus menjadi asistenmu, Suguru.” katanya. “Apa kau tidak tahu caranya mendekati seseorang?”
"Tutup mulutmu," desis Suguru. "Aku hanya – dengar, sudah kubilang, aku tidak ingin terlalu mencolok, oke? Aku hanya bertemu dengannya sekali. Kita hanya ngobrol sebentar dan itu pun tak lebih dari lima menit.”
"Tunggu sampai seluruh anggota tim mendengar tentang ini," kata Haruta masih tertawa.
“Kalau kau berani membuka mulutmu pada siapa pun, aku bersumpah, Haruta, aku akan memotong testikelmu dan menjadikannya pakan ikan piranha di akuarium kota.”
“Woah, woah, jangan pakai kekerasan dong,”kata Haruta, mengangkat tangan seolah melakukan pertahanan. “Serius, kawan. Berhentilah menggunakan metode jinak-jinak merpati; langsung saja ajak dia kencan. Kau mau minta ditemani siapa lagi minggu depan? Si koki itu pada akhirnya akan sadar kalau kau datang ke sini untuk melihatnya. Atau lebih parahnya, kalau dia salah paham dan mengira kau playboy yang datang bersama pria berbeda setiap minggunya.”
Suguru merasakan telinganya memanas. Sial, itu kemungkinan yang mengerikan. Suguru tidak ingin Satoru berpikir kalau dia kutu loncat yang mengencani setiap pria di kota ini.
“Makanya, lakukan sesuatu yang lebih kreatif,” lanjut Haruta. “Maksudku, kau selalu bisa membuat banyak pria terpikat, Suguru. Memang apa bedanya dengan yang satu ini?”
“Entahlah, yang lain rasanya lebih mudah untuk dipikat,” gumam Suguru. Memikat seseorang — baik pria maupun wanita — adalah pekerjaan mudah bagi Suguru, tapi dia tidak pernah berpikir untuk mengencani siapa pun secara serius. Semuanya hanya sekadar episode kencan satu malam yang tidak memberatkan pihak mana pun. Ada yang tertarik padanya, mereka mendekat, Suguru menerima, lalu mereka bercinta, dan selesai; mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi, untuk alasan yang tak bisa dijabarkannya, Satoru terasa berbeda. Dia tidak mau mengacaukan semua ini bahkan sebelum dimulai.
“Aku bahkan tidak tahu apa dia suka pria,” kata Suguru.
Haruta membuka mulut untuk menjawab, hanya saja matanya mengarah pada tempat di balik bahu Suguru, “Apa itu si koki gebetanmu?”
Suguru berbalik, dan benar saja, itu adalah Satoru, berjalan ke meja mereka, tersenyum dan mengangguk ke arah para pengunjung di sepanjang jalan, terlihat tampan dalam seragam putihnya yang kaku. Saat dia berjalan, Suguru bisa melihat otot pahanya yang tampak lewat celananya yang tertarik. Suguru harus mencubit pahanya sendiri dengan keras, agar dia tidak bengong dan meneteskan liur di tempat.
"Hei," kata Satoru sambil meletakkan tangannya di bahu Suguru. Suguru bisa merasakan hangat tangannya merembes melalui kain jas, hingga ke kulitnya. "Senang kau bisa datang,”
"Ya, aku juga," kata Suguru, lalu menoleh ke arah Haruta. "Ini Haruta Shigemo, kau kenal dia, bukan? Haruta, Satoru ini fans Alvark.”
“Selera yang bagus,” Haruta menyeringai sambil mengulurkan tangan; Satoru mengangkat tangannya dari bahu Suguru untuk menjabatnya, lalu sebelum Suguru sempat meratapi hilangnya beban tangan besar Satoru di tubuhnya, Satoru meletakannya kembali di bahunya, kali ini sedikit lebih rendah, memberi tekanan lembut yang hangat di tulang belikatnya.
Satoru dan Haruta mengobrol beberapa menit, tentang musim pertandingan dan beberapa permainan Haruta yang diingat Satoru, tentang makanan, dan kemudian tiba-tiba Satoru meremas otot bahu Suguru dengan lembut dan melepaskannya. "Aku harus kembali ke dapur, tapi terima kasih sudah datang. Hidangan penutupnya kami sajikan secara gratis, Tuan-tuan.”
“Oh, bung, jangan. Tidak apa-apa, kau tidak perlu –” kata Suguru gelagapan.
"Jangan khawatir, bukan masalah besar kok. Selamat menikmati," Satoru tersenyum pada mereka berdua, dan kemudian sebelum dia menjauh dari meja, dia mengalihkan seluruh senyumnya untuk Suguru. "Senang bertemu denganmu lagi, Suguru. Kuharap kau akan datang lagi?"
"Aku – uh – ya. Ya," Suguru tergagap lagi, lalu Satoru pergi, berjalan kembali ke dapur. Suguru memerhatikan bahu lebarnya yang seksi, dan ia tahu bahwa pemandangan itu akan menempel di benaknya sepanjang malam bahkan mungkin menyelinap masuk ke mimpinya selama dua hari berturut-turut.
“Tuh, lihat, menurutku kau tidak perlu khawatir,” kata Haruta datar. “Aku cukup yakin dia suka pria, karena dia tidak bisa melepaskan tangannya darimu.”
"Tutup mulutmu," keluh Suguru dan Haruta mulai tertawa lagi.
Suguru akhirnya pergi ke La Fourchette des Ducs – sendirian – sebanyak enam kali dalam dua minggu berikutnya. Dia mencoba mengajak Miguel dan Zari usai makan malamnya bersama Haruta, tapi mereka berdua menolak. “Aku tidak akan menjadi pilar pendukungmu jika kau tidak punya sedikit pun keberanian untuk mengajaknya berkencan, kawan,” kata Miguel. Suguru benar-benar tidak tahan untuk duduk di meja yang sama dengan Haruta yang selalu menertawakan setiap gerak-geriknya, tapi tidak mungkin juga dia mengajak teman lain untuk menemaninya makan malam, jadi dia tidak punya pilihan selain datang seorang diri.
Makan malam seorang diri tidak seburuk itu ternyata. Satoru kini tidak pernah bertanya apakah dia membawa seseorang, atau bahkan mengapa dia terus datang sendiri. Mungkin Satoru berpikir bahwa Suguru benar-benar menyukai makanan di restorannya — yah, sebenarnya tidak salah. Tapi Suguru lebih suka koki yang memasaknya. Ralat, kepala koki lebih tepatnya.
Dia hampir mencoba seluruh menu yang ada di restoran itu, kecuali siput dan cuisses de Grenouille – kaki katak –, Satoru menjelaskan menu itu dengan tenang, seolah-olah makanan berbahan dasar hewan amfibi adalah suatu hal yang normal. Suguru tidak tergoyahkan, bahkan aksen Prancis Satoru yang terdengar menggoda saat dia menyebutkan nama hidangan itu tidak cukup meyakinkan Suguru untuk menyantapnya. Padahal, biasanya Suguru akan menurut saja; dia bahkan rela mencicipi seluruh menu pencicipan di kunjungan ke-enamnya. Satoru dengan sungguh-sungguh meyakinkan kalau Suguru akan menyukainya, dan dia memang menyukainya. Suguru menarik simpulan bahwa dia mungkin menyukai hampir semua hal yang Satoru buat.
Namun, siput dan katak tidak masuk kategori, tidak akan pernah.
Satoru meluangkan lebih banyak waktu untuknya; malah di kunjungannya yang ke-empat, Satoru duduk di mejanya untuk membangun konversasi. Mereka berbicara tentang masakan Satoru, tentang basket, dan Satoru pun sedikit membahas kecelakaannya bertahun-tahun lalu, akan tetapi tidak ada nada pahit dalam suaranya. “Aku memang berhenti main basket, tapi aku masih bisa memasak,” katanya sambil berkedik ringan.
Suguru membalasnya, “Bukan sekadar bisa, tapi kau jenius. Masakanmu benar-benar luar biasa, kelas dunia.”
Serta merta, senyum Satoru berkembang, dan Suguru menikmatinya.
Pada kunjungan ke-enamnya, mereka sudah merasa cukup nyaman untuk membahas hal yang lebih pribadi meskipun durasi ngobrol mereka selama ini berlangsung tak lebih dari sepuluh menit. Mereka membicarakan masa kecil mereka, para anggota keluarga, dan sahabat-sahabat yang rupanya dikenal satu sama lain meskipun hanya selayang pandang. Sejujurnya, Suguru suka dan mau saja mendengarkan Satoru berbicara selama berjam-jam sekalipun jika topiknya tentang siput dan kaki katak.
“Kau fasih berbahasa Prancis, ‘kan?” tanyanya.
“Ya,” jawab Satoru. “Ayahku keturunan Prancis, dari Rochefort en Terre; pedesaan kecil yang indah.” Dia mengangkat sebelah alis dan menatap Suguru. “Kenapa? Kau mau mendengarku berbicara dalam bahasa Prancis?”
“Tidak,” sambar Suguru, terdengar gugup, tapi setidaknya dia mengatakan hal yang tepat. Ya, hal yang tepat; karena gawat jika dia mendadak terangsang di dalam restoran, tepat di hadapan Satoru pula. Duh, dia bukan anak remaja lagi.
“Bagaimana kau bisa tahu soal itu?”
Suguru mengerjap dan dengan sengaja tidak melihat ke arah Satoru saat dia menjawab, "Aku, eh, mungkin sudah mencarimu di Google?"
Dia tahu wajahnya memerah — kulitnya memang lebih cepat berubah merah ketimbang lampu lalu lintas di Shibuya — tapi yang mengejutkan, Satoru hanya tertawa pelan. “Oh, ya? Selama ini aku bertanya-tanya, bagaimana kau tahu kalau aku adalah penggemar Alvark. Ternyata, kau melakukan pencarian terhadapku di internet?”
“Sudah sewajarnya, ‘kan?” balas Suguru cepat. “Aku harus memastikan makan malamku berada di tangan yang baik.”
"Kau ini benar-benar deh," Satoru terdengar geli, tapi saat Suguru menatapnya lagi, matanya tertuju pada Suguru, hangat dan senang. "Kalau begitu, apakah aku memenuhi standarmu? Apakah tanganku cukup baik untukmu, Suguru?"
"Aku – ya. Ya." Itu mungkin hanya sekadar olok-olok ringan; tapi cara dia mengatakannya, dengan nada rendah dan intim, membuatnya terdengar seduktif. Mungkin itu memang caranya menjahili Suguru — cara baru yang berbahaya karena membuat Suguru gerah secara mendadak. Suguru diam-diam mencubit pahanya lagi, sekeras mungkin hingga terasa sakit, agar dia tidak kehilangan kendali.
Suara Satoru turun lebih rendah. "Jadi, apa aku memuaskanmu?”
Suguru menjatuhkan pisaunya; denting keras terdengar di piringnya, dan beberapa pengunjung menoleh untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dia mengambilnya lagi, jari-jarinya kikuk dan gemetar, dan ketika dia akhirnya menemukan suaranya, suaranya sama gemetarnya dengan jari-jarinya. "Ya. M-menurutku … cukup.”
