Actions

Work Header

i've loved you three summers, honey

Summary:

Kim Mingyu seharusnya merasa beruntung bisa berpacaran dengan supermodel seperti Yoon Jeonghan, namun laki-laki itu malah berusaha merusak hubungannya sendiri.

Notes:

Thank you @renataraissa for trusting me with your prompt <3
It’s really fun to explore gyuhan ;D
Hope you like it as much as i like to wrote it <3<3

 

 

Title based on Taylor Swift’s song “Lover”

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

i.

 

Musim semi di negara kincir angin tidak jauh terlalu berbeda dengan musim gugur, baik dari segi temperatur atau dari segi cuaca, namun ketika tinggal di provinsi yang berdekatan dengan garis pantai cuaca hangat dan sinar matahari yang diterima lebih banyak daripada provinsi lainnya. Seharusnya jika sudah menjalani kehidupan di Belanda selama dua tahun, keadaan cuaca seperti ini tidak akan membuat siapapun mengeluh, namun Kim Mingyu, sebagai sosok yang sensitif dengan perubahan cuaca, mengeluhkannya sepanjang hari.

 

Hal tersebut mengganggu kehidupan sehari-harinya yang harus pergi ke kampus di pagi hari atau terkadang siang hari. Ada kalanya dia akan merasa sangat malas karena cuaca yang tiba-tiba menjadi lebih hangat dari hari kemarin, atau ada kalanya dia terlalu malas untuk beranjak dari kasur karena cuaca yang sedikit lebih dingin.

 

Oke.

 

Dia harus berhenti menyalahkan cuaca ketika semua itu berasal dari dirinya yang memang memiliki penyakit kronis akut yang disebut rasa malas. Sejak tinggal sendiri di Belanda, Kim Mingyu yang aslinya sangat aktif dan senang mengikuti segala kegiatan berubah menjadi sosok yang malas dan pemilih. Saat bercerita kepada adik perempuannya, Minseo mengatakan dia menjadi pemalas karena tidak ada yang bisa disuruh-suruh. Meski tidak ingin mengakuinya, tetapi bocah SMA itu benar juga.

 

Hari ini Kim Mingyu benar-benar dua kali lipat uring-uringan saat mengecek suhu di aplikasi ponsel pintarnya. 20 derajat. Sudah gila dunia ini suhu naik menjadi setinggi itu ketika kemarin baru sekitar 10, mungkin Greta Thunberg benar, orang-orang di pemerintahan harus mengambil langkah cepat untuk perubahan iklim, tetapi itu bukan urusannya. Dia hanya mahasiswa yang setiap malam ingin menangis membaca jurnal dan mengerjakan tugas.

 

Tolol.

 

Dia tidak seharusnya menjadi idealis dan menempuh pendidikan pascasarjana seperti ini, seharusnya dia tetap tinggal di tanah air dan bekerja seperti orang-orang seumurannya. Kehidupan akan menjadi lebih mudah kalau dia memilih untuk bekerja, selain mendapatkan gaji, dia tidak harus membaca jurnal.

 

Menyebalkan. 

 

Semenjak masuk pertengahan bulan maret, laki-laki yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Groningen sering sekali uring-uringan ketika pakaian yang dikenakan membuat dirinya lebih berkeringat, memunculkan bintik-bintik biang keringat di sekitar leher dan rasa gatal di punggung. Ketika menceritakan masalah ini ke kekasih yang tinggal ribuan kilometer dari Groningen, lelaki yang telah dipacarinya selama setahun hanya menyuruh dia untuk mengenakan kaos oblong atau pergi ke rumah sakit.

 

“Kak, dokter di Belanda itu mahal dan sepertinya yang aku alami nggak terlalu gawat untuk pergi ke rumah sakit.” ujarnya, saat mereka sedang video call ketika Mingyu baru pulang dari kampus.

 

Laki-laki yang tengah membersihkan riasan tertawa, “Ya sudah live with it aja, Gyu. Kamu anak kecil banget, sih.”

 

“Aku udah 25 tahun deh, kak.”

 

“Iya, tapi kayak anak kecil.”

 

“Aku nggak suka cuaca panasnya begini, beda sama di sana. Aku pakai baju tipis tiba-tiba udaranya menjadi lebih dingin sedikit,” Mingyu berujar, bercerita hal yang mengganggu dirinya ketika musim semi tiba. “Lalu aku pakai baju tebal, cuaca menjadi sangat hangat. Aku pakai sweater hari ini dan cuaca 24 derajat, gila banget, padahal kemarin 12 derajat. Global warming nggak, sih?”

 

Kim Mingyu di musim semi adalah sosok yang menyebalkan, dia menjadi pribadi selain uring-uringan yang akan mengomentari semua hal yang ditemui dan menyalahkan apapun, selain dirinya.

 

“Habis nonton ted talks Greta Thunberg, ya?”

 

Laki-laki itu kini membaringkan tubuh di atas kasur, tidak menjawab pertanyaan sang kekasih. Ponsel yang tadi digenggam, ia letakkan di sebelahnya sehingga menghadap ke langit-langit apartemen yang disewa dari teman ayahnya.

 

“Mingyu, kamu tidur? Udah ngantuk?” suara lembut laki-laki yang lebih tua lima tahun bertanya kembali, membuatnya bergelung ke samping dan meraih ponsel untuk menatap wajah tampan kekasihnya.

 

“Sedikit. Aku baru tidur jam 3 pagi gara-gara bikin summary jurnal. Pusing banget deh baca jurnal pendanaan likuiditas tanpa perbankan, udah gitu aku harus liat juga bukti riil dari data saham dan biaya untuk hutang jangka pendek, like what the heck,” dia kembali menyerocos tanpa memperdulikan kekasihnya yang hanya menahan senyum sambil bertopang dagu. Mingyu tahu Yoon Jeonghan tidak memahami sepatah katapun ucapannya, tetapi dia ingin pendengar yang tidak menghakimi. “Tau nggak kenapa ada jurnal ini, kak?”

 

Jeonghan bergumam, kedua matanya yang besar terlihat berbinar diterpa lampu. “Kenapa tuh emang? Ceritain dong,”

 

“Nggak jelas banget sih menurutku, kak,” Mingyu tertawa kecil sebelum melanjutkan. “Jadi, karena ada kenaikan pajak untuk repayment pinjaman bank dan ini berpengaruh ke cost of short-term bank credit . Benar kan nggak jelas banget? Udah gitu kejadian di Kolombia, tapi aku yang harus baca di Belanda lagi, nyambung aja nggak, tapi profesorku bilang ini penting. Yeah. Yeah. Teringlijer.

 

Yoon Jeonghan tertawa kecil mendengarkan celotehan yang pada akhirnya selesai dengan bibir sang kekasih yang mengerucut seperti pantat bebek. Meski Jeonghan tidak memahami lingkup belajarnya, tetapi lelaki tersebut selalu terlihat antusias mendengarkan.

