Actions

Work Header

Cintaku Kamu

Summary:

Hidup Krist Perawat sungguh sempurna. Tetapi pertemuan dengan seseorang di masa lalu mengingatkannya bahwa mungkin, sempurna hanyalah sebuah ilusi belaka.

Notes:

crossposted from our entry in "Little Words from Peraya"

Work Text:

Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Namun Krist rasa, hidupnya hampir mendekati sempurna.

Lahir dari keluarga berkecukupan, tak pernah sekali pun ia kekurangan secara material maupun kasih sayang dari kedua orang tuanya. Tumbuh besar, meskipun ia bukan anak jenius yang selalu mendapat peringkat tinggi di kelas; tapi akibat sifat rajinnya, ia mampu mempertahankan nilai yang stabil hingga ia lulus sarjana.

Kini di usia hampir menginjak dua puluh delapan tahun, Krist telah diberkati dengan karir cemerlang, keluarga harmonis, dan kekasih yang tak kalah suportif.

Godt Ittiphat, pasangannya selama tiga tahun terakhir.

Pertemuan mereka sebetulnya tergolong klise. Waktu itu Krist yang baru saja pindah ke kantor baru, terlihat kesusahan memindahkan barang-barangnya dari lobby gedung ke lantai atas. Kebetulan Godt yang awalnya hendak keluar dari lift, karena melihat seseorang yang tengah kesulitan akhirnya mengurungkan niatnya dan bergegas membantu si staf baru.

Berawal dari obrolan basa-basi di lift dan janji untuk minum kopi bersama lain kali, sekarang sebuah cincin tengah melingkar manis di tangan kiri Krist.

“Aku bayar bill-nya dulu ya, sayang.” Godt berkata kepada calon suaminya, tak lupa meninggalkan sebuah kecupan di pipi sebelum pergi ke tempat kasir.

Keduanya baru saja menghabiskan waktu makan malam di sebuah restoran bintang lima sebagai perayaan dari pernikahan mereka yang tinggal menghitung mundur tujuh hari lagi. Godt bersikukuh untuk membawa Krist ke restoran ini; mengatakan bahwa ia sudah lama ingin membawa kekasihnya ke sini namun selama ini selalu terhalang persiapan pernikahan mereka yang memakan waktu banyak.

Selepas kepergian Godt, Krist masih duduk di tempatnya dan menyesap pelan anggur merah miliknya sambil menikmati alunan musik jazz yang diputar oleh restoran.

“Krist?”

“Iya?” Lelaki yang dipanggil membalikkan badan saat mengira bahwa pemilik suara barusan merupakan kekasihnya.

Melainkan suara tersebut berasal dari mimpi terburuknya yang telah susah-susah ia hapus dari ingatan. Awal dari segala kisah buruknya, akar dari semua isu diri yang mengingatkan Krist bahwa tentu saja hidupnya terlalu jauh dari kata sempurna.

“Ini betulan kau? Krist Perawat Sangpotirat?”

Singto Prachaya Ruangroj, patah hati terbesarnya dulu ー atau mungkin hingga sekarang?

Pria itu terbalut dengan jas tiga stel dengan dominasi warna abu-putih yang membuatnya seperti ia memang dilahirkan untuk menggunakan pakaian tersebut. Di pergelangan tangannya terdapat jam berseri sama seperti tipe yang Krist belikan untuk hadiah ulang tahun kekasihnya bulan lalu. Sepatunya mengkilat terang memantulkan cahaya lampu restoran. Sementara di wajah Singto, terdapat senyum lebar khasnya yang seakan tak pernah lekang terhadap waktu; senyum yang mampu membuat dunia Krist jatuh dan runtuh.

Krist berupaya sekeras mungkin untuk mencoba tersenyum, namun nihil; bibirnya terlalu kelu. “Singto,” ucapnya singkat.

Seakan tak sadar dengan dilemanya yang ingin segera pergi dari tempat itu, pria satunya kembali berbicara, “ya ampun, sudah berapa lama kita tidak bertemu?”

Sejak kau tiba-tiba menghilang untuk kabur ke China.

Krist menelan ludahnya kasar, “hampir sepuluh tahun, mungkin.” Anggap saja ia tak mengingat jelas hari itu. Hari di mana hatinya dihancurkan seremuk-remuknya hingga hampir tak bersisa apa pun lagi.

"Apa kabarmu sekarang? Astaga, kau harus tahu seberapa susahnya aku mencarimu, yang lain juga tidak ada yang tahu keberadaanmu."

Kau mengatakan itu seolah-olah kau pernah mencariku. Jangankan mencari, mengingatku saja mungkin baru terlintas di kepalamu malam ini.