“Baguslah,” ucap Satoru, terdengar sangat senang, dalam, dan manis, seperti karamel kental. "Baiklah kalau begitu." Sekonyong-konyong dia berdiri, dan Suguru hampir menjatuhkan peralatan makannya lagi ketika Satoru meletakkan tangannya di belakang leher Suguru, di balik kerah kemejanya. Ujung jari-jarinya menyentuh bagian atas kerah, menyelinap ke dalam helaian rema panjangnya yang menjuntai, mengusap kulit tengkuknya. “Senang bisa memuaskanmu.” Kemudian dia membungkuk, mulutnya dekat ke telinga Suguru, dan dia berkata dengan lembut, "Bonne nuit, je suis content que tu sois venu, mon sucre d’orge."
Dia menegakkan tubuh dan berbalik, berjalan pergi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Astaga, sial, apa-apaan ini," kata Suguru keras-keras pada dirinya sendiri, tertegun.
Dia tidak tahu apa yang dikatakan Satoru, tapi siapa peduli! Suara beratnya saat menggumamkan bahasa Prancis terdengar sangat vulgar, dan Suguru bisa merasakan napas Satoru mengalir di telinga dan pipinya, mulut sialan itu begitu dekat dengan kulitnya.
Suguru menghabiskan makanannya dengan begitu cepat lalu dia buru-buru pulang, memarkir mobilnya, dan tersandung saat akan masuk ke dalam kondominiumnya. Kemudian ia berjalan cepat menuju kamar, dan langsung tersungkur di atas kasur; wajah terbenam di bantal, sementara tangannya berada di selangkangan untuk menenangkan libido yang meroket gara-gara Satoru. Suguru mengocok kemaluannya dengan cepat sembari memasukkan dua jarinya ke bagian belakang, membayangkan Satoru ada di dalamnya dan dia pun mencapai orgasme hanya dalam beberapa menit.
Setelah badai di dalam kepala — dan juga penisnya — mulai tenang, Suguru menyingkirkan seprai kotor dan menggantinya dengan yang baru, kemudian ia merokok di balkon dan memutuskan: semua ini harus segera dihentikan. Dia harus mengajak Satoru berkencan lalu bercinta dengannya, dengan begitu, mungkin dia bisa mengeluarkan Satoru dari pikirannya.
"Hai," sapa Satoru, saat Suguru menelepon di hari berikutnya. "Kau butuh meja lagi?"
Hati Suguru mencelos saat itu, karena Satoru mengira Suguru hanya menelepon untuk mendapatkan meja di restorannya, demi Tuhan. Memang benar dia selalu menelepon untuk itu, tapi kali ini berbeda. Semua itu sudah berakhir, pikir Suguru. Dia tidak akan membuat Satoru berpikir kalau dia hanya tertarik pada masakannya, dia akan mengungkapkannya secara terang-terangan, jika perlu.
“Sori? Apanya yang berakhir?” tanya Satoru, dan Suguru baru sadar bahwa dia mungkin saja mengatakan isi kepalanya keras-keras secara tidak sengaja.
“Eh, tidak, bukan apa-apa. Lupakan saja. Dengar, aku menelepon bukan untuk meja.”
“Bukan untuk meja.”
“Ya,” Suguru harap Satoru berhenti mengulang setiap perkataannya. “Aku hanya ingin tahu kalau … er … begini, aku tahu kau sangat-sangat sibuk, kau mungkin tidak punya banyak hari libur mengingat kau menjalankan restoranmu sendiri tapi – tapi, mungkin malam ini, setelah restoranmu tutup, uh, apa kau bisa pergi minum? Denganku?”
Ada jeda – jeda yang cukup panjang sampai-sampai Suguru bisa merasa kepanikan mulai membuat perutnya bergejolak. Mungkin selama ini dia keliru dalam menangkap sinyal-sinyal itu, mungkin Satoru tidak pernah tertarik padanya, bahkan mungkin Satoru tidak menyukai pria sejak awal, sial.
Tapi kemudian – “Ya, ya, tentu,” ucap Satoru, terdengar agak tegang dan terkejut, tapi juga senang, dan rasa sesak di dada Suguru pun berangsur-angsur mereda, memaksanya mengeluarkan napas yang tidak dia sadari telah dia tahan. "Sebenarnya aku bukan penggemar berat alkohol, tapi aku akan sangat senang jika bisa pergi minum denganmu. Apa kau sudah menentukan tempatnya?”
“Belum,” aku Suguru. “Aku pikir … ke mana pun boleh, kau sendiri bagaimana? Ada tempat yang ingin kau datangi?”
“Bagaimana dengan bar di Four Seasons?” usul Satoru. “Ini hanya saran. Maksudku, jika kau punya tempat yang lebih baik, aku tidak keberatan. Hanya saja, bar di Four Seasons cukup sepi dan privat, karena aku perlu ketenangan usai jam kerjaku yang melelahkan.” Dia tertawa kecil. “Kalau aku sedang mood untuk minum, aku biasanya memang tidak pergi ke tempat yang terlalu jauh.”
“Baiklah, jam berapa?”
“Bagaimana kalau jam 11 malam? Apa terlalu larut?”
"Tidak, tidak apa-apa," kata Suguru, dan dia tahu dia masih terdengar sedikit terengah-engah. "Musim pertandingan telah berakhir, ingat? Aku diperbolehkan begadang.”
Satoru tertawa lagi. “Baiklah. sampai ketemu di bar malam ini, Suguru.”
"Sampai ketemu," jawabnya, lalu menutup telepon setelah Satoru mengucapkan selamat tinggal, dan hal pertama yang dia lakukan adalah meninju udara, seperti remaja bodoh yang bahagia karena baru saja berhasil mengajak orang yang ditaksirnya ke pesta prom.
Mereka tidak bercinta. Bukan hal yang mengejutkan.
Yang mengejutkan adalah, Suguru tidak keberatan dengan itu.
Suguru tiba di bar hotel tepat pukul 11 — setelah melewati dua jam sebelumnya untuk meropak-rapik isi lemari demi pakaian yang pantas. Dia duduk di kursi dengan meja bundar kecil yang terletak di sudut, tapi menghadap pintu masuk sehingga dia bisa mengawasi siapa saja yang masuk. Satoru benar; barnya sepi, tidak banyak orang di sini dan mereka melakukan percakapan dengan senandung rendah yang menenangkan, hampir tidak terdengar di tengah musik jazz yang sedang diputar. Ini adalah bar dari hotel Four Seasons, jadi tentu saja tempat ini masuk ke dalam kategori bar berkelas di mana bartender, para pelayan, dan juga beberapa pengunjung mungkin mengenalinya, tapi mereka tidak memandangi Suguru terus-terusan atau mendekatinya untuk meminta tanda tangan dan foto. Suguru bisa mengerti kenapa Satoru menyukai tempat ini.
Satoru datang sekitar lima belas menit setelahnya, ketika Suguru sudah minum bir dan bertanya-tanya apakah dia sebaiknya mengirim pesan kepada Satoru untuk memberitahunya bahwa dia ada di sini, kalau-kalau Satoru lupa tentang kencan — atau pertemuan? Terserah lah — mereka. Pria berambut putih itu berdiri di ambang pintu sejenak sambil melihat sekeliling bar untuk memastikan apakah Suguru ada di sana, dan Suguru menggunakan beberapa detik itu untuk memandanginya sambil mengontrol napas. Ini pertama kalinya dia melihat Satoru tanpa seragam koki, dan Satoru terlihat menawan tanpa itu, lebih baik dari yang dia duga. Entah bagaimana ceritanya, Suguru sampai lupa bahwa Satoru akan datang dengan pakaian kasual dan bukannya setelan putih, dia tidak siap untuk ini; penampilan Satoru membuat jantungnya berdebar bak hewan liar dalam kurungan. Pria itu mengenakan celana jins gelap yang menutupi tungkai panjangnya, kemeja ecru yang lengannya digulung hingga siku; memamerkan tangan yang kuat, jalinan urat yang kentara di atas kulitnya. Suguru kemudian menatap ujung lengan kemejanya sendiri; kain berwarna hitam dan celana katun putih. Dia tidak mau memikirkan ini tapi mau tidak mau hati kecilnya berteriak dengan lantang tentang: busana pasangan! Dan tawa melecut dari bibirnya.
Satoru menoleh ke kanan, seolah-olah dia mendengar Suguru tertawa sendiri seperti orang gila, dan Suguru lekas menjaga sikap dengan membungkuk untuk berpura-pura memainkan tali sepatunya, tapi dia melakukannya terlalu cepat dan membuat dahinya terbentur pelipir meja. Bir dalam gelasnya sedikit tumpah dan membasahi permukaan kayu berpelitur itu.
“Aduh,” kata Suguru sambil mengusapkan tangan ke kepala, sedang sebelah tangan yang lain meraih gelasnya agar tidak terjatuh. Kacau. Suguru bertemu dengan salah satu pria paling memikat yang pernah dilihatnya tapi dia malah memiliki memar di kening, tangan yang basah karena tumpahan bir, dan semua itu mungkin membuatnya terlihat sangat bodoh.
"Kau baik-baik saja?" Suara Satoru muncul tepat di sebelahnya, dan Suguru dapat melihat sepatu dan jeans Satoru saat dia masih menunduk. Sial.
"Ya," dia mencoba mengendalikan diri, berhenti menggosok kening dan menatap Satoru lewat bawah bulu matanya, berharap kegelapan bar akan cukup untuk menutupi rona apa pun yang siap muncul di wajahnya. "Ya, aku baik-baik saja. Kecuali fakta bahwa kau melihat semuanya; bagaimana aku bertingkah seperti orang bodoh.”
Satoru tidak mengatakan apa pun untuk menyangkal bagian bodoh itu — yang mana membuat Suguru agak kecewa — tapi pria itu membungkuk hingga matanya sejajar dengan milik Suguru. Suguru membeku ketika Satoru mengangkat tangan dan dengan lembut mengusapkan ibu jarinya ke kening Suguru. Itu hanya sentuhan ringan, tapi sensasi ibu jari Satoru yang kasar di kulitnya membuatnya bingung untuk bersikap atau sekadar mengontrol raut wajah. "Kau akan baik-baik saja. Warnanya bahkan tidak merah, sepertinya tidak akan memar. Jangan khawatir.”
“Syukurlah,” ucap Suguru. “Gawat kalau wajah cantikku kenapa-kenapa.”
Dia kira Satoru akan merespons candaan itu dengan mengatakan sesuatu seperti ya , Suguru, kau cantik sekali. Seharusnya kau berhenti main basket karena semua itu tidak cocok untukmu. Kalimat terakhir hanyalah praduga, tetapi yang pertama, memang pernah terjadi.
Sekali waktu, saat Suguru menelepon, dia melontarkan lelucon tentang orang-orang yang menyebutnya cantik, dan Satoru hanya tertawa kecil sambil berkata, “Ya, kau benar-benar cantik, Suguru.” Tidak ada yang bisa dilakukan Suguru selain tertawa, karena sepertinya Satoru sedang berseloroh tentang sebutan cantik itu — seperti rekan-rekan satu timnya.