 

“Kasihan banget pacarku pusing karena urusan orang lain, kalo kamu di sini sudah aku cium dan peluk.”

 

“Mau peluk dan cium.”

 

Puppy, kamu kapan pulang? Aku kangen banget padahal dua bulan lalu ketemu di Paris.”

 

Mingyu menggigit bibir menahan senyum yang siap merekah di bibir mendengar kekasihnya mengutarakan rasa rindu. Dia pun juga telah merindukan kekasihnya, selalu rindu dan ingin berada di sebelahnya—memang, seharusnya dia memilih bekerja di tanah air daripada studi di negara orang.

 

Summer break , kak. Nanti kita jalan-jalan dan nginep berdua, ya? Kak Han mau jalan-jalan kemana? Yuk!”

 

“Kamu yang penting pulang dulu, puppy , urusan liburan kemana bisa menyusul. Please, cepat pulang, ya.”

 

Kim Mingyu mengangguk cepat dengan wajah bersemu merah seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta monyet. Berpacaran dengan Yoon Jeonghan adalah pilihan terbaik yang pernah diambil oleh dirinya, dari semua orang-orang yang pernah dipacari, hanya Jeonghan yang dapat membuat dia merasa dicintai seperti ini. Laki-laki itu selalu menyirami dirinya dengan cinta yang sangat lembut dan perhatian yang tidak pernah habis.

 

“Aku juga kangen sama kamu, kak.”

 

Love you, puppy .”

 

Mingyu tersenyum geli merasakan kehangatan menjalari tubuhnya ketika mendengar kata-kata tersebut meluncur dari bibir kekasihnya ditambah laki-laki itu menatapnya dengan wajah yang sangat menawan. Tidak ada orang yang umurnya sudah 30 tahun tetapi berwajah setampan Yoon Jeonghan. Dia benar-benar beruntung.

 

Love you, too , kak,” Mingyu menyahut. “Hari ini kak Han ngapain aja? Tadi aku lihat dari instagram lagi ada pemotretan lagi, ya? Seru deh tadi behind the scene, ada banyak banget modelnya gitu.”

 

“Hari ini pemotretan untuk Vogue bareng beberapa model yang tampil di fashion show YSL, mereka baik-baik banget dan aku senang ketemu mereka lagi,” Jeonghan berceloteh dengan ceria dan dia menyukai wajah sang kekasih yang terlihat berbunga-bunga saat menceritakan pekerjaannya. “VIP director YSL juga datang buat ngasih interview, seru banget. Nanti kalau sudah rilis, majalahnya aku kasih buat kamu ya, puppy .”

 

“Keren banget ada Vaccarello, kok nggak foto sama dia?”

 

“Siapa bilang, hahaha, kalo nggak aku upload bukan berarti aku nggak foto, dong, sayang,” Jeonghan menyahut dengan gemas, hidungnya merengut. “ Puppy , kamu tuh lucu banget sih masih kayak anak kecil deh kadang.”

 

Mingyu yang mendengarkan dirinya dua kali disebut seperti anak kecil oleh kekasih yang lima tahun lebih tua hanya bisa tertawa canggung sambil memamerkan gigi gingsulnya. Kalau boleh jujur, dia suka dan tidak tahu harus bagaimana menyikapi bahan bercandaan yang secara tidak langsung menyenggol perbedaan di antara mereka tersebut. Dia ingin menunjukkan rasa tidak sukanya, tetapi dia takut akan dikatakan sebagai kekanakan dan terlalu kaku karena tersinggung dengan lelucon. Dia ingin bilang kalau sikapnya tidak seperti anak kecil, bahwa sikapnya sangat normal, tetapi balik lagi dia tidak ingin mendapat cap kekanakan dari kekasihnya. Sudah cukup dia disebut sebagai anak kecil, dia tidak ingin mendapat tambahan sebagai kekanakan.

 

Dia sadar bahwa berpacaran dengan orang yang lebih tua dari dirinya akan menimbulkan sisi yang membuat tidak nyaman, baik untuk dia atau sang kekasih. Bahkan ketika pertama kali berkenalan dengan Yoon Jeonghan di pesta pernikahan kenalannya dua tahun yang lalu, dia sudah sadar apa yang akan dihadapi jika jatuh hati dan berhubungan dengannya.

 

Pertemuan pertama dengan Jeonghan terjadi enam bulan sebelum dia harus pergi ke Belanda untuk sekolah bahasa. Mingyu tidak terlalu menikmati acara pesta tetapi dia sangat menikmati hidangan yang tersaji sepanjang acara, saat itu dia sedang berdiri sambil mencicipi berbagai macam kue dan puding ketika laki-laki dengan setelah hitam dari atas ke bawah dan celana yang membungkus kaki panjang yang kurus tersebut menghampiri dirinya.

 

“Kue ini dipesan dari toko milik adikku, loh.”

 

Mingyu yang masih mengunyah scone menengok, menatap laki-laki paling rupawan yang pernah dilihat oleh dirinya hingga kue yang digigit tersebut terjatuh mengenai sepatu pantofel.

 

“Huh?” seperti orang bodoh, dia menatap kue yang jatuh tersebut dan berbalik menatap lelaki yang masih menatapnya dengan mulut membentuk senyum. “Eh—maaf, maaf. Aduh. Maaf. lanjutnya saat sadar bahwa dia baru saja menjatuhkan scone dan bertindak sangat ceroboh karena kue tersebut jatuh mengenai sepatu laki-laki tampan ini.

 

Oh. Sial. Sial.

 

Mingyu meruntuk dalam hati menyadari dirinya memberi kesan pertama yang buruk kepada laki-laki yang sangat rupawan. Seperti yang sering dikatakan teman-temannya, dia tampan tetapi terlalu kikuk dan ceroboh ketika bertemu orang baru, apalagi jika sudah menarik perhatian dan hatinya.

 

Laki-laki yang tidak peduli dengan kecerobohannya itu kembali bersuara. “Sudah mencoba puff pastry ? Isinya selai stroberi, tetapi mini pie lebih enak.”

 

Ia hanya mengangguk menanggapi pernyataan tersebut, toh dia sudah mencoba seluruh makanan yang tersaji dan sebagai manusia yang sangat menyukai makan, Mingyu sangat setuju dengan ucapan laki-laki tampan yang belum dia ketahui namanya.

 

“Kim… Kim Mingyu,” dia mengulurkan tangan yang belum dibersihkan dari bekas scone . “Oh… Sorry , sebentar.” lanjutnya, mengelap serpihan scone dengan celana bahan yang akan meninggalkan bekas.

 

“Yoon Jeonghan.”

 

Lelaki yang bersuara lembut tersebut menggapai kembali uluran tangannya dan untuk beberapa saat mereka bergenggaman tangan, memberikan waktu sesaat untuk merasakan lembutnya tangan yang memiliki jari-jari lentik. Dia jadi membayangkan bagaimana rasanya tangan tersebut jika dikecup atau membelai rambut dan wajahnya. Sentuhan dari tangan yang lembut itu dapat menarik seluruh indera perabanya untuk fokus merasakan belaian yang menggetarkan jiwa.