“Baik,” jawabnya singkat. Kedua tangannya saling meremas; tanda yang selalu prominen ketika lelaki berkulit putih sedang tergugup. Tanpa sadar, pergerakan tangannya menarik perhatian dari pria yang kini berdiri semakin dekat.

Singto memperhatikan cincin emas yang melingkar di tangan Krist dan memujinya, “cincinmu cantik. Jadi siapa pria beruntung yang berhasil mendapatkan kura-kura kesayanganku?”

Kura-kura kesayanganku.

Atas hak apa kau memanggilku dengan panggilan seperti itu?

Sudut mata Krist menangkap sosok tunangannya yang berdiri di ujung ruangan mencoba menarik perhatiannya. Titik terdalam dirinya merasa sedikit lega melihat Godt di sana. Tanpa sadar, senyuman tipis muncul pada bibirnya.

Melihat ekspresi Krist, Singto menoleh ke arah yang sama. Kedua netranya menemukan jawaban dari pertanyaannya barusan. “Oh, yang itu?” ucapnya sambil memberikan sebuah senyuman dan membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai salam.

Namun rasa lega yang Krist rasakan tak berlangsung lama. Ia baru saja hendak bangkit dari kursinya dan menghampiri kekasihnya saat seluruh kekuatan dalam dirinya seolah pergi meninggalkan tubuhnya ketika Godt mengatakan ia akan menunggu di mobil melalui gestur tubuh dan mulutnya.

Tubuh laki-laki itu perlahan menghilang dari pandangan, meninggalkannya dengan monster yang menghantui masa lalunya.

Tidak. Jangan pergi. Sayang, tatap mataku. Kumohon. Jangan tinggalkan aku sendiri.

Dalam ruangan yang tidak kecil itu, Krist seolah terperangkap dalam sangkar burung. Kedua sayapnya seolah diinjak sementara kedua kakinya diikat dengan rantai. Dalam ruangan yang penuh dengan orang banyak, Krist tak pernah merasa lebih sendirian daripada saat ini.

Pria di hadapannya kini mendudukkan diri di kursi tempat tunangannya tadi tanpa diundang. Persis seperti eksistensinya di hidup Krist; datang dan pergi tanpa seizin pemilik rumah.

“Kemarin aku baru saja mendapat undangan pernikahan dari Mook, ia akan menikah satu bulan lagi. Apa kamu sudah menerima undangannya juga?” Singto masih mencoba membuka topik pembicaraan kembali, entah pura-pura buta atau memang tidak tahu tentang perasaan tidak nyaman yang dapat muncul jelas pada raut pria yang lebih muda.

Tarik napas, buang.

Tarik napas, buang.

Singto masih berbicara tentang hal-hal sepele yang sama sekali tidak bisa masuk ke otaknya.

Tarik napas, buang.

“Jika tidak ada hal penting yang ingin kau bicarakan,” Krist memberanikan dirinya untuk menatap Singto tepat di mata dan bersuara tegas, “maka aku izin pergi dari sini. Tunanganku sudah menunggu di depan.”

Secepat kilat pergelangan tangannya digenggam oleh pria di hadapannya, sebelum pria yang digenggam refleks menghempaskan tangan tersebut serta kalimat jangan sentuh aku terlepas kasar dari bibirnya.

Ia tidak ingin berurusan apa-apa dengan Singto lagi.

Akhirnya tersadar dengan suasana hati Krist yang terlihat sudah cukup muak dengannya, Singto kini memasang muka serius dan berucap lebih halus, “ada yang ingin aku sampaikan kepadamu.”

Kalimat tersebut mampu membuat Krist membatalkan niatnya dan tetap terduduk di kursi; menunggu maksud dari ucapan pria itu.

“Aku minta maaf,” Singto memulai ucapannya. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap netra pria di hadapannya.

“Itu saja?”

“Tidak, tunggu sebentar, kumohon.”

Dulu, kalimat yang sama keluar dari mulutku. Tapi, apakah kau mendengarkanku saat itu?

Jari jemari Singto bertautan satu sama lain dengan gusar. Ia melirik ke kiri dan ke kanan sebelum akhirnya menatap Krist sambil perlahan meraih tangan laki-laki di hadapannya yang tengah beristirahat di atas meja.

Krist mengepalkan tangannya, mencoba melepaskan diri dari genggaman Singto sekali lagi. Namun usahanya terhenti ketika laki-laki itu berucap, “sebenarnya aku tahu kau menyukaiku. Aku tahu dari caramu melihatku, dan dari segala upayamu untuk terus bersamaku bahkan sampai rencana untuk berkuliah di tempat yang sama.”

Dulu. Jangan tinggalkan kata itu dari kalimatmu barusan. Jangan buat seolah-olah aku tak pernah melupakanmu.