Akan tetapi, yang terjadi kali ini malah sebaliknya. Ketika dia mengangkat wajah dan mengarahkan matanya ke arah Satoru, pria itu sedang menatapnya dengan intens; tatapan yang biasa diperlihatkannya ketika dia menemukan daging sapi dengan marbling yang baik, atau sepotong ikan segar, atau apa lah. Dia terlihat seperti ingin memakan Suguru utuh atau mengirisnya di saat yang bersamaan. Suguru harap, dugaannya yang pertama lah yang tepat. Dia menatap Satoru balik, mengedipkan sepasang matanya perlahan, hingga Satoru akhirnya mengerjap, berhenti menatapnya tajam, dan melepaskan tangannya dari wajah Suguru. Suguru bahkan tidak sadar kalau sedari tadi tangan itu terus menempel di keningnya.
"Jadi," kata Satoru setelah jeda, duduk di kursi di seberang Suguru dan melambai pada pelayan. "Apa kau mau pesan bir lagi?” Dia menunjuk bir Suguru dengan dagunya, terbuang percuma di atas permukaan meja dan hampir separuh gelas kosong.
“Tidak perlu,” Suguru mengedik. “Kau pesan sesuatu untuk dirimu saja. Tapi kekacauan ini memang harus dibereskan sih.”
Satoru memesan bir juga, dan meminta seorang pramumeja untuk membersihkan tumpahan bir milik Suguru. Ketika seseorang muncul dan membersihkan meja, Satoru meminta serbet, yang segera dibawakan kepadanya bersamaan dengan gelas birnya. Satoru mengambil satu dan memberi isyarat pada Suguru untuk mengulurkan tangannya.
"Apa?" kata Suguru, tangan masih melingkar di gelas bir yang lengket.
"Tanganmu," jawab Satoru dengan sabar, sambil memiringkan kepalanya ke arah tangan itu.
Suguru mengulurkan telapak tangannya ke arah Satoru, masih tidak yakin apa yang diinginkannya. Satoru meraih pergelangan tangannya dengan lembut lalu mulai membersihkan telapak tangan Suguru. Jari-jarinya panjang dan tebal, bertemu di sekitar pergelangan tangan Suguru, dan oke, Suguru bukanlah pria kecil — tubuhnya tinggi besar — tapi mau tak mau dia harus mengakui kenyataan bahwa Satoru jauh lebih besar daripada dirinya terutama dalam hal ukuran tangan. Satoru lembut namun teliti, menyeka telapak tangannya, lalu di sela-sela jari, hanya berhenti sejenak untuk mengambil serbet bersih baru dari tumpukan yang dia minta. Ini adalah pertama kalinya Suguru berpegangan tangan dengan seseorang yang tidak dia kencani secara eksklusif – meskipun secara teknis, Satoru hanya memegang pergelangan tangannya. Namun, dia juga menyapu seluruh bagian tangan Suguru yang basah seolah-olah dia berusaha menghafal setiap guratan yang terukir di telapak tangannya. Suguru merasa tidak keberatan, dia malah akan membiasakan diri, untuk Satoru.
Ketika Satoru selesai, dia menurunkan tangan Suguru dan membungkuskan beberapa serbet lagi di sekitar cangkir Suguru, sehingga dia bisa memegangnya tanpa mengotori tangannya lagi. Suguru berusaha untuk tidak merasa kecewa karena kehilangan tangan hangat Satoru yang besar di tangannya.
"Uh, terima kasih," katanya, ketika dia berhasil mengendalikan lidahnya untuk bciara. Satoru mengangkat bahu dan tersenyum.
"Bukan masalah besar."
Dan kemudian – tiba-tiba – terjadi keheningan. Keheningan yang canggung. Sejujurnya, Suguru tidak mengerti. Satoru bahkan berani menyentuh kening dan memegang pergelangannya dengan intens, lantas kenapa sekarang dia mendadak bersikap seperti orang yang linglung dan salah tingkah? Orang ini gila, pikir Suguru. Jika ini adalah kencan, maka urutan kegiatan yang dilakukan Satoru cukup berantakan.
"Apakah ini kencan?" pertanyaan itu akhirnya jebol juga setelah ditahannya agak lama, tapi setelahnya Suguru agak menyesal saat melihat raut wajah Satoru yang mana bisa diartikan ke dalam beberapa hal: kaget, malu, dan tertegun. Kalau saja Suguru tidak sibuk mengutuk dirinya sendiri, dia akan menikmati dan mengagumi permainan emosi di wajah Satoru saat ini. Dia belum pernah melihat Satoru menampakkan emosi apa pun selain serius atau santai.
Tenggorokan Satoru bekerja, jakunnya naik-turun, seperti dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya.
Suguru menghela napas. Dia seharusnya tahu. Satoru bahkan mungkin tidak menyukai pria. Godaan-godaannya selama ini bisa saja hanya tindakan ramah yang disalah artikan gelombang otak Suguru; yang diinginkan Satoru mungkin hanyalah berteman dengan Suguru Getou, center dari Alvark, tim basket favoritnya. Oke, tidak masalah. Dia sudah cukup sering bertemu dengan pria heteroseksual dan mereka memang bukan pilihan tepat untuk dikencani. Tidak masalah kalau mereka hanya jadi teman. Satoru keren dan rasa masakannya seperti surga, dan Suguru mungkin lebih tertarik padanya daripada pria mana pun, tapi dia bukan bajingan pemaksa. Mereka masih bisa berteman, dia masih bisa makan di restoran Satoru — mungkin diam-diam menikmati sisi atraktifnya saat dia tak menyadarinya — lalu pergi minum bersama seperti ini, tapi hubungan mereka tidak akan bermuara ke arah romansa.
“Ya,” kata Satoru tiba-tiba, menghalau monolog di dalam kepala Suguru dan, eh, tunggu dulu– “Kalau - kalau kau mau menganggapnya kencan. Maka ini adalah kencan.”
“Apa?” Suguru menatapnya tidak percaya. “Jadi kau suka –”
“Pria? Ya.” gumam Satoru. “Aku kira kau membaca infoku di google?”
"Ya," kata Suguru, pikirannya berputar-putar, mencoba mengingat apakah dia pernah melihat indikasi di mana pun bahwa Satoru pernah mengatakan dia gay. "Tapi - ”
Satoru mengangkat bahu. “Aku tidak menyembunyikannya, tapi aku juga tidak memamerkan tentang hal itu di tiap wawancara. Sudah banyak orang yang menulis tentang orientasi seksualku di internet — bahwa aku panseksual — jadi kukira kau sudah tahu.”
Oh, oke. Bukan gay, tapi panseksual. Tapi yah, intinya, dia masih punya kesempatan.
“Aku benar-benar tidak tahu,” kata Suguru. “Aku mungkin melewatkan beberapa artikel atau wawancara, entahlah. Tapi syukurlah.”
Satoru tersenyum, dan ketegangan di dada Suguru secara ajaib mendadak lenyap.
"Ya, syukurlah," katanya, kaki panjangnya menyenggol kaki Suguru di bawah meja. "Jadi, ini memang kencan.”
Suguru menyeringai dan mencondongkan tubuh, "Kalau begitu, pegang tanganku."
"Apa?”
"Itulah yang dilakukan orang-orang saat berkencan, kawan. Pegang tanganku."
"Astaga," kata Satoru, terdengar jengkel, tapi kaya akan adorasi dalam suaranya. Dia mengulurkan tangan, meraih tangan Suguru di atas meja; tangan yang sama yang dia bersihkan sebelumnya. “Kita bukan anak SMA.”
"Terserah," kata Suguru tegas. "Aku ingin menggandeng tanganmu dan berkencan denganmu sejak hari pertama aku melihatmu, dan sekarang aku bisa melakukannya, aku akan selalu memintanya."
"Kau benar-benar penuh kejutan," keluh Satoru, namun tangannya mencengkeram tangan Suguru dengan erat. "Bagaimana mungkin kau bisa menjadi pemain basket profesional dengan ribuan penggemar? Mereka tidak akan mendewakanmu lagi jika ada yang tahu kalau kau menuntut agar tanganmu digenggam selayaknya anak berusia enam belas tahun ketika pacaran.”
"Terserah," ulang Suguru, melingkarkan jarinya di sekitar jari Satoru, mengikatnya, seolah dia takut tangan Satoru akan terlepas dari tangannya jika dia tidak melakukan itu. "Toh, kau menyukainya ‘kan?”
"Tidak salah, sih." Satoru mengakui, dan mengangkat cangkirnya ke bibir untuk menyembunyikan senyumannya.
Mereka berbincang tentang segala hal malam itu, dengan mudahnya terlibat dalam percakapan seolah-olah sudah mengenal satu sama lain sepanjang hidup mereka, berpegangan tangan sepanjang waktu – Suguru benar-benar enggan melepaskannya – tapi apa boleh buat, saat jarum di arloji Satoru berjingkat ke angka dua pada dini hari, genggaman itu terlepas juga. “Sial. Kurasa kita harus pulang sekarang. Aku mesti bangun jam 7 pagi dan kembali ke restoran.” Kata Satoru penuh penyesalan.
“Astaga,” desis Suguru. “Kenapa kau tidak bilang?”
Satoru berkedik mungil. “Aku agak lupa waktu,” katanya, dan yah, Suguru tidak bisa menyalahkannya karena dia pun sama sekali tidak menyadarinya.
“Apa aku begitu memukau, Satoru?” tanyanya sambil tertawa jahil. Satoru tergelak dan meraih tangan Suguru, meremasnya ringan, lalu mengusap-usapkan ibu jari di punggung tangannya. Dia tampak senang – senang dan puas, akan tetapi, wajahnya berubah agak masam saat Suguru menarik tangannya untuk meminta tagihan pada pramusaji.
Suguru yang membayar, karena dia punya gagasan samar di benaknya bahwa dia lah yang harus menarik keluar kartu dari dompetnya, toh undangan kencan ini datang dari pihaknya. Satoru tidak menolak, tapi ketika mereka berada di luar lobi hotel untuk menunggu taksi, tangan Satoru yang kokoh menggenggamnya kembali, dan Satoru berkata, "Kencan yang selanjutnya, aku yang bayar, oke?”
Suguru merasa hangat memikirkan bahwa akan ada waktu kencan yang berikutnya. "Tentu," dia setuju. Satoru tersenyum padanya, dan Suguru mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat ke sisinya.
Dia dan Satoru berbagi taksi untuk pulang, karena ternyata tempat Satoru hanya berjarak sepuluh menit dari tempatnya. Ketika taksi berhenti di depan bangunan kondominimum milik Suguru, koki itu mencondongkan tubuh untuk dan mencium bibirnya singkat. Memang hanya sekadar kecupan kecil, tidak ada acara saling pagut yang kotor dan sugestif, tapi cukup membuat Suguru tergelitik.
"Sampai jumpa besok, oke? Aku akan menyiapkan meja untukmu.” Ucap Satoru, dan Suguru mengangguk gembira. Dia nyaris terjatuh saat keluar dari taksi, sangat senang karena Satoru tahu dia akan datang lagi ke restoran untuk menemuinya.
Jadi – dia tidak bercinta, bahkan tidak mendapatkan ciuman yang pantas, tapi secara keseluruhan, dia cukup puas.
Kegiatan ini pada akhirnya menjadi rutinitas yang baru bagi keduanya — makan malam di restoran Satoru, lalu pergi minum bersama di bar.
Di kencan ke-tiga mereka (Suguru sama sekali tidak menghitungnya, oke? Dia hanya kebetulan ingat), mereka pulang ke kondominium Satoru pada pukul satu dini hari, dan Suguru hampir tidak bisa menahan kegembiraannya ketika dia melihat sofa raksasa berwarna terakota di ruang tamu.