 

Kedua pipinya memanas membayangkan jika hal tersebut terjadi.

 

Semoga lelaki tampan ini tidak menyadari isi pikirannya.

 

“Mau keluar dari sini?,” Jeonghan bertanya sesaat, sebelum menghabiskan gelas berisi champagne yang didapatkan dari pelayan. “Gue bosen, tadi kesini sama teman tapi orangnya sudah nggak tahu kemana.”

 

Mingyu mengerucutkan bibir membentuk huruf ‘o’ kecil, mengangguk menyetujui bahwa acaranya membosankan.

 

“Mau? Gue liat di sini ada bar .”

 

Tanpa berpikir dua kali, Kim Mingyu mengiyakan ajakan dari laki-laki menawan yang baru dikenal belum ada tiga puluh menit. Mereka berdua segera keluar dari area pesta dan berjalan menuju bar yang terletak di lantai berbeda dari hotel tempat acara pernikahan diadakan.

 

Selama duduk di bar dengan laki-laki yang ternyata adalah seorang supermodel dengan usia lebih tua daripada dirinya, Mingyu menikmati setiap detik obrolan yang terjadi di antara mereka. Obrolan ringan dan ucapan-ucapan penuh bujuk rayu menggoda silih berganti meramaikan percakapan. Dia menyukai suara lembut Jeonghan yang semakin lama terdengar seperti rengekan halus, lutut yang saling bersentuhan saat mereka duduk tanpa celah, telapak tangan yang menyentuh paha dan pundaknya hingga membangkitkan sensasi panas di tubuh. 

 

Saat jam menunjukan lewat tengah malam, Yoon Jeonghan mengundangnya datang ke kamar hotel tempat dia menginap selama beberapa hari. Seperti dua manusia dewasa yang saling menyadari keinginan masing-masing, akhirnya dia menghabiskan sisa malam menggauli tubuh supermodel yang berkulit seputih pualam dengan jari-jari yang begitu lihai mempermainkan kedua tubuh mereka.

 

Saat pagi tiba, Mingyu yang sedang bersiap-siap untuk meninggalkan kamar hotel dikagetkan oleh suara serak Yoon Jeonghan yang masih telanjang di atas kasur hotel. Kedua mata sang supermodel menatapnya dengan raut menggoda, bibir merah yang merekah yang semalam mengulum dirinya membentuk senyum kecil.

 

“Mau kemana ?”

 

“Pulang?”

 

Jeonghan bergumam pelan. “Lo mau pulang tapi nggak yakin begitu. Jangan kemana-mana, sini aja kita sarapan bareng, lo mau room service atau ke restoran?”

 

Kim Mingyu yang masih berdiri di antara kasur dan kaca jendela besar yang menunjukan jalan raya dengan mobil berlalu-lalang hanya menatap bingung sang supermodel.

 

Bukankah adab one night stand di pagi hari harus pergi dan tidak berhubungan kembali?

 

Kenapa Jeonghan menahan dirinya untuk tinggal?

 

Apakah dia terlihat seperti mahasiswa yang sedang mencari lelaki kaya untuk dipacari?

 

Astaga. Dia bukan gigolo.

 

Kim Mingyu yang seperti menyadari alasan Jeonghan menahan dirinya untuk pergi dari kamar hotel dengan gestur yang seperti sedang menggoda, langsung buru-buru menggelengkan kepala. “Maaf, gue buka gigolo. Lo nggak perlu bersikap kayak gitu.”

 

Seketika itu juga, Yoon Jeonghan langsung tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar dan membungkuk menyembunyikan tawa yang bergema di kamar hotel yang cukup luas. Saat sudah puas menertawai ucapan yang keluar dari mulut mahasiswa yang baru lulus tersebut, Jeonghan—yang tidak mengenakan pakaian sehelai pun—beranjak berdiri dan berjalan ke arah Kim Mingyu.

 

“Selera humor lo lucu banget. Siapa yang nganggep lo gigolo, Mingyu, gue ngajak makan karena lapar dan kemarin kita cocok ngobrolnya,” Jeonghan berujar, bertolak pinggang. “Kalau emang nggak mau nggak apa-apa. Santai aja.”

 

Oh.

 

Bodoh.

 

Kim Mingyu dan kebodohan lainnya di dalam hidup. Untuk kedua kalinya, dia mempermalukan diri di depan lelaki tampan yang memberikan blowjob terbaik seumur hidupnya. Setelah kemarin menjatuhkan scone di atas sepatu, kini dia menuduh lelaki itu sebagai pria mata keranjang yang sedang memancing gigolo.

 

“Kalo lo nggak mau silahkan, gue nggak maksa.” Jeonghan berujar kembali, terlihat tidak sabar dengan Mingyu yang masih diam mematung.

 

Astaga.

 

Dia benar-benar harus mulai mengikuti saran Seo Myungho untuk mengikuti kelas meditasi dan yoga mulai pekan depan. Sepertinya terlalu banyak belajar dan serius mengerjakan skripsi delapan bulan yang lalu telah memporak-porandakan isi pikirannya.

 

Oh. Sorry ,” Mingyu menyahut pelan, rasa malu dan canggung karena kesalahpahaman masih belum hilang. “Oke. Kita sarapan, hmm… di kafe dekat sini? Gue yang bayar?”

 

Mendengarkan jawaban yang sesuai dengan keinginannya, Yoon Jeonghan mengangguk dan memberi kecupan di bibirnya sebelum berjalan ke arah kamar mandi meninggalkan Kim Mingyu yang kini duduk di pinggir kasur dengan wajah merah padam.



ii.

 

Selama bertahun-tahun hidup dengan bibit yang ditanam bahwa dia adalah yang terbaik membuat sosok Kim Mingyu kini duduk melamun di perpustakaan kampus dengan dua buah buku terbuka di hadapannya. Semenjak dia diterima program pascasarjana di Groningen, tidak ada hari yang dilalui tanpa mengeluh dan mengutuk diri sendiri. Duduk di dalam perpustakaan sambil meratapi pilihan hidup adalah kegiatan sehari-hari.

 

Seharusnya dia puas dengan mengambil program economics.

 

Seharusnya dia tidak perlu mengambil chinese economy and finance untuk double degree .

 

Seharusnya dia tidak mendengarkan omongan keluarga yang mendorong dirinya untuk mengambil double degree .

 

Seharusnya dia lebih milih melihat kemampuan diri sendiri.

 

Seharusnya dia tidak berhenti bersikap besar kepala dan seolah-olah masih tetap menjadi anak emas yang berada di peringkat teratas di manapun dia berada.

 

Setahun menempuh pendidikan pascasarjana di Groningen sudah begitu banyak kejadian menyedihkan yang dia hadapi dan lalui dengan hati babak-belur dihajar kenyataan.

