Work Text:
Apabila ada yang bertanya kepada Mary, kapan saatnya kamu merasa harimu berubah selamanya, maka Mary akan menjawab, sejak kedatangan Claire ke kota. Baik dalam skala kecil maupun skala besar, baik dalam perubahan-perubahan fisik maupun emosional—seluruhnya tidak pernah sama lagi, di hari pertama Claire tiba mengisi satu-satunya rumah kosong di Kota Mineral.
Sejak kecil, petak tanah luas yang kini menjadi bagian dari pekarangan depan Claire selalu menjadi tempat mereka bermain-main sepanjang sore: dirinya, Popuri, Trent, Gray, Elli, Ann, Cliff, Rick, Karen, Kai … semuanya. Mereka akan berlompatan dalam bongkah-bongkah kayu, menguji batas kekuatan kapak-kapak tempaan Gray pada semua batu, hingga menenggelamkan diri dalam rimbunan semak-semak. Mereka akan berlarian, berkejaran, tertawa-tawa, hingga akhirnya kelelahan sendiri dan berbaring hingga matahari terbenam. Mary selalu menyukai sore-sore itu.
Pada hari pertama Claire tiba dan tahu-tahu menguasai seluruh petaknya, Mary rasanya harus membuat catatan mental di kepala yang perlu mengingatkannya sewaktu-waktu agar tidak melewati jalur yang sama setiap kali mau ke bukit atau air terjun. Hari itu, ia pernah oleh Gray ketika hampir saja meneruskan langkah memasuki teritori rumah Claire, “Mary!” begitu panggil sang pemuda, dan begitu Mary menoleh, tepat saat itulah Mary sadar apa yang hendak dia lakukan tanpa perlu Gray melanjutkan lagi kata-katanya, “jangan lewat situ!”
Benar. Jangan lewat situ lagi. Kini ia perlu mengambil jalan memutar setiap kali mau ke bukit. “Aku jadi perlu ambil jalan memutar kalau mau ke bukit,” keluh Mary setelah memutuskan untuk mengungsi kembali ke perpustakaan saja dan membatalkan agenda ke bukit. Ia melakukannya sambil mengelap satu per satu buku di tingkat atas perpustakaannya. Ia sering bicara sendiri, tetapi kebetulan di perpustakaan ada Trent yang sedang membaca sebuah buku sehingga dikeraskannya suara sebagai caranya mengesahkan kehadiran teman bicara.
“Itu saja?” tanya Trent.
Mary mengerutkan kening. Menoleh. “Memangnya ada yang lain?” tanyanya balik.
Trent membalik halaman bukunya, lalu membalikkannya lagi, dan membalikkannya lagi—sepertinya ia tidak benar-benar membaca isi di dalam buku dan hanya melihat-lihat gambar dan tabelnya saja. “Entahlah, hanya saja …,” ujarnya, membiarkan kalimatnya tergantung sebagaimana khas Trent apabila bicara sambil berpikir, “... rasanya, kayak nggak cuma itu saja.”
Apa yang Trent katakan itu benar. Rasanya, tidak hanya itu saja Mary merasa hidupnya berubah atas datangnya Claire. Selain rumah yang kini bertuan itu menjadikan kenangan masa kecil mereka tercerabut, tetapi Mary merasa bahwa apa capaian yang dilakukan olehnya dan orang-orang yang dia kenal sejak lama akan dapat dilampaui oleh Claire dengan mudah hanya dalam waktu kurang dari dua musim dengan seolah tanpa daya pula. Raut wajah dan pembawaan Claire seperti punya karakter itu, tetapi bagaimanapun juga, kekhawatirannya masih tanpa bukti. Walaupun, mungkin saja jawaban itu tidak bisa Mary ketahui dalam waktu satu hari.
Memasuki hari kedua, rasanya Claire sudah bisa menghafal seluruh penduduk Kota Mineral.
Setelah berhasil melalui minggu pertama, Claire datang ke perpustakaannya, menyapa dirinya, dan membuat Mary memperkenalkan diri, dan membuat Mary terpana dengan keluwesan cara bicara Claire, pembawaannya yang tenang dan kasual, dan kecerdasan gadis pirang di hadapannya ini yang teruji melalui apa yang ia ucapkan dan cara ia mengatakannya. Claire bercerita tentang kebutuhannya terhadap penguasaan kompetensi agraria bagi dirinya yang hanya bisa menanam dan memanen, tapi selain itu, ia juga ingin mahir ekonomi dan politik—rak buku yang hanya Mary saja yang mengunjunginya.
“Kenapa?” tanya Mary, sesuatu mengusiknya—atau ia hanya mencari-cari saja.
“Kautahu,” jawab Claire, mengangkat bahunya, dan Mary ingin memekik, tidak, aku tidak tahu, “Kota Mineral itu kaya, kan? Di kota yang kecil ini kamu bisa memanen apa pun yang kamu tanam, kamu bisa menambang emas sebanyak apa pun selamanya, kamu—” Claire membuat jeda sejenak, kedua tatapan mata mereka bertemu, sepertinya Claire menyadari bahwa Mary beringsut taknyaman dengan apa yang Claire katakan, tapi Mary berani jamin bahwa Claire takkan sampai pikirannya untuk menebak bahwa apa yang membuat kedua kakinya lemas adalah (hanyalah) kata selamanya— “kamu bisa mau ke gunung, mau ke pantai. Semua ada. Ini seperti remote city.”