“Ya Tuhan,” katanya sambil melemparkan dirinya ke sana, merasakan tubuhnya memantul. "Bung, aku punya sofa yang sama persis."
"Kau bercanda," kata Satoru.
“Sumpah,” kata Suguru sungguh-sungguh. "Aku membeli sofa seperti ini ketika aku pindah ke kondominiumku. Model yang sama, warna yang sama, semuanya sama." Dia mengusap permukaan lembut sofa itu dengan kagum. "Ini sudah terasa seperti rumahku."
"Setelah mengenalmu lebih lama, aku sampai pada simpulan bahwa selain centil, kau bisa tidak tahu malu juga," kata Satoru sambil merebahkan dirinya di sofa, mengangkat kaki Suguru dan membiarkannya berada di atas pangkuannya.
"Mungkin kita belahan jiwa," kata Suguru.
"Mungkin kau benar-benar seorang gadis berusia enam belas tahun yang menyamar, mon sucre d'orge." Kata Satoru, bibirnya yang sempurna melengkung karena senyum. Di kencan ke-dua mereka, Suguru belajar bahwa mon sucre d’orge yang terdengar seksi saat diucapkan itu berarti ‘permen tongkat ku’. Satoru sudah mengklaim kepemilikannya sedari awal.
Suguru tidak bisa menahan diri untuk bangun, duduk di pangkuan Satoru, lalu menciumnya.
Suguru menganggap ini sebagai ciuman pertama mereka yang pantas, karena kecupan kecil di belakang taksi tidak dihitung. Inilah yang dinamakan sebuah ciuman. Awalnya lembut, lalu Satoru menghela napas sedikit, mulutnya terbuka manis di bawah mulut Suguru, cukup bagi Suguru untuk menggeser lidahnya. Mata Satoru terpejam ketika lidah Suguru membelit lidahnya, dan dia melingkarkan salah satu tangannya yang besar di belakang leher Suguru untuk menariknya mendekat.
Sial. Satoru terasa seperti wiski yang dia minum, dan Suguru beringsut agar semakin dekat dengan Satoru – meskipun tubuh mereka sudah bisa dibilang sangat menempel – tangannya menyelinap ke dalam kemeja Satoru, entah bagaimana berhasil melakukan semua itu tanpa sekalipun meninggalkan mulut Satoru. Dia terengah-engah sekarang, ciumannya kian basah dan dalam. Suguru menempelkan telapak tangannya ke dada Satoru, merasakan otot dada di bawah tangannya, dan astaga, dia tidak tahu kenapa mereka tidak melakukan ini lebih awal. Kenapa harus menunggu hingga makan malam ke-enam dan kencan ke-tiga?
"Kau baik-baik saja?" Satoru bertanya, suaranya sedikit serak, dan Suguru menyadari dia berhenti mencium Satoru ketika dia mulai menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah dada Satoru. Dia menunduk, dan tanpa sadar mengumpat dalam hati karena Satoru terlihat sangat sempurna, bibirnya memerah, dan yang Suguru ingin lakukan hanyalah menciumnya hingga kedua mulut mereka mati rasa.
"Aku baik-baik saja," katanya datar. Suguru menciumnya lagi. Kali ini, Satoru menggigit bibir bawah Suguru yang tebal, cukup untuk membuatnya perih, sebelum dia mengusapkan ujung lidahnya di sana, dan Suguru mengerang di mulut Satoru.
“Mulutmu,” erang Satoru, ketika mereka membuat jarak untuk mengais udara. Satoru memandang bibirnya seperti orang mabuk kepayang. “Kau tidak tahu – maksudku, apa kau tidak pernah sadar, kau selalu memainkan lidahmu —”
“Apa?” kata Suguru, sulit untuk memamah kalimat yang dilontarkan Suguru ketika dia pun dibuat mabuk oleh ciuman-ciuman mereka.
“Lidah dan bibirmu,” ulang Satoru sambil mencondongkan tubuh untuk menciumnya kembali, menggigit bibirnya, dan sial, jika dia terus-menerus melakukannya, bibir Suguru bisa bengkak seperti disengat tawon keesokan paginya, tapi ah, dia tidak peduli. "Kau punya fiksasi mulut yang mengacaukan pikiranku, tahu tidak? Kau selalu mengusapkan lidah di bibirmu — terutama bibir bawah — lalu tanpa alasan yang jelas, kau menggigit dan menghisap apa saja; garpu, ujung-ujung kukumu, bahkan ujung sedotan. Kau melakukannya sepanjang waktu ketika kita bersama, dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap mulutmu –”
“Aku benar-benar tidak tahu soal itu,” Suguru terkesiap.
“Ya? Dan lihatlah apa akibatnya,” ucap Satoru, menciumnya lebih dalam. Oke, orang-orang di sekitar Suguru pernah berkata bahwa dia memang punya semacam fiksasi mulut, tapi dia sungguh tidak melakukannya dengan sengaja. Semua itu hanya kebiasaan yang tidak dia sadari sampai sekarang dan tidak ada yang pernah benar-benar keberatan jadi Suguru tidak ambil pusing. Nah, tapi situasinya berbeda sekarang. Satoru baru saja mengaku bahwa mulutnya membikin dia gila.
Satoru kemudian menarik diri dari bibirnya; Suguru nyaris merengek, meminta Satoru menciumnya lagi, tapi kemudian Satoru menunduk dan menjilat jalaran nadi di lehernya, dan – oke, ya, lupakan ciuman, Satoru bisa menaruh mulutnya di mana pun. Satoru menghujani ceruk leher, pundak, dan tulang selangkanya dengan ciuman, terkadang jilatan juga terlibat. Semua tindakan itu membuat Suguru bergidik, posisi mereka membuat penis Suguru saling gesek dengan pinggang Satoru, dan tiba-tiba dia tersadar betapa tegangnya dia, dan betapa beratnya penis Satoru yang menekan pahanya dari bawah.
Satoru tetap meletakkan tangannya di belakang leher Suguru, namun menjatuhkan tangan lainnya ke bagian punggung, membaringkan tubuh Suguru pelan dan menjaganya tetap di tempat yang dia inginkan agar bisa terus menggigit dan menandai leher Suguru.
Tindakan Satoru membuatnya terus menggeliat dan kesulitan bernapas. Saat Satoru menarik diri, Suguru berkata, "Sekarang siapa yang punya fiksasi oral, ya?"
Mata Satoru menjadi sangat gelap ketika dia melihat ke arah Suguru, dan Suguru tidak bisa membayangkan bagaimana rupa lehernya, tapi Satoru pasti membuatnya berantakan. Satoru mencondongkan tubuh untuk menciumnya lagi, tapi kali ini ketika dia melingkarkan tangannya di leher Suguru, dia menekan ujung jarinya pada bekas cupang yang ia berikan, dan seluruh tubuh Suguru terasa seperti disengat. Penisnya terasa sesak karena terjebak dalam celana jinsnya, jari-jarinya menggapai Satoru, mencengkeram kemejanya hingga kusut tak berbentuk. “Lepas,” desahnya, sembari menjauhkan mulutnya dari milik Satoru. “Lepas bajumu, sekarang.”
"Sabar," kata Satoru, bibirnya sudah bengkak, merah, dan sedikit robek karena gigitan Suguru. Mereka bahkan belum memulainya, tapi sudah terlihat sangat kacau.
Secara ajaib, keduanya berhasil melepas celana jeans masing-masing, tapi mereka kesulitan melepas baju mereka seluruhnya karena tidak bisa berhenti memagut bibir satu satu sama lain. Separuh dari kancing kemeja Satoru terbuka, cukup bagi Suguru untuk menyapukan lidah dan menggigit garis tulang dadanya. Detik berikutnya, dia melakukan tindakan berani dengan menarik kemeja Satoru hingga lepas dan memegang ujung penisnya. Suguru bisa merasakan desau napas Satoru yang mulai tak beraturan di mulutnya.
"Kembali ke sini," Satoru terkesiap, menarik kerah baju Suguru, dan - sial, Suguru semakin terangsang ketika ditarik paksa seperti itu. Satoru menekankan telapak tangannya ke mulut Suguru. “Jilat,” perintahnya, sementara tangannya yang lain memegang pinggul Suguru dengan erat hingga terasa agak sakit. Suguru mengusap telapak tangan Satoru dengan lidahnya, membuatnya sebasah mungkin. Setelah selesai, Satoru mengangkat telapak tangan yang basah itu ke mulutnya sendiri dan menjilatnya juga — seolah-olah dia mencoba mengecap rasa Suguru lewat telapak tangannya. Suguru merinding, bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya naik terlebih saat Satoru meludahi telapak tangannya, kemudian menggenggam penis mereka secara bersamaan dengan tangannya yang basah.
“Astaga – sial,” Suguru mengumpat ke dalam mulut Satoru, pinggulnya berayun ke depan dan penisnya bergesekan dengan milik Satoru, terasa panas dan berat. Dia bukan penggemar frottage tapi yang dilakukannya kali ini sangat menggairahkan. Dia memejamkan mata, pendingin ruangan di rumah Satoru mendadak tak berguna karena sekujur tubuhnya tetap terasa panas. Satoru terus menerus mendorong penisnya keluar masuk genggaman, kian lama kian cepat, beradu dengan milik Suguru. Suguru membenamkan ujung-ujung kuku pendeknya ke otot bisep Satoru, dan merasakannya berkedut seiring dengan kocokan di penis mereka.
“Suguru,” gumam Satoru, napasnya jelas acak-acakan. “Kau boleh keluar, kau tahu, kau boleh keluar kapan pun kau mau, aku suka melihatmu saat basah ,”
Pinggul Suguru mengejang saat tangan Satoru mengeratkan genggaman di penis mereka, lalu Satoru menundukkan kepalanya; menggigit salah satu cupang di lehernya, dan rasa sakit-tapi-nikmat yang tajam membuat Suguru langsung terhenyak. Dia mengerang panjang saat meraih orgasme, tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Satoru; penisnya berdenyut di atas penis Satoru seperti yang selama ini didambakannya. Dengan akal sehat yang tinggal sejumput, Suguru mencoba mengulurkan tangan dan meraih kepala penis Satoru — yang basah karena sperma Suguru — lalu mengusapkan ibu jarinya di sana dan tak lama, Satoru pun mencapai puncak.
Suguru merosot ke dada Satoru, keduanya terengah-engah.
"Oke," kata Suguru akhirnya. "Kita harus melakukannya lagi.”
"Jangan sekarang," kata Satoru, dan dia terdengar mengantuk. Sesaat, Suguru merasa tidak enak – sekarang pasti sudah jam 2 dini hari, dan tentu saja Satoru harus bangun pagi-pagi ke restoran. "Kita bukan anak remaja, orgasme berkali-kali itu melelahkan.”
"Bukan salahku kalau kau tidak punya stamina," jawab Suguru, dan Satoru tertawa, terdengar benar-benar lelah.
"Sini," katanya sambil menarik Suguru, dan Suguru naik agar Satoru bisa menciumnya lagi. Wow, siapa sangka Satoru begitu suka berciuman?