 

Dia membenci menyadari bahwa kenyataan yang ada di depan matanya tidak sebaik dengan yang ada di dalam pikirannya. Selain kenyataan bahwa dia tidak sepintar yang dielu-elukan oleh keluarga, dia juga bukan sosok kekasih yang pantas untuk seorang supermodel bernama Yoon Jeonghan.

 

Akhir-akhir dia kembali merasa rendah diri terhadap hubungannya dengan Yoon Jeonghan. Dia merasa hubungan mereka terlalu tenang, terlalu mulus dan terlalu indah. Meski mereka kadang berselisih paham, tetapi mereka tidak pernah bertengkar hebat seperti orang pada umumnya. Hubungannya dengan Yoon Jeonghan jauh berbeda dengan hubungan dengan mantan pacarnya yang lain. Jika dahulu dia berada di hubungan yang seperti aspal rusak, namun kini dia dan Jeonghan seperti berjalan di tanah yang telah terpoles aspal halus.

 

Orang bilang sesuatu yang terlalu tenang menandakan badai besar akan datang.

 

Membingungkan.

 

Kim Mingyu kembali diam termangu menatap buku the economics of consumption dan foundations of modern macroeconomics yang terbuka lebar di depannya. Dia menatap dua buku itu secara bergantian sebelum kembali menatap laptop yang terbuka di sampingnya. Akhir-akhir ini rasa percaya diri yang dimilikinya semakin terkikis oleh kekhawatiran dan standar yang dibuat oleh dirinya sendiri.

 

Dengan menghela napas panjang untuk kesekian kalinya di hari ini, Mingyu memutuskan untuk menyelesaikan sesi belajar di perpustakan. Dia segera merapihkan seluruh barang yang dibawa dan bergegas untuk pulang ke apartemen atau pergi ke taman, dia membutuhkan pengalihan yang lain. Dia tidak bisa terperangkap di dalam kepalanya sendiri.

 

Jika di hari biasa perjalanan dari kampus menuju apartemen yang terletak di dierenriem straat hanya menempuh waktu sepuluh menit dengan sepeda, tetapi hari ini—ketika hatinya berantakan—perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Dia mengayuh sepedah dengan lesu, memikirkan pilihan hidup dan angan-angan yang terletak jauh.

 

Terlalu banyak pikiran yang hinggap sehingga dia tidak menyadari telah melewati la cafetaria ketika seharusnya berbelok ke kiri dan melewati kometen straat untuk membeli stok keju titipan teman satu apartemennya di kaashandel jv.

 

Sambil mengayuh sepeda bekas yang dibeli dua tahun yang lalu, Mingyu mengarahkan sepedanya ke selwerd park dan setelahnya, menghabiskan waktu duduk di bangku taman berwarna cokelat tua yang berada di dekat de fontein .

 

Dengan posisi duduk yang sedikit merosot, Mingyu dengan setengah melamun berulang kali membuka instagram dan twitter . Dia melihat unggahan foto dan status teman-temannya, melihat mereka sibuk dengan kehidupan sebagai pekerja dan keluhan tentang pekerjaan mereka. Ingin rasanya dia mengeluh, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah.

 

Saat sedang menggeser berbagai postingan story di instagram, Mingyu menghentikan jarinya saat melihat unggahan sang kekasih empat jam yang lalu. Dia melihat kekasihnya, dengan rambut hitam sepundak, sedang bertopang dagu menatap orang yang selalu muncul dalam unggahan beberapa bulan terakhir. Unggahan foto tersebut berwarna hitam dan putih tetapi Mingyu dapat melihat latar foto tersebut berada di sebuah studio.

 

Dengan perasaan penasaran, Mingyu kembali menggeser foto dan video yang diunggah oleh Jeonghan. Setiap foto dan video yang muncul di layar selalu menunjukan sosok orang itu dan ketika tidak ada, Jeonghan selalu menandai akun @ccc.sccc dengan emoji kamera.

 

Mingyu sudah mengetahui keberadaan orang tersebut di dalam kehidupan kekasihnya bahkan sebelum mereka mulai berpacaran. Orang yang terlihat keren dan pembawaan yang membuatnya merasa seperti anak kecil ketika mereka dibandingkan. Kehadiran orang tersebut membuat Mingyu sangat tidak nyaman.

 

Dia kembali menatap video yang kini menunjukkan bahwa orang itu mengenakan celana jeans dan jaket kulit berwarna senada. Di sampingnya duduk Jeonghan dengan blus velvet berwarna merah pekat dan celana lateks yang tidak kalah ketat membentuk kaki tersebut hingga terlihat lebih panjang dari biasanya. Mereka terlihat serasi duduk bersebelahan, saling berbicara dan tertawa seakan dunia hanya milik mereka.

 

Mingyu cepat-cepat menutup aplikasi instagram dan mengalihkan pandangan ke arah rerumputan hijau yang berada di depannya. Ada perasaan yang aneh muncul di dalam hatinya ketika melihat video tersebut, seakan dia tidak seharusnya melihat.

 

Suara penanda telepon masuk berdering memecahkan keheningan dan lamunan yang membahayakan pikiran membuat Mingyu cepat-cepat menjawab panggilan tersebut.

 

“Kak,” sapanya pelan, mencoba menarik senyum terpaksa.

 

“Aku lihat kamu barusan ngecek story , udah selesai kuliahnya? Tumben jam segini udah bisa jawab panggilanku,” Jeonghan tertawa. “Kamu nggak bolos dari sesi belajar, kan?”

 

Mingyu menunduk malu mendengar tuduhan yang terlalu tepat tersebut. Dia memang kabur dari sesi belajar di perpustakaan yang sudah terjadwal sejak memulai perkuliahan.

 

“Hehe,”

 

“Kenapa cuma hehe aja, puppy ? Kamu lagi sedang banyak pikiran, ya?” tanya Jeonghan yang terdengar tidak kaget. Entah bagaimana laki-laki tersebut selalu mengetahui perasaannya bahkan tanpa perlu diberitahu.

 

Tidak mendapatkan jawaban apapun dari Mingyu yang masih memilih diam dengan video yang masih terus berputar di dalam kepalanya, membuat Jeonghan kembali berbicara dengan suara lebih lembut. “Kamu udah makan? Jangan lupa makan, sayang. Hmm.. aku baru selesai pemotretan dengan Choi Seungcheol dan tim Harper’s Bazaar, sekarang mau dinner bareng.”

 

Choi Seungcheol.

 

Nama laki-laki yang entah sudah berapa lama ada di dalam kehidupan kekasihnya, laki-laki yang selalu berada di dekat Jeonghan seperti bayangan. Laki-laki yang membuat Mingyu rendah diri karena sosok itu terlihat lebih serasi dengan Jeonghan.