Mary terdiam sejenak. Ini pertama kalinya Claire bicara sebanyak ini padanya.
“Mary? Katakan sesuatu, dong.”
Gadis itu tergagap. Ia membenarkan letak kacamatanya yang sebetulnya tidak kenapa-kenapa. “Tanah di Kota Mineral memang subur,” ujarnya, menanggapi satu per satu poin Claire dimulai dari yang paling awal. “Di musim panas, tanamanmu mungkin bisa mati apabila tidak kamu siram dengan rutin, tetapi sekalipun tiga hari berturut-turut hujan, tanamanmu sangat jarang mati kebanyakan air. Tanah Kota Mineral seolah selalu haus sepanjang waktu, sehingga apabila tanaman menerima terlalu banyak air, maka porsi yang terlalu banyak akan dioperkan kepada tanah-tanah yang membutuhkannya.”
Bola mata Claire berbinar. “Benarkah?” tanyanya. “Itu kabar yang bagus sekali. Aku selama ini bingung mau beli bibit tanaman yang apa. Karena aku nggak tahu-menahu soal kualitas tanah, jadi pertimbanganku hanya waktu panennya saja.”
Mary diam lagi.
“Mary, makasih, ya!” sambung Claire, setelah menulis sesuatu di atas meja. “Aku meninggalkan judul-judul buku yang kubutuhkan ya. Kabari saja aku kalau kamu menemukannya atau nggak menemukannya. Aku mau ke rumah Gray dulu.”
Lagi-lagi, ada yang membuat perasaannya tidak nyaman. “Apa yang mau kamu lakukan di sana?” Mary mencoba bertanya seringan mungkin dengan berlagak bertanya sambil membaca ulang tulisan tangan Claire di atas robekan kertas.
“Aku bawa jagung buat dia. Dia suka jagung. Sebetulnya Gray lebih suka jagung bakar, tapi—”
“Gray suka jagung bakar?” Kali ini, Mary taklagi berpura-pura tidak peduli. Ia mendongakkan kepala, sepenuhnya menatap Claire yang juga memandanginya kebingungan. Seumur-umur Mary berkawan sejak kecil dengan Gray, ia tidak pernah tahu bahwa Gray suka jagung bakar. Memangnya ada kalanya Gray pernah berkata kepadanya, atau kepada salah satu dari mereka?
Claire mengangguk. Ia tertawa. “Sudah, ya! Keburu di sana tutup. Makasih!”
Kedatangan Claire membuat perubahan selamanya dalam kehidupan Mary. Pertama-tama adalah perubahan skala kecil—ketika ia jadi perlu mengubah jalur perjalanan ke bukit atau ke pemandian air panas yang sebelumnya melewati wilayahnya. Selanjutnya adalah perubahan skala besar—sebab kondisi munculnya Claire juga berarti mencerabut kenangan-kenangan mereka dalam bermain atau berlarian bersama semasa kecil.
Kemudian, perubahan fisik, ya, tentu, Mary mendapati bahwa ia jadi lebih sering melamun, lebih banyak mengeluh, dan seperti tak bisa melawan dari serapan energi-energi negatif dari orang-orang di sekitarnya, bahkan Trent yang notabene cowok jutek saja sampai peka. Lalu, perubahan emosional …
Saat ini, Claire sedang pergi ke rumah Gray untuk memberikan jagung. Ini seperti bukan pertama kalinya hal itu dilakukan oleh Claire. Apakah mungkin Claire juga sudah menemui Gray dan kakeknya di pasar kota sebelah yang ditempuh dengan belasan menit naik kapal? Gray pernah bercerita kepadanya soal keinginan itu, keinginan untuk membentangkan promosi tempaan kapaknya menjadi sesuatu yang mendunia.
Mary tidak punya uang, waktu, pun keberanian seperti Claire untuk melangkah melakukan apa yang ia pikir untuk dilakukan. Mary berpikir bahwa beginilah hidupnya yang akan ia jalani selamanya: hidup, bernapas, menjaga perpustakaan, dan melakukan hal yang menyenangkan bersama teman-teman. Ia terlambat menyadari bahwa kehidupan demikian hanya sedang dinikmati olehnya saja—sendirian.
Trent sedang survei untuk cari sekolah lagi. Cliff punya semangat untuk mencari keluarga dan saudaranya. Kai berpikir untuk pulang setiap dua tahun untuk meningkatkan jam terbang di apa yang ia lakukan. Popuri dan Rick berpikir untuk mengembangkan usaha ternak ayam mereka menjadi sesuatu yang lebih inovatif lagi—melampaui ayam-ayam dan telur-telur mereka. Ann sedang memastikan bahwa profil penginapannya punya tempat di surat kabar. Karen sedang merintis jasa layanan antar di supermarketnya.
Sementara, Mary? Apa yang ia lakukan?
Kedatangan Claire mengubahnya, tidak hanya menyadarkan Mary bahwa jalur jalan setapak baginya terpangkas, tetapi juga menyadarkan Mary bahwa sebetulnya tidak pernah ada jalur jalan setapak yang tersisa sejak awal. Semua orang sedang melangkah di setapak-setapak mimpi mereka, melayang-layang jauh, meninggalkannya. Ia harus membuatnya sendiri pula.
Di tengah perpustakaan yang takkan lagi sama, Mary tertawa menyadari kenaifannya. Oh, Mary. Hidupnya takkan berubah selamanya sebelum ia sendiri yang memutuskan demikian.***