Kemudian Satoru meraih wajah Suguru dengan tangannya yang basah, mengoleskan sisa spermanya ke seluruh pipi Suguru, dan Suguru berteriak, memutar tubuhnya menjauh saat Satoru tertawa dan tertawa.
“Brengsek kau,” kata Suguru, turun dari tubuh Satoru dan menuju lantai berkarpet. Dia sedikit terhuyung-huyung ketika berdiri, tapi berhasil menjaga keseimbangannya, dan dia baru tersadar bahwa dia telanjang dari pinggang hingga ujung kaki, kemejanya kini kusut dan bernoda, sperma mengotori perut dan pahanya. Akan tetapi, Satoru pun tidak jauh berbeda, jadi Suguru tidak merasa bodoh sendiri. “Aku tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini.”
“Kalau begitu, menginap lah,” kata Satoru.
“Boleh?”
“Tentu saja. Besok aku akan meminjamkanmu pakaian. Jadi, bisa kah kita mandi sekarang dan tidur sebelum aku pingsan di sofa ini?”
Mandi. Ya. Mandi, apalagi dengan air hangat usai momen pasca-koitalnya dengan Satoru terdengar menyenangkan.
“Lalu, apa yang harus kupakai malam ini untuk tidur?” tanya Suguru, tanpa sadar bibir bawahnya maju ke depan.
Satoru menciumnya, lalu menaikkan sebelah alis. “Kau tidak butuh baju untuk itu.”
“Katamu, kau sudah terlalu capek untuk melanjutkannya,” sergah Suguru.
Ternyata, Satoru memang benar-benar lelah, tapi dia tidak terlalu lelah untuk tidur telanjang sembari berpelukan dengan posisi menyendok bersama Suguru di ranjangnya. Meskipun memiliki tubuh yang lebih besar, tapi rupanya Satoru lebih suka menjadi sendok kecil; membiarkan dirinya tertidur di lengan Suguru, tenggelam dalam pelukannya yang hangat.
Suguru tertidur dua menit setelah Satoru berhenti mencium tulang selangkanya dan keesokan paginya, ketika alarm Satoru membangunkannya lebih awal dari yang dia inginkan, dia tidak merasa keberatan sama sekali karena dia terlalu sibuk menikmati pemandangan Satoru yang tengah tersandung dan membentak semua hal di sekelilingnya. Dia bertingkah seperti zombie pemarah sampai Suguru merasa kasihan padanya dan memutuskan untuk berjalan ke dapur, membuatkan kopi selagi Satoru mandi.
Dengan status Suguru dan Satoru sebagai figur publik, tentu saja tidak butuh waktu yang lama hingga kabar hubungan mereka mulai naik ke permukaan.
Suguru baru saja pulang pada suatu sore, setelah menghabiskan satu malam lagi di rumah Satoru. Ia hendak mandi dan pergi ke penatu sebelum menuju ke restoran Satoru lagi ketika ponselnya berdering. Dia mengeluarkannya dari saku mengira itu Satoru, tapi ternyata Miguel.
“Jadi, kudengar kau berhasil. Untuk pertama kalinya, aku setuju dengan pria yang kau gaet. Zari mengucapkan selamat. Dia bilang, dia tidak menyangka kau bisa bergerak secepat itu.”
“Dengar apa dan dari mana?” kata Suguru bingung.
“Eh, jangan pura-pura tidak tahu. Kau tidak cocok jadi orang polos begitu, Suguru.”
“Berhenti bertingkah seperti orang brengsek dan katakan padaku, apa yang sedang terjadi?”
“Entahlah? Harusnya kau yang lebih tahu tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan percintaanmu, atau apa yang ditulis di situs Mediabādo tentang itu.”
Astaga. Suguru terbeliak. Majalah daring sialan Mediabādo yang tidak pernah berhenti mengusik hidupnya. Alih-alih membalas Miguel, dia membuka halaman Mediabādo di ponselnya, dan tentu saja berita tentangnya muncul di urutan pertama dalam rubrik olahraga.
SUGURU GETOU MASIH BELUM MENGERTI MAKNA ‘BIJAKSANA’. BEGITU PUN KOKI SELEBRITI GOJO SATORU.
Tampaknya pemain basket favorit semua orang telah menemukan fokus baru dalam kehidupannya!
Center dari Alvark Tokyo, Suguru Getou terlihat di La Fourchette des Ducs, restoran yang dibuka oleh pemenang Masterchef Prancis 2016 Satoru Gojo, setiap hari selama dua pekan terakhir.
Mungkin Anda berpikir tidak ada yang aneh dengan itu; berkunjung ke restoran baru yang didirikan oleh pemilik restoran berbintang michelin, tapi foto-foto yang didapatkan secara eksklusif oleh Mediabādo akan membuat Anda berpikir ulang. Apakah Getou benar-benar datang ke sana hanya untuk makan?
Tentu saja dengan fakta bahwa Gojo menarik, muda, dan juga memiliki histori pernah berhubungan dengan pria, sulit untuk menyangkal relasi romansa di antara mereka berdua.
Meskipun demikian, kami bertanya-tanya: apakah bijaksana bagi Getou untuk memamerkan hubungan barunya secara terbuka, segera setelah Alvark disingkirkan Jets di seri semi final terakhir mereka, yang sebagian besar berkat kegagalan Getou mencetak angka di menit terakhir?
Dan di bawah artikel sial ini, ada foto dirinya bersama Satoru. Foto buram, jelas diambil dengan ponsel dari kejauhan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ya, itu memang mereka berdua. Ada foto mereka sedang duduk bersama di La Fourchette des Ducs, kepala tertunduk berdekatan sambil menertawakan suatu lelucon; di bar di Four Seasons, berpegangan tangan di atas meja; dan yang terburuk, foto-foto mereka saat mereka memasuki lobi gedung kondominium Satoru, bibir merekat dan tangan Satoru meremas bokongnya.
Jari-jari Suguru terasa dingin saat ponsel terlepas dari tangannya.
Dia benar-benar tidak memikirkannya ketika dia memulai hal ini dengan Satoru; yang dia inginkan hanyalah disukai balik oleh Satoru, berkencan, dan tidur dengannya. Akan tetapi setelah dia berhasil mendapatkan semua itu, dia baru tersadar bahwa tindakannya akan mengekspos Satoru ke seantero kota, mungkin akan ada paparazzi berkemah di luar restoran dan rumahnya, ini tidak adil. Tidak adil jika Satoru harus melalui semua omong kosong ini, hanya karena center dari tim yang langganan memenangkan liga B dan juga bintang di timnas basket Jepang menaruh hati padanya.
Sejak bertemu Satoru, dia sudah melupakan semuanya – namun artikel tersebut mengingatkannya kembali. Kekalahan tim di babak semi final, kekacauan yang diciptakannya. Apa yang akan dipikirkan para penggemar dan manajemen, ketika mereka melihat Suguru Getou keluar dengan pacar barunya? Hal ini membuatnya tampak bodo amat dan tidak memiliki sedikit pun penyesalan dengan kekalahan timnya baru-baru ini.
Singkatnya: apa dia tidak pernah berpikir?
Dia menatap ponselnya lagi, tergeletak di lantai di antara kedua kakinya, dan dia berpikir untuk kembali mabuk seperti yang dilakukannya setelah pertandingan — untuk menebus kesalahannya, untuk menunjukkan bahwa ya, dia benar-benar sengsara, dan menyalahkan dirinya sendiri setiap hari, hingga kini tetap saja menyalahkan dirinya sendiri, sampai Satoru datang ke dalam hidupnya dan mengangkatnya keluar dari semua ketakutan itu — dan hanya butuh dua detik baginya untuk menyadari bahwa itu bukan tindakan yang tepat.
Satoru – semua karena Satoru. Suguru tidak akan pernah merasa setenang atau sebahagia ini tanpanya, tidak akan pernah memiliki kepercayaan diri untuk berpikir: ya, di musim depan, aku bisa melakukannya, dan bisa melupakan apa yang telah terjadi hingga benar-benar bahagia untuk pertama kalinya sepanjang musim panas yang suram itu.
Dia mengambil ponselnya dari lantai. Dia perlu menelepon Satoru dan berbicara dengannya, meminta maaf karena membuat paparazzi mengintai di sekitar rumahnya dan wajahnya tersebar ke seluruh Jepang sebagai mainan baru Suguru Getou.
Satoru akan mencampakkannya, dia cukup yakin. Tapi sebelum hal itu terjadi, dia perlu meminta maaf dan berterima kasih kepada Satoru. Dia akan memberitahu Satoru bahwa dia lah yang membuat Suguru mampu melewati momen terburuknya musim ini. Meskipun Satoru akan mencampakkannya, Suguru cukup yakin Satoru tetap akan jadi tipe pria yang menghargai kejujuran dan keterbukaan Suguru padanya.
Namun sebelum dia menelepon Satoru, dia menelepon Miguel.
"Siapa sangka," Miguel bersuara ketika dia menjawab. "Sugu- chan menemukan cinta sejatinya.”
“Apa posisiku di tim akan digantikan?” tanya Suguru, langsung ke pokok permasalahan. Ada jeda yang lama, begitu lama hingga Suguru mulai merasakan rasa dingin mencakar perutnya.
Lalu Miguel berkata, "Apa – tidak. Tidak. Kenapa kau bisa berpikir begitu?”
“Aku – entahlah.”
Suara Miguel menjadi lembut. "Apakah ini tentang artikel di Mediabādo itu? Apa yang mereka katakan tentang permainanmu? Aduh, Suguru. Aku tidak akan memberitahumu soal itu jika pada akhirnya akan membuat isi kepalamu kacau lagi. Aku menertawakan artikel bodoh itu! Kupikir kau akan tertawa juga!"
Suguru mengangkat bahu tak berdaya, meski dia tahu Miguel tidak bisa melihatnya. "Tapi mereka benar. Aku tidak bisa dengan santainya berciuman dengan pria — apalagi memacari mereka — ketika aku membuat timku gagal mendapatkan piala.”
"Sugu- chan, menang atau kalah itu kerja sama tim. Itu semua bukan tanggung jawabmu. Tidak ada yang menyalahkanmu, paham? Aku, anak-anak di tim, ataupun manajemen tidak sedikitpun menganggapnya sebagai kesalahanmu.”
"Kecuali para penggemar," kata Suguru, matanya mengerjap, air mata sudah mulai berkumpul di sudut matanya.
"Penggemar cepat memaafkan," kata Miguel, dan suaranya lebih lembut dari yang pernah didengar Suguru, tidak ada nada jahil atau sarkasme seperti biasanya. “Ketika kita memenangkan piala tahun depan, tidak ada yang akan mengingat musim ini.”
Suguru enggan mengakui hal ini bahkan sekalipun dia tengah sekarat; tapi dia mencintai Miguel saat pria itu mengatakan ‘ketika’ dan bukan ‘jika’
“Aku benar-benar tidak akan diganti?” dia bertanya dengan suara kecil.
Miguel tertawa terbahak-bahak. "Diganti? Untuk alasan apa? Karena punya pacar pria? Suguru, manajemen tahu kau gay — aku rasa, orang se-Jepang juga tahu? Mereka tahu kau pernah punya pacar sebelumnya, dan sejujurnya dulu lebih parah karena kau berkencan secara asal, tidak seserius ini. Mereka tidak peduli. Lalu, tidak ada seorang pun di tim yang akan memedulikan hal ini, aku jamin. Satu-satunya hal yang akan kalian dapatkan adalah pertanyaan siapa yang di atas, siapa yang di bawah, berapa kali kalian melakukan seks dalam seminggu, yang sejujurnya, aku bahkan tidak mau memikirkannya."