 

“Kak,” panggil Mingyu lagi kali ini suaranya terlalu pelan membuat Jeonghan memintanya untuk mengulangi. “Kak Jeonghan, aku kangen.”

 

“Ah… puppy , kenapa? Kamu kenapa, sayang?”

 

Mingyu menggelengkan kepala meskipun tahu sang kekasih tidak akan dapat melihatnya melakukan hal tersebut. “ Am I enough for you , Kak?”

 

What are you talking about, puppy ?” Jeonghan terdengar sangat kaget saat kekasihnya melontarkan pertanyaan yang tidak akan pernah dapat disangka oleh siapapun. “ Are you okay, Gyu?”

 

Mingyu memejamkan mata, berusaha menghalau setiap foto dan video yang memperlihatkan kedekatan sang kekasih dengan orang tersebut dari kepalanya. Dia sudah terlalu pusing dengan kehidupan akademis dan rasa rendah diri karena tidak lagi menjadi si anak paling pintar, dia tidak seharusnya menambah beban pikiran dengan rasa cemburu dan kecurigaan.

 

I just—I’m sorry, I don’t know. Nothing. It’s just my head .”

 

Jeonghan menghembuskan napas panjang dan Mingyu ingin sekali melihat ekspresi yang terpeta di wajah laki-laki itu.

 

“Sayang, nggak ada yang nggak apa-apa. Kamu kenapa? Aku nggak ada di situ jadi nggak bisa meluk kamu,” Jeonghan berbisik dan suara berisik yang ada disekitarnya kini tidak terdengar lagi. “ Puppy, aku tahu kamu sedang kesulitan. Jangan simpan sendiri, please , ada aku.”

 

Seperti dipermainkan oleh diri sendiri, seluruh pikiran yang telah mengendap kini berenang naik ke atas permukaan pikirannya. Segala rasa curiga, cemburu, rendah diri dan ketakutan kini menjejalkan untuk berebut menunjukan diri hingga membuat sesak.

 

Bukankah lebih baik Jeonghan berpacaran dengan orang seumurannya? Bukankah sosok Choi Seungcheol—orang yang ada di dalam foto dan video kekasihnya—orang yang tepat? Bukankah Jeonghan telah salah memilih?

 

Puppy, kamu kenapa tiba-tiba begini?” Jeonghan kembali bertanya. Suara lembut tersebut kini terdengar bergetar seperti hendak menangis dan Mingyu membencinya, dia tidak ingin mendengar atau melihat Jeonghan menangis. Tidak seharusnya supermodel yang memiliki banyak pengagum menangis karena meladeni rasa rendah diri dan mental yang goyah mahasiswa pascasarjana yang tidak berguna.

 

Apa yang kamu lihat dari mahasiswa sepertiku?

 

Apa yang kamu cintai dari orang yang masih menjadi beban keluarganya?

 

Apa yang kamu harapkan manusia yang gagal dalam bidang akademiknya?

 

Apa yang bisa aku berikan ke kamu ketika masa depanku masih belum terlihat jelas?

 

Puppy, it’s okay if you… if you overthink everything, but please you’re enough for me. I love you.

 

Mingyu memijat tengkuk yang menegang. “ I’m sorry .” ujarnya, membuka suara.

 

Yoon Jeonghan masih terdiam, belum menyahut ucapannya. Dia tidak tahu apakah sang kekasih saat ini sedang menangis atau laki-laki itu sedang berada di dalam pelukan—

 

Hentikan.

 

Stop berpikir seperti itu, Mingyu.

 

I’m sorry .” ujar Mingyu, mengatakannya lagi.

 

“Kamu jujur sama aku, kenapa kamu tiba-tiba nanya hal seperti itu?”

 

I don’t know .”

 

“Gyu. Puppy . Sayang.”

 

Sesuatu di dalam dirinya tersentil mendengar Jeonghan memanggil dengan tiga nama panggilan yang selalu digunakannya setiap saat.

 

Let’s stop .” Mingyu berujar, mengusap kasar wajahnya.

 

“Berhenti apa, sayang?”

 

Giginya gemeretak, kakinya bergerak naik dan turun seiring kegelisahan yang merangkak merasuki dirinya.

 

Stop this ,” Mingyu berucap, kini memeluk dirinya sendiri. Dia tidak ingin menangis, dia tidak ingin terlihat lemah, dia tidak ingin menunjukkan kepada Jeonghan bahwa dia masih anak-anak seperti yang sering didengarnya. “Let’s stop— whatever .”

 

“Mingyu, kamu nggak bisa gitu,” ucap kekasihnya kali ini terdengar ketus dan menyudutkan. “Kamu nggak bisa tiba-tiba bilang berhenti ketika aku nggak tahu apa yang terjadi dengan kita dan kamu . You’re already 25, puppy, why are you being childish like this? Kalau ada masalah kamu ngomong sama aku, apa sih gunanya punya pacar kalau bukan buat cerita?”

 

Good .

 

Sekarang dia benar-benar mendengar sang kekasih menyebutnya dirinya sebagai orang yang childish— kekanakan—seperti yang ditakutinya.

 

Dia memang tidak pernah cukup untuk sosok Yoon Jeonghan.

 

“Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu,” Jeonghan bersikeras. “Aku tahu kamu orangnya nggak seperti ini. Aku kenal kamu, Mingyu. Please talk to me, you can tell me anything.

 

Namun, seperti musim semi pada tahun-tahun lainnya baik di negara orang ataupun di negara sendiri, perubahan musim selalu membuat Mingyu rentan dengan emosi dan perasaannya sendiri. Tidak jarang dia masuk ke dalam episode kecemasan dan ketakutan yang diakibatkan oleh pikiran sendiri, seperti dia menjadi tawanan di dalam penjara yang telah dibuatnya.

 

“Kamu nggak kenal aku.”

 

Jeonghan mengerang dan berkali-kali mengumpat. Kekasihnya bukan tipe orang yang senang mengumpat, tetapi jika sudah benar-benar kesal dan seperti berada di jalan buntu, maka rentetan umpatan akan keluar dengan begitu lancar.

 

“Aku tahu kamu lagi ada masalah di perkuliahan, aku kenal kamu meskipun kamu nggak cerita jujur sama aku. Entah kenapa kamu nggak pernah cerita apapun, apakah aku terlalu bodoh untuk mahasiswa pascasarjana seperti kamu? Oh sorry, kalau aku hanya lulusan SMA aja.”

 

Meski terdengar pelan dan lembut, tetapi Mingyu tahu kekasihnya dalam keadaan marah yang berapi-api. Akhirnya dia mendengarkan rentetan ucapan kemarahan yang dilontarkan oleh sang kekasih, selama ini mereka tidak pernah bertengkar seperti ini.

 

Hentikan.

 

Hentikan.

 

Hentikan.

 

Mingyu merutuki dirinya sendiri dan berteriak kepada dirinya sendiri. Dia harus menghentikan debat kusir yang terjadi di antara mereka, tidak seharusnya dia menjadikan hubungannya dengan Jeonghan kambing hitam dari masalah yang sedang menghinggapi dirinya.