“Tapi aku menghindar. Itulah mengapa aku memilih untuk menganggap perasaanmu tidak ada dan pergi berkuliah di China,” Singto menelan ludahnya, “dan aku minta maaf untuk itu.”

“Kita hidup di dunia yang tidak semurah hati itu, Krist. Aku tidak tahu harus bagaimana jika orang-orang tahu tentang hal itu, bagaimana jika orang-orang tahu tentang perasaanku padamuー”

Tunggu. Berhenti di sana. Aku tidak mau mendengarmu lagi.

“Aku tidak tahu apakah perasaanku padamu benar-benar nyata atau hanyalah ilusi semata. Tapi saat ini aku tahu betul, perasaanku masih nyata sampai saat ini, Krist.”

Lelucon. Semua ini hanya lelucon belaka.

“Aku menyukaimu, Krist. Masih. Sampai detik ini. Aku mencintaimu.”

Tidak. Tidak mungkin.

“Tak bisakah kamu kembali padaku? Aku berjanji akan membahagiakanmu, sungguh.”

Cukup.

Sebuah gebrakan keras terdengar menggema ke seluruh penjuru ruangan. Singto menatap laki-laki di hadapannya yang kini berdiri dengan napas berat tersengal-sengal. Belasan pasang mata menatap kedua laki-laki itu sebelum memalingkan wajah, berpura-pura tak acuh.

Krist tertawa pilu, “dulu aku adalah mainan yang tidak kau inginkan. Kau membuangku begitu saja. Kau anggap aku tidak pernah ada, di saat jelas-jelas aku selalu di sana. Sekarang, melihatku bahagia bersama yang lain, baru kau menginginkanku. Aku bukan keledai yang bisa jatuh ke lubang yang sama dua kali, Singto.”

“Apa kau tahu seberapa sulitnya dulu bagiku yang mencintaimu? Bagaimana perasaanku? Bagaimana kau menganggapku tiada? Apa kau tahu?”

Sekelebat bayangan mengenai kehidupan masa sekolah menengah atas keduanya terlewat di depan mata Krist. Tentang keduanya yang pada masanya tak pernah terpisah bagai sol sepatu dan permen karet, tentang perjanjian kedua anak adam untuk selalu melakukan semua hal bersama, tentang semua impian manis yang akan dirajut oleh mereka.

Kemudian secara perlahan semua janji berubah menjadi bualan kosong, jarak tak kasat mata kini telah membentang seluas samudera, dan Singto yang berjalan sendirian meninggalkan Krist menjadi bayangan.

Krist menangkap pecahan gelas di lantai akibat gebrakan tangannya di meja beberapa saat lalu dari sudut matanya. “Kau lihat gelas itu,” Ia menunjuk pecahan gelas tersebut sebelum mendengus dan memalingkan pandangannya ke arah lain. “Jika gelas saja tidak bisa sepenuhnya utuh setelah dipecahkan. Bagaimana denganku?”

“Jika kau memang masih mencintaiku, maka silahkan urus perasaanmu sendiri dan tanyakan kepada dirimu apa yang membuatmu menghancurkan kita; ketakutanmu, egomu, atau karena imajimu semata?”

Singto membuka mulutnya, mencoba untuk berbicara sebelum Krist memotong perkataannya.

“Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi.”

Krist berjalan dengan langkah cepat, meninggalkan Singto yang masih duduk terdiam di sana. Ia tak menghiraukan tatapan yang diberikan orang-orang di sekelilingnya.

Sesampainya ia di lapangan parkir, mobil Godt segera menyita perhatiannya. Krist berlari kecil menuju mobil hitam itu. Ia mengetuk pintu kursi penumpang kemudian membalas senyuman yang diberikan tunangannya. Setelah masuk dan duduk di sana, ia terdiam.

Puluhan kata yang keluar dari mulut Godt sama sekali tak terdengar telinganya. Kepalanya terus mengulang percakapannya dengan Singto beberapa menit yang lalu. Dalam lubuk hatinya, Krist paham betul bahwa perkataannya benar. Singto hanya mempermainkannya. Lagi dan lagi.

Tanpa dia sadari, air mata mengalir jatuh ke pipinya. Krist menelungkupkan kepalanya di atas kedua telapak tangannya. Tubuhnya ditarik oleh tunangannya ke dalam dekapannya bersamaan dengan ribuan kata penenang yang tak dapat ia dengar.

Ia mungkin bukan keledai yang dapat jatuh untuk kedua kalinya pada lubang yang sama. Tapi mungkin, Krist tak pernah benar-benar keluar dari lubang itu. Lubang yang membuatnya jatuh terlalu dalam pada sosok yang bernama Singto Prachaya.