Chapter Text
(Ini link gambar-gambarnya yang better dilihat dulu sebelum lanjut baca ya. Ga tahu kenapa kok ini lagi ga bisa input gambar ke sini :( aku coba lagi besok)
Hanya berselang sembilan detik, terdengar ketukan dari balik pintu kamar Anggi. Oh, rupanya Hana benar-benar mematuhi aturan hunian mereka. Senyum Anggi terkembang tatkala sebuah kepala menyelinap masuk di antara celah daun pintu dan tembok.
“Heiii,” sapa si pemilik kepala, yang sekarang sudah berada di hadapan Anggi. Tubuhnya pun langsung ia hempaskan ke pangkuan tuan kamar yang tengah terduduk di kursi putih beroda. Sepasang lengan menjaga erat pinggangnya dalam lingkaran mesra, seakan mereka sudah lama tidak berjumpa. Padahal nyatanya baru terpisah selama beberapa puluh menit saja.
“Tidur sini aja, temenin aku,” ucap Anggi.
Punggung Hana tengah bersandar nyaman pada dada kekasihnya itu. Dan ketika mendengar permintaan barusan, sisi kepalanya langsung ia sampirkan pada bahu jenjang Anggi. “Asal kamu yang jadi guling aku,” katanya melayangkan penawaran.
Anggi pun mendengus. Dinamika hubungan mereka memang tidak pernah melabeli satu peran dengan yang lain. Semuanya setara, semuanya mendapatkan kesempatan untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka di kala itu. Kadang keduanya heran ketika pelabelan itu dijadikan suatu aturan untuk membatasi kebebasan seseorang untuk menunjukkan rasa perhatian mereka, atau pun dalam menerima bentuk perhatian itu.
“Iya dehhh. Kangen banget tidur dipeluk kak Hana. Empat hari tidur sama Chika ga tenang. Takut banget kalo pas ngelindur terus ga sengaja peluk dia, kan bisa panjang masalahnya,” curhat Anggi mengingat waktu-waktu kerjanya—selama lima hari yang lalu—bersama dengan rekan produsernya, Chika, yang juga sudah memiliki tambatan hati. “Bisa-bisanya loh, bang Lio pesenin kamar tapi ga twin bed. Mulai besok gue harus turun tangan buat cross check sebelum dia booking. Kalo bisa ngekliknya di depan mata gue,” lanjutnya menceritakan kekesalan akan si manager lapangan.
Hana tersenyum lebar melihat wajah kesal kekasihnya. Ia pun tidak bisa tinggal diam untuk mengecup kerutan di antara alis Anggi. Yang otomatis langsung membuat si empunya wajah menghentikan celotehan kesalnya.
“Lagi, Yang,” pinta Anggi sembari mengeratkan lingkaran lengannya pada pinggang Hana.
Dan gadis di pangkuannya mengabulkan permintaan itu, kali ini meninggalkan jejak lembut di pucuk hidungnya.
“Lagi.” Sekarang di pipi kiri.
“Lagi.” Lalu di pipi bagian kanan.
“Yang ini juga, jangan lupa,” katanya lagi, sambil memajukan bibirnya.
Tapi Hana malah bangkit dari posisinya, membuat Anggi bingung dan sedikit kecewa.
“Di sini aja ga, sih? Aku pegel banget kudu miring-miring liatin kamu.” Sebelah tangan Hana menepuk kasur Anggi yang tengah ia duduki. Mengundangnya untuk ikut duduk di sampingnya.
Melihat wajah Hana yang sangat sugestif membuat bulu kuduk Anggi berdiri. “Bunda……adek takut……”
Kedua alis Hana kembali ia naik turunkan, posisi tubuhnya pun ia rebahkan menyamping. Mencoba untuk semakin memprovokasi belahan hatinya yang tak kunjung menerima umpan.
Hingga ketika kaki Anggi sejajar dengan pinggiran kasur, Hana segera bangkit dari posisinya dan menarik tubuh yang lebih tinggi beberapa senti itu. Anggi memekik dan Hana tertawa, sambil memeluk tubuh sang terkasih yang tidak ia jumpai selama beberapa hari kemarin. Merasakan kembali kelembutan dan kehangatan yang sudah sangat familiar di benaknya.
“Mama barusan nge-chat, katanya mau ngajak dinner bareng di rumah.” Hana menyangga kepalanya dengan sebelah lengan, tangan satunya ia gunakan untuk menyapu anak-anak rambut yang menghalangi paras ayu Anggi. “Kamu diundang,” imbuhnya sebelum Anggi sempat bertanya.
“Dalam rangka apa, Yang?”
“Ga ada apa-apa. Emang keluarga aku biasanya suka random gitu, tiba-tiba ngajak kumpul.”
Jemari Hana kini menari-nari di bawah tulang selangka Anggi. Sebelum akhirnya ia tautkan pada tangan Anggi dan menggenggamnya, memberinya kepastian. Apalagi ketika pandangan gadis di sebelahnya menerawang ke langit-langit kamar.
“Ga perlu khawatir atau apa. Ada aku, kan? Sama kayak waktu aku ketemu sama Bunda. It's okay, sayang. I will always be right by your side.”
Anggi membalas genggaman tangan itu dan menatap kekasihnya dengan lembut. “Bukan itu, Yang,” ujarnya.
Alis Hana bertaut, “Lalu?”
“Aku cuma bingung mau pakai converse yang mana buat menarik hati mama papamu,” jawabnya sebelum nyengir lebar.
Dan sepersekian detik kemudian, Anggi benar-benar menyesali perbuatannya.
Sepertinya dia belum cukup jera untuk terus membangunkan macan tidur dari dalam diri Hana.
Atau mungkin, memang dirinya sengaja aja.