 

Oh.

 

Hentikan .

 

Dan sepertinya dia mengucapkan kata tersebut secara verbal dan membuat sang kekasih yang berada di ujung sana menarik napas dengan dramatis, yang disusul oleh ucapan yang terdengar dingin dan tidak bersahabat.

 

You know what, I don’t have time for this, Mingyu. Kamu tenangin diri kamu sendiri dulu baru kita ngomong lagi, just collect yourself or something . Aku nggak bisa jadi safety net or your emotion dumpster .”

 

Mingyu terdiam mendengarkan kata-kata yang terdengar kejam untuk dirinya, namun juga realistis. Dia seharusnya tidak memperlakukan Jeonghan seperti ini, dia seharusnya menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya, tetapi seperti yang sudah dia tidak ingin menyalahkan diri sendiri.

 

“Kak—“

 

Stop talking, puppy, ” suara kekasihnya kembali melembut seperti mereka tidak sedang berdebat. “ Go home and rest, okay .”

 

Mingyu mengangguk. “ I lov—

 

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, sambungan tersebut sudah terputus dan digantikan oleh sebuah pesan singkat masuk.

 

kak sayang

Istirahat, puppy

Don't too hard on yrself.

Love you.

 

iii.

 

Perselisihan sengit pertama mereka setelah setahun berpacaran menyisakan rasa canggung yang melekat di dalam hubungan, seperti ada bola besar di dalam ruang yang menghimpit mereka berdua. Mingyu yang selalu sering mengirimkan pesan singkat tidak penting seperti meme atau tautan tempat berlibur, kini hanya mengirimkan pesan seperlunya meskipun rasa rindu sudah terlalu memuncak.

 

Sedangkan kekasihnya, Yoon Jeonghan, tidak bersikap berbeda—seperti perselisihan tersebut tidak pernah terjadi. Jeonghan masih tetapi mengirimkan pesan singkat iseng kepada dirinya, masih sering menelpon di jam-jam tidak sibuk dan bahkan sering melakukan video call untuk menemani dirinya mengerjakan tugas jika sang supermodel tidak ada jadwal pekerjaan.

 

Kim Mingyu yang melihat sang kekasih masih tetap memperlakukan dirinya seperti sebelum mereka bertengkar membuat dia menjadi kembali berkecil hati. Dia kembali sadar bahwa perbedaan yang ada di dalam diri mereka berdua terlalu besar. Jeonghan menyikapi perselisihan mereka seperti orang dewasa, sedangkan dirinya seperti anak-anak yang telah dimarahi oleh orang tua.

 

Mingyu tidak menyukai dirinya yang seperti ini. Dia ingin menjadi lelaki dewasa yang dapat seimbang dengan Jeonghan. Dia ingin layak berada di samping laki-laki tersebut, sama seperti  Choi Seungcheol yang terlihat percaya diri dan tidak salah tempat seperti dirinya.

 

Meskipun perbedaan umur mereka tidak jauh, tetapi di antara dirinya dan Jeonghan seperti ada jembatan tak kasat mata yang memberikan jarang begitu lebar. Apakah memiliki kehidupan sosial yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang hanya tahu caranya belajar tetapi tidak mengetahui dunia nyata merupakan hal buruk? Apakah dia seperti terjebak di dalam lingkaran yang telah dirinya buat sendiri? Apakah dia harus masuk ke dalam arus pekerja agar dapat menjadi dewasa dan memahami Jeonghan?

 

Demi tuhan.

 

Umur mereka hanya berbeda lima tahun, tetapi kenapa rasanya seperti berkali-kali lipat. Kenapa dia seperti tidak dapat berdiri seimbang dengan Yoon Jeonghan yang sudah jelas berada di dalam radarnya.

 

Selama lima bulan sampai summer break tiba, Kim Mingyu menjalani kehidupan sehari-harinya dengan menghiraukan pikiran-pikiran buruk yang datang silih berganti. Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan ujian akhir untuk menyambut summer break dan pulang ke tanah air. Meninggalkan perkuliahan untuk sementara adalah yang dibutuhkannya saat ini. Dia sudah benar-benar muak mengerjakan paper dan summary yang tidak ada habisnya.

 

Saat summer break tiba, Kim Mingyu tidak perlu berpikir dua kali untuk memesan penerbangan pertama yang bisa didapatkannya. Saat tiket sudah terkonfirmasi, Mingyu yang sudah menyiapkan koper sejak seminggu yang lalu langsung bergegas menuju bandara. Dia tidak mempedulikan tatapan kaget teman satu apartemennya yang terkaget melihat Kim Mingyu sudah siap untuk pulang ke tanah air ketika laki-laki tersebut sejam yang lalu baru sampai dari kampus.

 

Bro ,” Mingyu memanggil Lee Jihoon, teman satu apartemennya dan seorang korea yang sudah lama tinggal di Belanda. “Gue balik duluan, ya. See you next term .”

 

Tanpa menunggu balasan, Mingyu langsung bergegas pergi dengan perasaan lega seperti anak-anak yang baru selesai dihukum dan dibolehkan untuk bermain.

 

Dia tidak memberitahukan kepulangannya kepada Jeonghan, dia ingin sekali memberikan kejutan kepada kekasih yang telah menemaninya melewati masa-masa menyiksa di semester terakhir. Bahkan, dia sudah membelikan banyak oleh-oleh untuk kekasih supermodelnya.

 

Ah.

 

Dia bisa menghadapi perjalanan selama 17 jam untuk dapat tiba ke tanah air demi menemui sang kekasih dan memeluk erat tubuh tersebut. Dia benar-benar tidak sabar untuk memeluk Yoon Jeonghan dan mencium laki-laki itu hingga mereka kehabisan napas, lalu berakhir dengan bertukar kehangatan tubuh satu sama lain.




“Kamu mau kemana, Mingyu?” adalah yang dikatakan sang ibu ketika Mingyu, yang baru tiba di tanah air empat hari yang lalu, sudah berdiri di ambang pintu dengan tas ransel seperti orang hendak bepergian.

 

“Oh,” Mingyu yang sedang mengenakan sepatu, menengok menatap sang ibu yang berdiri di belakangnya. “Aku ingin menemui Jeonghan, kami udah ada rencana untuk liburan bersama.”

 

Kedua orang tuanya sudah mengetahui bahwa anak laki-laki mereka menyukai seorang pria dan orang tersebut adalah supermodel yang sering mereka lihat di media massa.

 

Mingyu mengerang ketika Ibunya memeluk dia dengan erat saat Mingyu hendak keluar. “Hati-hati di jalan, titip salam untuk Jeonghan.”

 

Dia mengangguk dan langsung masuk ke dalam taksi yang telah dipesannya sejak tadi. Sulit memang hidup tanpa bisa mengendarai kendaraan apapun kecuali sepeda, namun dia masih punya waktu yang panjang untuk belajar mobil ketika urusan pascasarjana telah selesai.