"Oke," kata Suguru. "Aku percaya pada tim. Tapi – Satoru?" Suaranya pecah saat mengatakan 'Satoru', dan dia tahu Miguel mendengarnya, tapi yang patut disyukuri, Miguel tidak berkomentar apa pun tentang hal itu.
"Ya, kenapa memangnya?”
"Ini – ini tidak adil baginya. Wajahnya tersebar ke seluruh kota sekarang dengan status sebagai pacarku. Orang-orang akan berkemah di luar rumahnya. Dia tidak akan memiliki privasi apa pun. Dia pasti kaget. Aku tidak bisa membiarkan hal bodoh ini terjadi padanya."
"Suguru, aku yakin dia tahu persis apa yang akan dia hadapi jika berkencan dengan pemain inti Alvark.”
"Mungkin dia tidak mengira bakalan seburuk ini?”
Miguel mendengus. "Satu artikel Mediabado tidak bisa kusebut buruk. Tenangkan dirimu. Dia selebriti juga, atau kau lupa? Dia sudah terbiasa menjadi perhatian media."
Suguru terdiam. Iya juga. Entah bagaimana, hal itu luput dari ingatannya gara-gara panik.
"Tapi – mungkin dia tidak terbiasa dengan hal seperti ini. Pelanggaran privasi, kehidupan pribadi." Dia ingat bagaimana Satoru memberitahunya bahwa dia tidak secara terang-terangan mengatakan kepada dunia bahwa dia panseksual, meskipun kalaupun ada yang mengetahuinya, dia tidak akan menyangkal. Itu berarti Satoru tidak suka kehidupan pribadinya tersebar di Internet, bukan?
"Mungkin tidak," Miguel setuju. “Tapi kurasa semua orang juga tidak bisa terbiasa dengan hal seperti itu, tahu? Aku juga tidak suka fotografer mengambil foto istri dan kedua anak perempuanku saat mereka pergi keluar.”
"Oke," kata Suguru. "Kau mungkin ada benarnya."
"Tentu saja aku selalu benar, apa maksudmu?" kata Miguel, dan dia terdengar sangat bangga akan dirinya sendiri; segera menjadi Miguel brengsek yang normal, alih-alih sahabat yang baik.
"Aku akan tutup teleponnya, brengsek," katanya, lalu teleponnya berbunyi bip menandakan ada saluran kedua yang masuk. Dia menjauhkan ponsel dari telinganya cukup lama untuk melihat ID penelepon, dan "Chef Ngambekan" berkedip-kedip di layarnya. Itu adalah nama yang dia gunakan untuk menyimpan nomor telepon Satoru — ia sempat terkikik karenanya sementara Satoru mengerutkan kening ke arahnya dan terlihat marah, sesuai dengan julukan yang diberikan Suguru padanya. “Aku benar-benar akan menutupnya. Satoru menelepon.”
“Baiklah,” Miguel menghela napas dan menutup telepon sebelum Suguru sempat mengucapkan terima kasih.
Tidak masalah. Suguru akan membalas budi dengan mengajaknya pergi makan dan mentraktir apa saja yang dia inginkan nanti. Meskipun kemungkinan besar dia akan diseret pergi ke tempat ayam muamba favoritnya yang membuat perut Suguru mulas hanya dengan mencium baunya.
Satoru terdiam di telepon saat Suguru memberitahunya tentang artikel Mediabado.
"Bacakan untukku," katanya. Dia berada di dapur ketika menelepon Suguru, dan Suguru dapat mendengar suara-suara latar belakang yang bising; panci dan wajan berdenting, masakan yang mendesis, dan beberapa seruan di antara para koki. Sekarang jauh lebih sepi, dan Suguru menduga Satoru mungkin telah keluar dari dapur, menuju lorong sepi di belakang restoran.
“Apa? Tidak mau.” Sergah Suguru.
“Suguru. Bacakan. Sekarang.”
Ada sesuatu yang sangat berbahaya dan menakutkan dalam suara Satoru ketika dia bersikap seperti ini. Seringkali, hal itu membuat Suguru menjadi lemas dan terangsang sekali. Namun sekarang, yang Suguru pikirkan hanyalah: seandainya Satoru terus bermain basket, dia mungkin akan menjadi kapten yang hebat. Atau mungkin seorang perampok bank yang hebat, karena tidak ada teller yang berani mengatakan tidak terhadap suara dan sikap tersebut ketika dia menyerbu konter dan meminta agar mereka memberikan semua uang di bank kepadanya. Dia kaget saat mendapati tawa kecil histeris keluar dari tenggorokannya. Kepalanya pusing karena stres, dan dia malah tertawa.
"Suguru?" Nada memerintah itu lenyap dari suara Satoru, digantikan dengan rasa khawatir dan bingung yang kentara. “Kau baik-baik saja?”
"Ya," kata Suguru, menghela napas panjang beberapa kali untuk mengendalikan dirinya. "Ya, aku baik-baik saja. Tapi aku tidak akan membacakannya untukmu, dan aku tidak ingin kau melihat atau membaca artikel sialan itu."
Sekarang giliran Satoru yang tertawa, terdengar tidak percaya. "Apakah kau bercanda? Jika kau tidak membacakannya sekarang, aku akan menutup telepon dan membacanya sendiri. Ini tentang aku juga."
Baiklah, Suguru tidak punya alasan untuk menolak kali ini. Jadi dia mengubah mode panggilan menjadi mode loud speaker lalu membaca artikel itu dengan terbata-bata. Pada saat dia sampai di kalimat terakhir, dia merasakan beban di tenggorokannya muncul kembali, dan dia tahu dia akan menangis bahkan sebelum Satoru mulai berbicara.
“Suguru –”
“J-jangan,” kata Suguru, lidahnya sulit menemukan kata-kata tanpa tergagap. "Tidak apa-apa, oke? Kau tidak perlu berkata apa-apa. Ini sepenuhnya salahku, seharusnya aku lebih berhati-hati, dan aku minta maaf. Maafkan aku, Satoru." Dia kemudian tersedak, air mata tumpah di pipinya, dan dia menyekanya dengan kasar menggunakan telapak tangannya. "Begini, aku mengerti kalau kau bilang padaku kau tidak bisa melanjutkan semua ini. Aku hanya – yah, bagiku itu tidak masalah. Aku minta maaf. Aku akan bilang ke PR, buat pernyataan singkat tentang bagaimana kita putus, dan mereka mungkin akan meninggalkanmu sendirian setelah beberapa saat."
“Tunggu - apa? Putus?”
“Ya,” Suguru terisak. Air matanya mulai mereda tapi matanya masih terasa panas. "Itu lebih mudah bagimu, bukan? Jangan lakukan apa pun, jangan katakan apa pun. Aku akan menangani kekacauan ini, dan aku minta maaf karena telah melibatkanmu. Jika aku meninggalkanmu, mereka juga akan meninggalkanmu.”
"Kauu ingin putus denganku?" Suara Satoru pelan, begitu pelan.
"TIDAK!" kata Suguru. "Maksudku, ya, tapi tidak. Tidak."
"Suguru, kau mulai bicara ngawur sekarang.”
"Aku tidak ingin putus," kata Suguru. "Begini, aku sangat menyukaimu, oke? Ini bukan sekadar iseng, dan kau juga bukan pria yang kuanggap seperti mainan, tidak peduli apa kata artikel sialan itu. Aku sangat menyukaimu." Dan begitu dia mengungkapkannya, segala sesuatu mengalir keluar dari dirinya, seperti tanggul jebol. "Kau pria paling memikat yang pernah kulihat, rasa masakanmu seperti mimpi, dan tanganmu bagaikan sihir, seks kita selalu luar biasa, meskipun kita belum benar-benar bersanggama, dan kau membuatku bahagia . Kau membuatku bahagia, dan aku sangat menyukaimu, dan aku merasa sedih karena harus melepaskanmu hanya karena pers tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian selama kamu bersamaku."
"Oh," kata Satoru. Dia terdengar sangat terkejut, dan Suguru pikir itu adalah reaksi dan respons yang wajar jika seseorang mengucapkan serentetan pemujaan terhadap dirimu di tengah isak dan napas tersengal. Dia tidak peduli jika hal ini membuatnya terlihat bodoh, setidaknya dia sudah memberi tahu Satoru bahwa ini bukan yang dia inginkan, bahwa dia memang menyukai Satoru, tapi dia tidak punya pilihan, karena Satoru pantas menjalani kehidupan yang damai.
"Apakah kau mengerti maksudku sekarang? Kau tidak akan pernah memiliki privasi jika bersamaku. Dan kau – kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari itu, Satoru, lebih baik dariku." Dia tersedak lagi, dan dengan gigih menggigit bagian dalam pipinya untuk mencegah suara lain keluar darinya.
"Ya. Oke. Aku paham, aku mengerti," suara Satoru ternyata sangat lembut. Suguru ingin merangkak ke suatu tempat dan mati, karena dia tidak akan pernah mendengar Satoru seperti ini lagi.
"Aku minta maaf," katanya lagi. "Aku–”
"Aku juga menyukaimu," sela Satoru.
"Baiklah, aku bisa mengerti kalau kau juga tidak menginginkan ini, dan kau ingin putus sekarang, seperti saranku, karena – eh? Apa?”
"Aku juga menyukaimu, Suguru," kata Satoru lembut. "Aku sangat menyukaimu, dan itu hanya pemberitaan picisan. Aku tidak terlalu peduli siapa yang melihat kita bersama, atau apa media mana pun yang mungkin memberitakan tentang kita. Sejujurnya aku cukup senang mereka punya foto-foto saat kita berciuman, karena sekarang semua orang tahu kau milikku."
Suguru tidak tahu harus berkata apa – dia bahkan mendadak lupa caranya bicara. Kesadaran perlahan muncul di otaknya dan menyerukan bahwa hei, mungkin dia tidak terlalu mengacaukan hubungan ini? Mungkin dia tidak harus kehilangan Satoru. Mungkin, ya Tuhan, mungkin dia bisa terus menjadi pemain Alvark dan anggota timnas Jepang, dan tetap memiliki Satoru, dan menyabet titel juara liga B musim depan, dan mengabaikan semua orang yang merasa keberatan dengan itu.
"Aku akan memenangkan piala untukmu musim depan," Suguru memberitahunya, sangat bersungguh-sungguh, dan dia bisa tahu kalau Satoru tengah mengangguk sembari tersenyum meskipun mereka tidak sedang berhadapan satu sama lain.
"Aku tahu kau akan melakukannya," kata Satoru, dan sungguh, Satoru bisa membaca pikirannya, tahu persis apa yang ingin dia katakan. Seandainya saja Satoru masih bermain basket, mereka pasti akan jadi duo yang hebat. Duo terkuat. Mereka bermain di liga yang sama, memainkan umpan-umpan paling sempurna, dan mencetak angka.
Namun di semesta ini, Satoru tidak bisa lagi bermain basket, akan tetapi dia koki terbaik di negara ini, Suguru sangat yakin dengan itu. Dan Satoru adalah pacarnya.
Hal itu, bagi Suguru, jauh lebih berharga dari sebuah piala.
"Apakah kau merasa lebih baik sekarang?" Satoru bertanya, dan Suguru menggumamkan ya.
"Aku akan memperjelas; kita tidak akan putus. Aku tidak mau, begitu juga kau," kata Satoru.
"Ya, tidak, lupakan itu," kata Suguru sambil tertawa kecil di sela-sela air matanya. “Maaf, aku bodoh. Seharusnya aku mempercayaimu.”
"Seharusnya begitu," kata Satoru dengan mudah. “Tapi aku selalu tahu kau bodoh, jadi aku bisa maklum.”
“Dasar,” gerutunya, tapi lekas senyum mengambil alih wajahnya setelah Satoru tertawa di telepon.
"Sampai jumpa malam ini," kata Satoru hangat, seolah tidak ada yang berubah. "Kau mau datang lagi ‘kan? Aku tidak peduli soal fotografer, aku punya penjaga yang bisa menjemputmu di lobi. Tapi kalau kau merasa aneh dengan itu—"
"Bagaimana kalau kau datang ke tempatku saja?" Suguru bertanya. "Kau belum pernah melihatnya. Dan … uh, sekalian menginap saja di sini?”
"Oke. Mau aku bawakan sesuatu? Makanan, anggur, atau apa pun?"
"Persetan dengan anggurnya," kata Suguru. "Kau harus bawa lubrikan dan kondom. Yang. Banyak.”
Ada bunyi gedebuk keras di saluran lain yang memberitahu Suguru bahwa Satoru menjatuhkan ponselnya di trotoar, dan Suguru tidak bisa menahan tawa, semua stres, kekhawatiran, dan kegelisahan yang bergejolak di perutnya secara ajaib menguap.
Ketika Satoru tiba menjelang tengah malam, Suguru tidak membuang waktu untuk menarik kemejanya setelah dia menendang pintu hingga tertutup, dan membanting Satoru ke dinding. Dia mendongakkan kepala untuk mencium Satoru ketika mereka berdiri, sial, pria jangkung sepertinya memang punya tempat tersendiri di hati Suguru. Tidak sulit menemukan pria bertubuh tinggi di Jepang, tapi yang memiliki tinggi menjulang di atasnya dan bukan berasal dari kalangan atlet, itu agak jarang. Satoru mempermudah ciuman mereka dengan menunduk, menjilat ujung bibir Suguru hingga terbuka, sementara tangannya menangkup pantat Suguru dan mengangkatnya sedikit hingga ujung kakinya tidak menyentuh lantai.
Suguru merasa sangat terangsang karena Satoru bisa mengangkatnya dengan mudah. Tidak pernah ada yang menggendong atau bahkan mengangkatnya seperti ini — kecuali rekan-rekan satu timnya saat mereka melakukan selebrasi kemenangan, tapi dalam hal partner, baru Satoru saja. Mungkin karena Suguru juga bukanlah tipe pria bertubuh mungil, atau mungkin karena pria-pria lain tak ada yang sekuat Satoru. Dia mendapati dirinya bertanya-tanya apakah mereka bisa bercinta di sini. Satoru bisa mengangkatnya, memegang pinggangnya erat, dan dia akan mengaitkan kakinya di sekitar Satoru saat mereka bercinta. Dia yakin Satoru tidak akan kesulitan melakukannya seperti itu, dan penisnya sudah setengah keras hanya dengan memikirkannya sambil bercumbu.
"Apakah ada fotografer?" dia akhirnya bertanya, saat dia cukup mampu mengendalikan diri untuk mengambil langkah mundur dari Satoru. "Di bawah?"
Satoru terlihat agak bingung karena sambutan antusias Suguru, tapi dia mengangguk. "Sepertinya ada beberapa. Tapi sudah kubilang, aku tidak peduli."
"Kau tidak peduli dan kau tidak keberatan kalau fotomu mungkin akan terpampang di halaman gosip setiap surat kabar dan tabloid besar di kota ini besok pagi?"
"Tidak," kata Satoru tegas. Tangannya menggenggam pantat Suguru lebih kuat, dan astaga, dia punya tangan besar yang indah. "Aku baik-baik saja jika seluruh kota mengetahui fakta bahwa kau milikku."
“Ada yang posesif di sini,” kata Suguru, tersenyum miring.
Satoru mendorongnya dengan lembut dan melepaskan tangannya dari pantat Suguru, tapi sebelum Suguru sempat merasa kecewa, dia merogoh tas kecilnya, mengeluarkan sebotol pelumas dan sekotak besar kondom. Dia melemparkan tasnya ke lantai dan melambaikan barang-barang itu di depan wajah Suguru.
"Aku tahu aku belum pernah ke sini, dan aku yakin kau ingin memberiku house tour, tapi jika kau tidak keberatan, hal pertama yang ingin aku lihat adalah kamar tidurmu."
Suguru menelan ludah. "Kamar tidur. Ya. Ya, aku bisa menunjukannya.”
Mereka melepas pakaian mereka dalam waktu singkat – Suguru bahkan tidak tahu di mana kemeja dan celananya berada, mungkin berserakan di mana-mana dari serambi depan ke kamar tidur – tapi yang penting adalah di sini dan saat ini, di mana Suguru telungkup di tempat tidur, tubuh meringkuk di atas salah satu bantal empuk raksasanya, dan Satoru memasukkan dua jari ke dalam dirinya.
Jari-jari Satoru sangat sempurna. Panjang, tebal, dan kasar; hal yang wajar didapatkannya dalam perjalanan menjadi koki termuda dengan bintang Michelin. Dia menggunakan lebih banyak lubrikan daripada yang biasa Suguru pakai, tapi Suguru tidak keberatan, tidak keberatan untuk merasa basah dan terbuka untuk Satoru. Dia membenamkan wajahnya ke bantal dan terengah-engah ketika Satoru memiringkan jari-jarinya ke bawah, hanya menelusuri tepi prostatnya, dan menurutnya Satoru sangat kejam karena dia sudah melakukan ini terlalu lama; membelai di sekitar prostatnya tetapi tidak memberikan tekanan apa pun padanya. Seprai Suguru mulai lembap karena penisnya sudah bocor dan meneteskan sperma di sana.
"Haruskah kutambah?" Satoru bertanya. "Bisakah kau menerima satu jariku lagi?”
"Brengsek, aku bisa menerima sebanyak apa pun yang kau mau, asalkan kau – ah, cepatlah,” kata Suguru sambil meringkuk di bantalnya.
"Tapi aku senang melihatmu seperti ini," kata Satoru sambil menggoda. "Aku memang sedikit jahat karena melakukan edging, tapi bagaimana lagi … aku suka ketika kau memohon–”
Suguru sudah muak. Dia mengulurkan tangan di antara kedua kakinya, dan sebelum Satoru bertanya apa yang dia lakukan, dia menggerakkan jari ke bawah testikel hingga mencapai lubangnya. Suguru menggunakan jari-jarinya untuk membuat analnya kian terbuka, siap untuk Satoru.
"Aku bisa menerimanya," dia menggerutu dan Satoru serta merta menggeram.
“Kau bisa membunuhku,” ujar Satoru.
Suguru mendengar suara gemeresak dari paket kondom yang dirobek. Dia membalikkan badan sehingga bisa melihat Satoru menggulungnya untuk membungkus penis dan mengoleskan lebih banyak pelumas di sana.
"Aku ingin posisi ini," tuntut Suguru, "Aku ingin melihat wajahmu saat kau berada di dalamku.”
"Ya Tuhan," kata Satoru, tampak tersiksa karena libido yang memuncak. Dia memegangi pangkal kemaluannya seolah-olah dia takut akan meledakkan spermanya sekarang. "Berhenti bicara seperti itu, atau aku akan orgasme bahkan sebelum sempat memasukimu.”
"Kalau begitu cepatlah," kata Suguru, hampir berteriak, dan akhirnya - akhirnya - Satoru menyejajarkan kepala penis itu dengan lubangnya lalu menekannya ke dalam.
Persetan. Enak sekali, penis besar Satoru membukanya perlahan-lahan, jauh lebih baik daripada jari-jarinya, jauh lebih penuh. Suguru tidak bisa melakukan apa pun selain berpegangan pada bahu lebar Satoru, merasakan ujung jari-jari kakinya bergetar saat Satoru mendorong lebih dalam hingga pahanya menyentuh pantat Suguru. “Ya Tuhan,” desah Satoru, dan ketika dia melihat ke arah Suguru, mata birunya menggelap. “Suguru, astaga – kau terasa luar biasa.”
Suguru sedikit melengkungkan punggungnya, terengah-engah saat gerakan itu menekan penis Satoru lebih dalam ke dalam dirinya. "Cepat bergerak, Satoru!" katanya, dan Satoru menurut. Dia menundukkan kepalanya, mencium ceruk di antara leher dan pundak Suguru sembari mengeluar-masukkan penisnya, berulang-ulang, tusukan pendek dan tajam yang membuat Suguru terperangah hingga otaknya konslet.
Suguru sangat berisik, dia sendiri sadar akan hal itu; dia tidak pernah bisa diam saat berhubungan seks, dan ketika Satoru tiba-tiba berhenti, dia merengek. Satoru hanya mengubah posisi; pahanya yang kuat tertekuk di bawah pantat Suguru, dan mengangkat tubuh lencir itu ke dalam pangkuannya. Pahanya sangat besar, diselubungi otot-otot yang nyata, Suguru merasa kaget saat dia mengangkanginya. Namun, dia tidak keberatan, apalagi posisi itu membawa penis Satoru semakin dalam di tubuhnya, tepat di mana Suguru membutuhkannya.
"Brengsek," katanya, dan sekarang giliran dia yang menempelkan wajahnya ke leher Satoru, giginya menempel di bagian kulit di atas denyut nadi kekasihnya. "Hujam aku lebih keras lagi, Satoru, jangan berani-berani berhen-ti–" Satoru kemudian membuka belahan pantatnya dengan kedua tangan sehingga dia bisa masuk lebih dalam, dan itu adalah hal terpanas yang pernah dirasakan Suguru dalam hidupnya.
Dia terkulai di pangkuan Satoru, sungguh, sementara Satoru tidak berhenti menyentaknya dengan cepat dan dalam. Suguru menyukai ini; suka mengangkang dengan lemas di pangkuan Satoru dan membiarkan pria itu memuaskannya. Penisnya meluncur di bagian perut Satoru saat mereka bergerak. Sperma, dan keringat mengucur — tidak akan memakan waktu lama bagi Suguru untuk orgasme.
"Satoru, aku, aku rasanya ingin– ingin meledak," otaknya terasa meleleh, sulit sekali untuk bicara dengan benar. Satoru, si brengsek, masih terus menyenggamainya dengan tempo yang cepat dan mengarahkan penisnya secara presisi untuk menekan prostatnya berkali-kali sembari terus melebarkan pipi pantat Suguru.
Suguru benar-benar meledak, seperti adegan klise dalam film porno. Penisnya menyembur ke perut Satoru bahkan tanpa disentuh, kembang api menyala di balik kelopak matanya yang tertutup sambil meneriakkan nama Satoru. Dia berpikir samar-samar, jika ada tetangga yang bisa mendengarnya, mereka akan tahu bahwa seseorang bernama Satoru baru saja memberikan Suguru Getou orgasme paling menakjubkan dalam hidupnya.
"Ayo, Satoru," katanya, ketika dia akhirnya tersadar kembali, "ayolah, sayang, aku tahu kau ingin keluar di dalam tubuhku–”
Satoru membiarkannya jatuh ke tempat tidur, dan dia hampir tidak mengeluarkan suara apa pun karena napasnya yang sangat sesak, tapi dia meraih kaki Suguru, menekuknya di bagian lutut, lalu menyenggamainya dengan keras. Suguru mulai merasakan sekujur tubuhnya dirongrong sensitivitas tinggi saat penis Satoru membesar dan berkedut di dalam tubuhnya. Satoru mencapai puncak, Suguru bisa menyaksikannya; bagaimana wajah tampan itu memerah dengan mata biru yang terpejam, sementara mulutnya mengeluarkan erangan lembut yang pelan.
"Ya Tuhan, Suguru," kata Satoru sambil merosot di atasnya. “Astaga,”
Dia masih berada di dalam Suguru, dan Suguru tidak meminta untuk menariknya keluar juga – penis Satoru bisa tinggal di dalam dirinya selama apa pun yang diinginkannya. Dia memberitahu Satoru demikian, dengan kantuk yang menggelayut. Satoru menggeleng dan bersikeras tentang perlunya mandi, dia kemudian menarik diri dari dalam tubuh Suguru sepelan mungkin, tapi tetap saja membuat Suguru meringis karena kekosongan yang mendadak melingkupi dinding analnya.
"Mandi bersamaku," kata Satoru, berdiri di sisi tempat tidur dan mengulurkan tangan pada Suguru, terlihat sangat tenang untuk seseorang yang baru saja kehilangan akal sehatnya karena seks.
Suguru menggerutu, merengek, dan mengeluh, tapi dia membiarkan Satoru menyeretnya keluar dari tempat tidur menuju ke kamar mandi, tempat Satoru meluangkan waktu untuk mendakwa seleranya atas bath tub yang terbuat dari marmer hitam dan dinding bergambar bunga bakung, sebelum akhirnya mendorong Suguru masuk.
Satoru memandikannya, mengusapkan jari yang sudah diberi sabun ke lubangnya untuk melakukan pemeriksaan singkat, dan Suguru merinding, bukan karena kesakitan tapi karena sensitivitasnya yang berlebihan.
"Kau baik-baik saja?" Satoru bertanya.
"Lebih dari baik-baik saja," kata Suguru sambil tersenyum, ia memiringkan wajah untuk mencium Satoru di bawah pancuran air hangat.
"Hei," kata Satoru, ketika mereka melepaskan diri, mengedipkan air dari matanya. "Apakah kau ingat, ketika kau main basket untuk SMP Takayama?”
“Ya, sedikit?” Suguru bertanya-tanya mengapa Satoru tiba-tiba menanyakan pertanyaan acak sepertti itu. “Ingatanku seperti ikan mas; gampang kabur. Memangnya kenapa?”
Suguru menuangkan sampo di rambut panjang Suguru, lalu memijat kulit kepalanya pelan. “Aku juga tidak yakin kau akan mengingat ini. Tapi, aku mengingatmu dengan jelas.”
“Apa yang kau bicarakan?”
"Aku ingat betapa percaya dirinya kau saat itu. Kau masuk ke ruang ganti, mengenakan sandal jepit, dengan rambut hitam yang menganjur melewati cuping telinga, dan waktu itu kau terbilang pendek. Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin orang sepertimu bisa bermain? Lalu kau membuktikan bahwa aku keliru. Saat kau berada di lapangan, kau benar-benar jago. Kau mengalahkanku di turnamen antarsekolah waktu itu.
Rahang Suguru terbuka. “Kita - apa? Satoru, apa-apaan.”
Satoru tersenyum padanya, dan cara dia tersenyum, begitu hangat dan lembut, membuat perut Suguru jungkir balik. "Ya. Aku ada di sana, bermain denganmu. Kita baru berumur 13 tahun lalu? Atau 14 ya? Aku tahu kau tidak ingat aku, tapi aku ingat mengingatmu. Aku ingat melihatmu, dan berpikir: anak ini akan menjadi seorang superstar basket Jepang suatu hari nanti, dan ucapanku itu tidak salah."
"Satoru," kata Suguru heran. "Kenapa kau tidak pernah memberitahuku, bahkan di kali pertama kita bertemu?”
Satoru mengangkat bahu. "Sepertinya aku sedang menunggu waktu yang tepat. Aku tidak ingin kau mengira kalau aku … kau tahu, mencoba menjilat pemain basket profesional sepertimu, atau semacamnya." Dia menutup mulut Suguru dengan tangannya untuk membungkam protes. "Yang ingin kukatakan adalah, kau bermain dengan sangat baik pada saat itu, Suguru, dan kau baru berusia 13 tahun. Kau hebat sekarang, dan kau bisa menjadi lebih hebat lagi. Persetan dengan siapa pun yang tidak berpikir begitu. Kau akan kembali ke semi final di musim berikutnya dan kau akan memenangkan piala itu lagi. Dan … kurasa aku bisa mengatakan ini sekarang, tapi menurutku aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu di masa-masa remaja. Mungkin kau menganggapnya cinta monyet, tapi aku tidak peduli. Menurutku, apa yang kurasakan saat itu benar-benar nyata. Ya, aku berkencan dengan beberapa orang, tapi kau selalu memiliki tempat di hatiku. Hanya saja, aku tidak pernah berpikir kita akan bertemu lagi, apalagi saat aku berhenti main basket.”
Suguru tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Dia hanya mendongak lagi untuk mencium Satoru sampai keduanya kehabisan napas.
Ketika musim baru dimulai, Alvark hanya memainkan pertandingan pertama mereka di kandang sebelum mereka bertandang selama hampir dua minggu, memainkan lima pertandingan di kandang lawan. Satoru tidak bisa hadir untuk pertandingan kandang pertama – ada beberapa jurnalis dari Prancis yang datang ke La Fourchette des Ducs untuk mewawancarainya malam itu – tapi dia berjanji pada Suguru bahwa dia pasti akan pergi ke pertandingan kandang berikutnya, setelah dia kembali dari perjalanannya.
"Aku akan memberimu tiket," kata Suguru.
Mereka memulai musim dengan baik – kemenangan 79-68 di kandang atas Shiga pada pertandingan pertama, kemenangan 82-69 atas Ryukyu pada pertandingan pertama tandang. Namun mereka tersandung pada pertandingan berikutnya, dan kalah 77-67 dari Shimane, namun Suguru tidak memikirkannya, karena dia tahu Satoru menonton setiap pertandingannya lewat layar. Mereka memenangkan tiga pertandingan berikutnya, dan terbang kembali ke Tokyo dengan tiga kemenangan beruntun mereka. Suguru mencetak banyak angka di rangkaian pertandingan ini. Dia merasa sangat bersemangat.
"Aku mencetak setiap poin untukmu," dia memberitahu Satoru melalui telepon pada malam sebelum dia kembali ke Tokyo. Tiba-tiba dia merasa sedih; sudah hampir dua minggu tidak bertemu Satoru, tapi saat dia sampai di rumah nanti, Satoru pasti sedang berada di restoran. Dia akan langsung tertidur usai perjalanan panjang, sama sekali tidak punya energi untuk bertandang ke tempat kerja Satoru, yang berarti dia mungkin tidak akan bisa melihat Satoru malam ini.
"Aku tahu," kata Satoru, dan Suguru bisa mendengarnya tersenyum melalui telepon. “Teruskan kerja bagusmu, Sayang. Sampai jumpa saat kau kembali ke Tokyo.”
"Sampai jumpa lagi," kata Suguru. “ Love you,”
Haruta, yang berada di kamarnya ketika Satoru menelepon dan berpura-pura sedang bermain game di PSP Suguru, mendengus tertawa setelah Suguru menutup telepon. “Bagaimana mungkin kau masih aman dari diabetes?”
Suguru mengangkat jari tengah untuknya. Dia sudah terbiasa dengan orang-orang yang mengusilinya tentang Satoru sekarang, tapi terkadang dia masih merasa sebal. Ya terserahlah, persetan, mereka pasti hanya iri karena tidak punya pacar koki tampan dan seksi yang menelepon mereka di setiap malam untuk mengucapkan selamat tidur dan aku mencintaimu.
Haruta bangkit untuk kembali ke kamarnya sendiri, tetapi sebelum dia pergi, dia mengeluarkan suara bernada tinggi yang memuakkan. "Selamat malam, Sayang," dia memulai. “Aku mencintaimu, oh, aku sekarat karena tidak ada dirimu yang menghangatkan tempat tidurku, aku suka melihatmu mencetak semua poin itu untukku, seksi sekali, Sugu- chan …”
Suguru melemparkan bantal ke kepalanya, dan Haruta tertawa kian keras begitu keluar dari kamar.
Begitu mereka kembali ke Tokyo dan bersiap untuk pertandingan kandang melawan Sun Rockers, Suguru mengirim pesan kepada Satoru dengan cepat untuk mengingatkannya tentang tiket yang sudah dititipkan di resepsionis, dan mendapat balasan: “Semoga berhasil, Sayang, tunjukkan kehebatanmu!”
Dia tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan ketika waktunya untuk jump ball dan dia berada di lapangan, dia berusaha untuk terlihat garang dan mengintimidasi seolah dia benar-benar ingin mengalahkan semua orang di Sun Rockers dan mencetak satu juta poin.
Dia memang mencetak poin, beberapa menit setelah memasuki babak pertama, dan dia mengepalkan tinjunya ke udara saat rekan satu tim melompat ke arahnya. Suguru lekas berlari ke tempat di mana Satoru seharusnya duduk lalu mengamati kerumunan untuk mencarinya. Dia sempat tidak mengenalinya, karena Satoru mengenakan pakaian berwarna merah, dan yah, seluruh penonton juga mengenakan pakaian merah, tapi Satoru berdiri ketika Suguru mendekat dan memberinya lambaian.
Dan kemudian jantung Suguru melonjak ke tenggorokannya, karena Satoru mengenakan jersey Alvark. Bukan sembarang jersey , tapi jersey dengan nomor 11, dan Satoru membelakangi Suguru, menunjukkan nama GETOU terpampang di punggungnya dan di bawah angka 11 yang dicetak besar.. Dia mengangkat ibu jari ke bahunya ketika dia berbalik, nyengir lebar, seolah mengatakan: “Kau lihat?” Dan Suguru memberinya acungan jempol sebelum dia berlari lagi, darah mengalir deras di nadinya, melihat Satoru mengenakan jersey -nya, Satoru dengan nama Getou di punggungnya, seolah pria itu melabeli dirinya sebagai kepunyaan Suguru.
Suguru mencetak dua puluh poin. Mereka memenangkan pertandingan malam itu.
Kemudian usai merayakan kemenangan bersama timnya — sembari memperkenalkan Satoru secara resmi pada mereka semua —, Suguru berhasil membujuk sang pacar untuk kembali ke kondominiumnya dan bercinta sebanyak tiga kali dengan jersey yang masih terpasang.
Ya. Suguru merasa sangat senang dengan kehidupannya sekarang.