 

Setibanya di depan kompleks apartemen sang kekasih, Kim Mingyu yang pada awalnya datang dengan kesenangan yang membumbung tinggi langsung terhenti langkahnya. Dia berdiri diam mematung saat melihat sosok kekasihnya, Yoon Jeonghan, sedang memeluk Choi Seungcheol di depan apartemen pukul 9 pagi.

 

Dia melihat Jeonghan, dengan celana pendek hitam dan kaos putih, yang telah melepas pelukannya kini bercakap-cakap dengan Seungcheol yang mengenakan jaket dan celana jeans berwarna senada. Hatinya berteriak agar dia segera pergi dan kembali ke rumah setelah melihat bahwa mungkin selama ini Jeonghan memang memiliki hubungan lain dengan fotografer tersebut.

 

Dia sudah tahu bahwa sebelum dirinya, Jeonghan memiliki hubungan dengan sang fotografer yang telah dikenal sejak lama. Fakta bahwa dahulu mereka melakukan kasual seks dan tetap menjadi teman bahkan setelah Jeonghan memiliki pacar cukup mengganggu dirinya.

 

Namun, dia sudah melakukan banyak berpikir selama perjalanan pulang dari Groningen tentang hubungannya dengan Jeonghan. Selama ini dia menyadari bahwa Jeonghan selalu menjadi orang pertama yang mengambil inisiatif, dia tidak pernah sekalipun berkontribusi, dia selalu mengikuti arahan dan ajakan lelaki tersebut. Pantas memang jika dia terlihat seperti anak kecil.

 

Ketika menyadari bahwa Choi Seungcheol sudah tidak berada di tempatnya semula dan Jeonghan yang menyadari keberadaannya dengan penuh kekagetan, kini sedang berlari dan menabrak tubuhnya hingga Mingyu terhuyung.

 

Kim Mingyu merasakan hatinya melumer melihat Jeonghan yang menatapnya dengan sorot mata penuh kerindungan dan tangan yang melingkari lehernya.

 

“Oh— puppy ,” Jeonghan berujar, mengusapkan wajahnya di ceruk leher Kim Mingyu yang mengeratkan pelukan mereka. “Akhirnya, kamu pulang. Aku kangen.”

 

Jeonghan menjatuhi wajahnya dengan ciuman yang tidak berhenti hingga Mingyu harus menjauhkan diri perlahan dan menarik laki-laki tersebut masuk ke dalam apartemen. Yoon Jeonghan membalas genggaman tangannya dengan erat dan menyandarkan kepalanya di pundak sang kekasih sampai mereka duduk di atas sofa.

 

Jeonghan beringsut naik ke atas kedua paha kekasihnya, menempatkan diri di pangkuan Mingyu yang langsung menerima dengan senang hati. Setelah penantian berbulan-bulan, kini mereka dapat dengan bebas berciuman hingga tersengal-sengal dan menyentuh setiap lekuk tubuh tanpa malu-malu.

 

Mereka berciuman lagi, lagi, lagi dan lagi.

 

Tidak pernah ada kata cukup bagi mereka berdua untuk menghentikan ciuman. Terlalu banyak waktu terbuang selama berbulan-bulan terpisah ribuan kilometer dan mereka mencoba untuk membayar waktu terbuang tersebut.

 

Kim Mingyu tidak ingat bagaimana akhirnya dia sudah menindih tubuh kurus sang supermodel yang wajahnya kini berwarna merah padam seperti kepiting rebus. Dia ingin merasakan tubuh kekasihnya setelah sekian lama, dia ingin menggauli laki-laki tersebut hingga pagi tiba lagi. Dia menginginkan tubuh kekasihnya, namun sebelum dia melakukan itu, dia harus menghadapi ketakutannya, dia harus mengatakan isi pikirannya kepada Jeonghan.

 

Dia, untuk sekali saja, ingin menjadi seperti orang dewasa.

 

“Kak,” Mingyu memanggil, menyisir rambut panjang kekasihnya.

 

Laki-laki yang berada di bawahnya itu menyahut pelan, wajahnya yang rupawan terlihat lebih menawan dengan mata yang berkaca-kaca dan napas yang tersengal.

 

“Aku nggak masalah kalau kak Han punya yang lain selain aku,” Mingyu berujar, tidak menyadari bahwa pemilihan kata-katanya membuat sang kekasih yang tadi dimabuk asmara telah berubah menjadi penuh kebingungan. “Asalkan kak Han senang, aku juga, tapi bisa nggak kalau mau seperti itu kak Han ngomong dahulu ke aku? Setidaknya aku bisa menyiapkan diri terlebih dahulu.”

 

Dadanya menyesak. Tidak ada yang dapat bisa mendeskripsikan bagaimana napas dan jiwanya seperti meninggalkan tubuhnya. Untuk pertama kali dalam hubungan mereka, Mingyu memiliki keberanian untuk mengatakan isi hatinya terlebih dahulu, meskipun dia sesaat menyesalinya.

 

“Kamu ngomong apa?”

 

Kehangatan yang tadi menjalari tubuhnya kini telah terganti menjadi rasa dingin dan kepanikan. Dia tidak tahu apakah Jeonghan pura-pura atau memang laki-laki tersebut benar tidak memahami dirinya.

 

“Aku sadar aku nggak punya apapun untuk kak Han ambil, aku cuma mahasiswa pascasarjana yang masih dibiayai orang tua. Nggak lebih dari beban keluarga,” Mingyu berujar, pelan. Kini dia duduk beringsut menjauh, menyandarkan punggung pada pegangan tangan sofa. “Aku masih belum tahu gimana cara dunia bergerak. Aku belum ada gambaran gimana aku nanti setelah lulus, aku cuma punya hati dan perasaanku aja. Nggak lebih.”

 

Jeonghan yang menatapnya dengan sorot mata bingung dengan kedua alis mengerut, mengeluarkan suara oh pelan.

 

Raut wajah lelaki itu berubah menjadi lembut dengan kepala mengangguk. Seakan dia tahu isi kepala kekasihnya.

 

“Kamu tadi lihat aku dan Seungcheol, ya?” sang supermodel bertanya, pelan. Tangannya menangkup wajah kekasihnya.

 

Wajahnya mengusut mendengar nama tersebut terucap, “Iya.”

 

“Kejadian Maret lalu juga karena Seungcheol?”

 

Mingyu mengangguk kembali. Kedua pipinya menghangat, menyadari bahwa cara bicara Jeonghan mengingatkan dia dengan cara kedua orang tuanya berbicara dengan dirinya saat masih anak-anak.

 

Seakan waktu berhenti ketika Jeonghan mengusap rambut, pelipis, pipi, dagu dan lehernya secara bergantian. Gerakan tersebut membuat Kim Mingyu menutup mata, menikmati belaian lembut sang kekasih.

 

“Aku ngerasa nggak pantes buat kak Han,” bisiknya. Belaian tersebut berhenti, membuatnya membuka mata dan melihat Jeonghan mengerutkan dahi menatapnya. “Aku terlalu anak-anak untuk kamu, dunia aku dan kak Han beda. Aku cuma anak kuliahan yang hampir gagal, aku nggak pantes buat kamu. Aku selalu terlihat seperti sore thumb and out of the place, i’m not fit to be yours—next to you .”

 

Do you not love me? ” Jeonghan bertanya. Tangannya meraih kedua tangan Mingyu yang mengepal, berbagi kehangatan yang tadi saling melingkupi diri mereka. “Apa aku tanpa sadar menuntut kamu untuk berubah?”

 

Mingyu berharap bahwa dia tidak pernah memiliki keraguan di dalam hatinya. Dia berharap dia tidak menjadi sosok yang selalu merasa rendah diri. Dia berharap dia tidak perlu mengatakan kata-kata tersebut secara langsung. Dia benar-benar berharap mereka menyudahi percakapan ini dan kembali berciuman.

 

“Aku cinta kamu, kak. Aku sayang banget sama kamu,” Mingyu menyahut. Dia meremas tangan sang kekasih yang menggenggam tangannya, dan menorehkan sedikit senyum. “ It’s not you, it’s me .”

 

“Sayang. Puppy , nggak ada yang bilang kamu nggak pantes buatku. Kamu perfect for me, apa selama ini aku nggak cukup nunjukin perasaanku ke kamu?” Jeonghan kembali bertanya, suaranya terdengar memelas.

 

Dia tidak tega melihat kekasihnya seperti ini.

 

What about him?

 

“Seungcheol?” kedua sorot mata kekasihnya terlihat tidak gentar. Seakan-akan lelaki itu tengah membaca isi pikiran dan perasaannya. “Aku nggak ada apa-apa dengan Seungcheol, puppy .”

 

“Kalian dulu bersama, lalu kamu pacaran denganku dan kalian masih bersama. Aku nggak bisa lihat bedanya, kak. Aku nggak tahu apakah kalian seperti dahulu? Apakah aku cuma satu—“

 

Belum sempat Mingyu menyelesaikan kalimatnya, Yoon Jeonghan menangkup bibirnya dalam sebuah ciuman yang terlalu dalam. Ciuman yang melibatkan pergesekan lidah dan suara lenguhan yang seharusnya mereka lakukan sejak tadi.

 

“Berhenti berpikir seperti itu, Mingyu,” Jeonghan melepaskan pagutannya, menangkup kedua pipi sang kekasih dengan tangan dan mengusapnya lembut. “Kamu cuma satu-satunya buatku, nggak ada yang lain. Nggak ada Seungcheol, nggak ada. Apa yang aku dan Seungcheol lakukan dahulu adalah masa lalu, kami nggak akan pernah bisa lebih dari itu. We tried, but just not mean to be . I never love him the way I love you, alright? Kalau kamu masih nggak percaya, aku bisa memutus hubungan dengan dia, aku bisa nggak berteman dengannya lagi. I’m not afraid to lose him, but you, puppy .”

 

Melihat wajah sang kekasih yang berubah menjadi penuh kesedihan dan penyesalan, membuat Mingyu menarik tubuh kurus tersebut ke dalam pelukannya. Dia seharusnya tidak mendengarkan pikirannya sendiri, dia seharusnya belajar mempercayai orang lain—dia tidak boleh membuat Jeonghan melalui hal ini lagi.

 

“Mingyu, listen, ” Jeonghan berujar kembali, raut wajahnya terlihat lelah. “Seungcheol tidak menginap di sini. Tadi dia datang untuk mengambil kamera yang kemarin tertinggal saat kami sedang makan malam, di acara itu ada aku, manajerku, dia dan timnya. Aku—“

 

Mingyu meraih tangan yang menangkup pipinya, membawa tangan tersebut ke depan bibir dan mengecupnya berkali-kali.

 

It’s okay, Kak.”

 

Jeonghan menyatukan dahi mereka, memejamkan mata dan menarik bernapas dengan dalam. “ It’s not okay kalau kamu nggak percaya. Have I not loved you enough?

 

Kim Mingyu mengecup bibir ranum kekasihnya. Mencium bibir tersebut beberapa saat sebelum berkata, “Aku percaya denganmu, nggak perlu menjelaskan lagi. It’s just my head , aku tertekan dengan perkuliahan dan aku melihat foto kalian selalu bersama. Aku nggak pernah cukup untuk orang tuaku, aku takut aku nggak cukup untuk kamu juga,” Mingyu berujar, masih mengecup tangan sang kekasih. “Nggak perlu ada yang berubah di antara kalian. I’m sorry for overthinking things, I've gone through a lot. It’s hard. I’m—“

 

Jeonghan kembali mengecup dirinya, memotong kata-kata yang hendak keluar. Seperti sudah seperti kebiasaan bagi mereka berdua untuk memotong perkataan satu sama lain dengan ciuman.

 

Puppy, I’m not them. You’re more than enough for me, aku nggak mengharapkan apapun selain kamu mencintaiku juga,” Jeonghan berbisik, jari-jemarinya menyisir lembut rambut hitam sang kekasih. “ You have me, you can talk to me.

 

Mingyu mengangguk dan menjatuhkan kecupan kembali ke bibir ranum yang tidak lelah untuk membisikan kata cinta kepada dirinya.





Setelah mereka saling berciuman untuk kesekian kalinya dalam hari itu dan bergelung dengan nikmat di bawah selimut di atas kasur milik sang supermodel, Kim Mingyu untuk pertama kalinya menceritakan kesulitan yang dihadapinya selama berkuliah.

 

Dia menumpahkan semua isi kepalanya dari hal yang seharusnya hanya perlu dibicarakan kepada kedua orang tuanya hingga hal yang benar-benar berasal dari dari pikiran buruk yang telah bersarang. Tidak pernah sekalipun Mingyu mempercayakan seluruh isi pikirannya kepada orang lain, untuk pertama kalinya Mingyu menunjukkan sisi yang selama ini dianggap lemah.

 

Dalam pelukan hangat sang kekasih yang begitu fokus mendengarkan ceritanya, Mingyu menangis dengan Jeonghan yang menjatuhkan ciuman di pucuk kepala dan tangan yang membelai punggung dengan begitu lembut.

 

Meskipun dunianya tidak langsung berubah menjadi lebih baik, setidaknya dia memiliki satu orang yang benar-benar mendengarkan ceritanya.

 

Pada hari itu, Mingyu berjanji dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan melepaskan Jeonghan.

 

Dia terlalu mencintai lelaki itu.

Notes:

Halo! Terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga kalian suka yah. Hehehhe.
First time writing not-broken gyuhan XDDD wdyt? Please!

-

Series this work belongs to: