Chapter Text
Dongsun dan Mike harus melewati langkah yang panjang sebelum bisa tiba di sini, di sebuah rumah pinggir pantai, menghadap langsung hamparan biru laut dan debur ombak yang memecah karang.
Satu tahun telah berlalu sejak Dongsun memutuskan untuk melepas status sebagai Putri Mahkota dan menyerahkan jabatan itu kepada adik tertuanya, Lee Mijeong. Sudah satu tahun juga berlalu sejak Mike memutuskan untuk menjadi sosok yang lebih berani, memperjuangkan apa yang hatinya inginkan, sekaligus melindungi semua orang yang ia sayangi. Bukan hal yang mudah, tetapi ia terus belajar untuk menjadi lebih baik, hari demi hari.
Mike bersyukur Dongsun setia menemaninya, meski keberaniannya masih banyak cacat dan cela. Tak jarang pemuda itu akan menangis sendirian di tengah malam, meratapi nasib yang harus ia terima sebagai orang buangan. Sejak hari ia menantang Raja, ucapan Dongsun berbuah benar; pria itu akan memastikan hidup mereka sengsara. Akibatnya, Dongsun dan Mike dilarang menginjakkan kaki di tanah Korea, pun menjadi bulan-bulanan masyarakat kerajaan yang seolah tidak akan ada habisnya. Berusaha meruntuhkan mental mereka, sedikit demi sedikit. Namun, Dongsun lagi-lagi menjadi yang terkuat di antara mereka, tak jenuh mengingatkan Mike bahwa apabila mereka bisa melalui semua ini sebelumnya, maka mereka akan bisa terus melewatinya, bahkan tantangan yang lebih besar sekalipun.
Meski begitu, akan ada kalanya Dongsun juga merasa lelah. Tak peduli semasa bodoh apa ia terhadap orang-orang yang melempar kebencian kepadanya atas pilihan-pilihan yang ia ambil, akan ada saat di mana jiwanya merapuh dan menerima segala omongan jahat itu tanpa barikade yang kukuh.
Di saat-saat seperti itu, Dongsun akan menghabiskan waktu dengan berdiam di tepi pantai, mendengar suara debur ombak, merasakan angin yang berembus, dan mendengar kicau burung yang terbang melintas. Setidaknya sampai Mike muncul dan membawa sehelai selimut untuk disampirkan ke pundaknya, menjaga Dongsun dari terpaan angin petang. Mike juga akan menawarkan Dongsun pundak tanpa banyak bicara, membuatnya yang memang nyaman dengan kesunyian akan langsung menyandar dan mencari kenyamanan lebih di sana.
Sebagaimana yang telah diduga, kehidupan mereka tidak akan mundah. Mempertahankan hubungan yang nyaris terasa mustahil ini tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Selama Mike dan Dongsun memiliki satu sama lain, tidak ada rintangan yang tidak bisa mereka hadapi. Dan keduanya kini sudah jauh lebih tahu, cinta mereka tidaklah rapuh sebagaimana dulu. Cinta mereka, kini, telah menjadi jauh lebih kuat.
Suara debur ombak terdengar keras malam itu, bergemuruh di bibir pantai, masuk ke sela-sela ventilasi kamar dan menemani kegiatan Mike serta Dongsun yang sedang bergulat di atas ranjang dengan tubuh terbungkus peluh. Mike memompa keluar masuk dengan gerakan cepat dan dalam, membuat Dongsun yang tertindih menggeliat dan terus mengeluarkan desahan serta lenguhan. Ujung kejantanan Mike menyentuh titik nikmatnya, membuat Dongsun tanpa sadar membuka kaki lebih lebar, menerima keberadaan tubuh si pemuda di antara kedua kakinya, memompa kenikmatan menjalari tulang punggung Dongsun dan membuat tubuhnya melengkung indah. Dada sintalnya terentak naik turun seiring gerakan Mike. Terkadang ciuman pemuda itu di wajahnya akan bergerak turun, menyapa puting cokelat Dongsun yang menegang, membuat si gadis merasa semakin kewalahan.
"I love you," bisik Mike di telinga Dongsun, di tengah gerakan keluar-masuknya di tubuh gadis itu. "I love you, Lee Dongsun."
Dongsun memejamkan mata, melingkarkan kedua tangan di pundak lebar Mike dan mendesahkan napas ke telinga pemuda itu.
"I... I love you too. I love you too, Mike," ucap gadis itu susah payah sebelum kembali mendesah.
Di langit, bulan menggantung rendah, menampilkan lingkar sempurna keperakan yang mewarnai permukaan gelap air laut, seolah menebar permata di permukaan permadani hitam raksasa. Suara desir air laut yang menjilat bibir pantai menambah kekhidmatan suasana malam itu. Dan tak lama kemudian, Mike memompa dalam, menekan kejantanannya pada titik nikmat Dongsun dan menyemburkan pelepasan, membuat gadis itu menjerit dengan tubuh bergetar dalam pelukan Mike.
"Jujur padaku, Nona. Apa kau bahagia?"
Setelah kegiatan intim mereka, baik Mike maupun Dongsun berbaring sambil saling mendekap di balik helai selimut. Malam menanjak semakin larut dan kantuk telah menyerang kelopak mata gadis itu, membuainya untuk segera tidur. Namun, pertanyaan Mike menariknya kembali.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"
Mike mengedikkan bahu. "Dengan apa yang terjadi selama satu tahun terakhir terhadap kita, kurasa penting untuk menanyakan hal itu kepadamu. Apa kau, setelah semuanya, masih menganggap apa yang kita miliki sekarang patut untuk diperjuangkan dan dipertahankan? Mengingat konsekuensi yang kita dapatkan tidaklah remeh. Terutama untukmu, Nona."
Dongsun tidak segera menjawab. Ia bergerak menajuh dari tubuh Mike, menatap langit-langit di tengah cahaya remang kamar.
"Sejujurnya, aku tidak pernah memikirkan itu setahun belakangan ini, sejak aku memutuskan untuk melepas segalanya demi bisa bersamamu. Jangan salah paham," lanjut Dongsun cepat. "Artinya bisa saja bukan tidak bahagia, melainkan aku sudah berada di tengah kebahagiaan itu sehingga tidak punya waktu untuk sekadar berharap, kau tahu? Tapi, aku munafik jika bilang bahwa aku tidak menderita. Ada saat-saat di mana aku akan merasa lelah dengan semuanya, dengan tidak sabar berpikir kapan segala ketidaknyamanan itu akan berakhir. Tapi, bukankah itu hal yang wajar? Setiap menerima tekanan, manusia selalu memiliki kecenderungan untuk melarikan diri. Bukan karena kita pengecut, melainkan sifat itu telah menjadi bawaan naluriah kita, bahkan sejak zaman purbakala. Nenek Moyang kita selalu memiliki tendensi untuk bertahan atau lari, dan hal itu terwariskan kepada kita dan menjadi sistem dasar sifat manusia.
"Setiap merasa lelah, tekanan-tekanan yang datang dari komentar-komentar tidak bertanggung jawab di internet akan dengan mudah merasukiku, bahkan lebih mudah daripada hari-hari biasa. Di saat itulah terkadang aku akan berpikir ulang, apa benar ini semua yang kuinginkan? Apa bersama dengan Mike sepadan dengan segala kebencian dan tekanan yang kuterima dari publik Korea? Namun, setiap aku memikirkan itu, bahkan memiliki dorongan untuk lari, kau akan hadir di sisiku, sekadar menawarkan segelas teh hangat atau sebuah bahu, dan kau tidak tahu betapa berartinya itu untukku, Mike. Setiap rasa lelah mendorongku untuk mengambil keputusan lari, kau akan hadir untuk mengadangku, menjadi jangkar yang menahanku untuk tetap bertahan. Dan aku bersyukur atas itu. Jadi, apabila kau tanya apa aku bahagia setelah segala yang terjadi selama satu tahun kebersamaan kita, maka ya, aku bahagia."
Jawaban panjang Dongsun membuat Mike menampilkan senyum haru, sebelum akhirnya mendekatkan wajah untuk menyatukan kening dan ujung hidung mereka.
"Terima kasih banyak, Nona. Terima kasih banyak karena tetap memilihku. Terima kasih banyak karena tetap memilih untuk tinggal."
Sebelah tangan Dongsun bergerak naik, membelai sisi wajah Mike yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. "Karena kebahagiaan adalah kita yang tentukan, Mike. Kebahagiaan yang kupilih sejak awal adalah dirimu, sehingga tak peduli apa yang terjadi, aku akan tetap memilihmu. Dan mungkin, itu juga yang membuatku tidak pernah memikirkan apakah aku bahagia atau tidak, sebab aku sudah berada dalam kebahagiaan itu sendiri. Kau mengerti maksudku?"
Mike tersenyum. "Ya... Aku berusaha memahaminya."
Dongsun balas terkekeh. "Lalu, bagaimana denganmu?" tanyanya kemudian. "Apa kau bahagia telah memilih jalan ini? Sebab, jujur saja, aku tahu apa yang terjadi padamu lebih berat. Beban yang kau tanggung karena memilih untuk membangkang dari raja sebuah negara membuatmu kewalahan memastikan dirimu dan semua orang di sekitarmu agar tetap aman."
"Memang benar," jawab Mike. "Tapi, untungnya aku tidak sendiri. Sebagaimana yang kulakukan terhadap mereka, keluargaku juga memastikan agar aku tidak perlu terlalu khawatir dan mengingatkan bahwa mereka bisa melindungi diri sekaligus melindungiku. Bahwa tidak ada yang lebih penting bagiku selain kebahagiaanku sendiri, dan mereka berjanji akan tetap baik-baik saja.
"Lagi pula, Raja tidak bisa melakukan apa pun kepadaku. Beliau sibuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan didampingi oleh adikmu. Iya, kan?"
Dongsun tersenyum, mengangguk. "Kau memang tidak perlu khawatir, Mike. Aku ada bersamamu, keluargamu ada bersamamu. Kita semua bahu-membahu membantu satu sama lain mendapatkan kebahagiaan, dan itu cukup. Lagi pula, meski Ayah tidak berpihak pada kita, kita masih punya ibuku. Dan kau harus percaya bahwa aku lebih memilih membuat Ayah marah daripada membuat Ibu marah. Beliau sangat menyeramkan."
Cara Dongsun mengucap kalimat terakhirnya sambil berbisik membuat Mike tersenyum geli. Ia mendekat untuk mendaratkan kecupan di bibir Dongsun, mengusak puncak kepala gadis itu dan mendaratkan kecupan hangat di keningnya.
"Aku bahagia memilih berani demi bisa bersamamu, Nona."
"Aku juga bahagia menjalani hidup bersamamu, Mike."
Mike kembali tersenyum hangat. "Kalau begitu, mari sekarang kita tidur. Bagaimana?"
"Oke. Selamat malam, Mike."
"Selamat malam, Cinta."
Karier Mike sebagai seorang produser musik semakin melejit akibat karya-karyanya yang selalu berhasil membawa artis memelesat menaiki tangga lagu. Terlepas dari berita yang meramaikan namanya, kariernya tetap berjalan mulus, bahkan menjadi lebih baik dengan banyaknya klien yang semakin berdatangan. Sedang Dongsun, ia juga mulai mengambil pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote. Dan dengan studio musik Mike yang turut dibuat di rumah tepi pantai mereka, keduanya jadi jarang terpisah. Rumah akan kosong apabila Mike dan Dongsun memiliki jadwal di luar rumahㅡseperti tuntutan terbang ke luar negeri akibat pekerjaanㅡyang mana jarang terjadi. Namun, siang itu rumah tepi pantai mereka kedatangan tamu, membuat kondisi yang biasanya hanya akan diisi oleh Dongsun dan Mike kini ketambahan dua orang. Sepasang suami istri paruh baya: Soojung dan Miyeong.
"What a lovely house!" puji Miyeong sambil menjelajah dan memperhatikan sudut-sudut rumah pantai yang Mike dan Dongsun perjuangkan berdua. "Dan wanginya... Semerbak bunga. Sebagaimana yang Dongsun suka!"
Dongsun tersenyum, meletakkan minuman dingin dan camilan di atas meja, di hadapan sang ayah yang sudah mengambil posisi duduk di atas sofa. Soojung yang melihat sang putri melakukan tugas pelayan lantas berdeham, pun mendelik tidak suka ke arah Mike, membuat senyum pemuda itu seketika luntur.
"Sebaiknya kita langsung duduk saja dan bahas maksud kedatangan kita kemari, Yeobo."
Ucapan sang raja membuat Miyeong meninggalkan kegiatan observasinya, melangkah sambil mengusap kelopak bunga anyelir di salah satu vas untuk duduk di samping suaminya, menghadap pasangan Mike dan Dongsun yang jelas-jelas tampak gugup.
"Sebenarnya, kedatangan kami kemari adalah untuk mengabarkan kalianㅡterutama kau, Dongsunㅡbahwa penobatan Mijeong sebagai putri Mahkota akan dilangsungkan dua minggu dari sekarang. Ayahmu sangat mengharapkan kehadiranmuㅡ"
Soojung menyikut Miyeong seperti anak kecil merajuk, membuat wanita itu menghentikan ucapannya dan berdeham.
"Maksudku, Mijeong sangat mengharapkan kehadiranmu sebagai kakaknya," ulangnya sambil melayangkan lirikan tajam ke arah sang suami, yang dengan santai menyesap limun dingin yang tersaji di atas meja.
"Wah, luar biasa. Akhirnya, setelah penantian kurang lebih satu tahun, Mijeong akan segera meresmikan statusnya di hadapan rakyat," ungkap Dongsun. "Tapi, apa hadir di depan rakyat Korea pada hari penobatan Mijeong adalah hal yang tepat bagiku, Bu? Kau tahu sendiri bagaimana kondisiku selama satu tahun terakhir. Tidak banyak yang bisa mengerti posisiku dan menghargai pilihaku. Lagi pula, apa kami sungguh boleh hadir apabila... Raja sendiri tidak suka apabila kami ada di sana?"
Pertanyaan terakhir Dongsun membuat Miyeong melirik Soojung dengan tatapan tajam. Seolah menuduh, seolah mengejek.
"Kau tidak dengar apa kata ibumu?" Soojung akhirnya bersuara setelah sedari datang memilih untuk bungkam. "Kau diharapkan hadir di istana untuk penobatan adikmu. Apa itu hal yang sulit untuk kau lakukan?"
"Setelah mendapat penolakan darimu, Ayah? Ya, itu hal yang sangat sulit untuk kulakukan," jawabnya, membungkam Soojung dengan rasa tidak nyaman.
"Kurasa kita semua tahu, apabila aku dan Mike datang menghadiri penobatan Mijeong, kami hanya akan dipermalukan dan jadi bulan-bulanan di sana. Tidak, Ibu!" Dongsun segera memotong begitu melihat Miyeong berusaha membantah ucapannya. "Meski kami datang ke sana demi keluarga, dan berada di tengah-tengah kalian yang juga adalah keluargaku, hal itu tetap tidak akan menutup adanya kemungkinan hal-hal yang kutakutkan. Namaku dan Mike tidak lagi diterima di Korea, Ibu. Apabila kami datang, kami hanya akan memperburuk keadaan. Dan aku tidak mau melakukan itu kepada Mijeong."
Dongsun menyampaikan segalanya dengan getir, dan Miyeong dibuat bungkam sambil menjilat bibir yang mendadak kering, paham akan apa yang anak sulungnya rasakan. Sementara Mike, pemuda itu meraih sebelah tangan Dongsun ke dalam genggaman lembut, berusaha menenangkan sang kekasih. Dan gerakan itu menyita perhatian Soojung yang kemudian berdeham.
"Baik, kalau itu memang maumu," ujarnya kemudian, membuat Miyeong berseru tidak terima. "Kalau kau tidak mau menghadiri acara penobatan adikmu, ya sudah. Yang jelas, aku dan ibumu sudah datang jauh-jauh ke Bali untuk menyampaikan undangan ini secara langsung kepadamu."
"Terima kasih banyak karena sudah mau repot-repot mendatangi kami ke Bali, Ayah. Kuyakin perjalanannya sangat melelahkan sampai-sampai membuatmu sangat kesal. Kuharap kalian bisa mendapat istirahat yang cukup supaya besok bisa menikmati keindahan Pulau Dewata ini."
Sarkasme Dongsun adalah apa yang mendorong Soojung untuk segera mengambil langkah pamit, diikuti oleh Miyeong yang dengan enggan mengekorinya.
"Itu bukan bagian dari rencana!" bentak Miyeong marah begitu ia dan Soojung masuk ke dalam mobil yang mengantar mereka kembali ke hotel. "Kau sudah berjanji untuk membuat kondisi di antara kau dan Dongsun membaik. Sekarang, kau malah membuatnya jadi lebih buruk dan putriku tidak mau menghadiri acara penobatan adiknya!"
"Bukan sepenuhnya salahku. Dia juga menyebalkan. Dan kau lihat bagaimana cecunguk itu menggenggam tangan putrimu?"
"Oh, demi Tuhan, Junnie. Berhentilah bersikap kekanakan!"
Omelan Miyeong hanya membuat Soojung semakin kesal. Pria itu berakhir duduk menyandari kursi, dengan kedua tangan terlipat di dada serta bibir yang mengerucut.
"Aku tidak mau tahu. Dongsun harus bisa hadir di acara penobatan Mijeong. Gunakan kuasamu untuk mengubah pandangan rakyat Korea terhadap putriku. Baru setelah itu aku akan bicara kepadamu."
"Kau mau ikut-ikutan melawanku sebagaimana dia? Yang benar saja, Yeobo!"
Namun, ketika Miyeong sama sekali tidak memberi respons, bertindak seolah Soojung tidak ada di sana dan sedang bicara kepadanya, lantas membuat sang raja menghela napas lelah. Otaknya seketika memikirkan cara.
"Kau kesal," tegur Mike.
"Tidak. Aku tidak kesal."
"Keningmu berkerut dan kau jadi lebih pendiam. Kau juga menghabiskan lebih banyak waktu bersama bunga-bunga anyelirmu ketimbang aku."
Dongsun seketika mengembuskan napas kasar, menghentikan kegiatannya merangkai bunga pada vas di dekat jendela. Ia memutar tubuh ke arah Mike, pun tanpa kata melingkarkan kedua tangan di pinggang pemuda itu dan menyandarkan kepala ke dadanya.
"Kedatangan Ayah sama sekali tidak terduga."
Mike ikut menghela napas, membalas pelukan Dongsun dan menyandarkan kepala di atas kepala gadis itu. "Aku juga tidak menyangka beliau akan datang berkunjung."
"Kukira, setidaknya Ayah akan datang untuk meminta maaf dan meminta kita semua untuk berdamai. Bahwa setidaknya beliau datang untuk mengingatkanku bahwa aku masih mempunyai seorang ayah. Tapi, sepertinya aku berharap terlalu tinggi dan menyakiti diriku ketika jatuh."
"Kita tidak pernah tahu isi hati orang lain, Dongsun. Ingat, kan?" tanya Mike lembut. "Mungkin, ayahmu datang kemari pun bukan untuk membuatmu kesal. Bisa jadi beliau salah mengambil langkah dan melakukan apa yang seharusnya tidak beliau lakukan; membuatmu semakin kesal dan merasa terpojokkan."
"Mungkin." Dongsun bergumam. Kemudian, ia menghela napas. "Entahlah. Yang jelas, aku tidak mau kembali ke Korea. Setidaknya, tidak sekarang."
Hari demi hari berlalu dan kebungkaman Raja Soojung tampak tidak akan melepaskannya dari rasa gundah.
Sejak pertemuannya dengan Dongsun hari itu, menemani sang istri untuk meminta kesediaan sang putri hadir di acara penobatan sang adik sebagai Putri Mahkota, Soojung tidak bisa berhenti memikirkan hubungannya dengan si putri sulung. Apa memang semuanya harus seperti ini? Apa sungguh ini yang Soojung cari; mendiamkan sang putri, menganggapnya sebagai orang luar, demi menghukum Dongsun atas tindakan yang telah gadis itu lakukanㅡmemilih bersama dengan Mike si rakyat jelata ketimbang menjalani hidup yang telah Soojung tetapkan untuknya? Namun, pada nyatanya sikap permusuhan yang ia tunjukkan juga tidak membuahkan hasil apa-apa, selain Dongsun yang ikut semakin gencar mendiamkan Soojung, tanpa sedikit pun tanda mau mengalah. Bahkan Mike dan gadis itu menjadi semakin mesra. Soojung memejamkan mata, menghela napas berat.
"Ayah?"
Di tengah kesendiriannya di tengah taman, Raja Soojung dikagetkan oleh kedatangan Mijeong, putri keduanya.
"Apa yang Ayah lakukan di sini?" Gadis itu mendekat, berdiri di samping sang ayah.
"Hanya berpikir." Soojung tersenyum tipis. "Apa yang kau lakukan di sini? Tidak menghabiskan waktu di perpustakaan?"
"Aku datang mencari udara segar," jawab Mijeong.
Kemudian, hening menyapa mereka. Mijeong membiarkan udara sejuk taman menyegarkan tubuhnya. Lalu, ia kembali mengeluarkan suara, menanyakan hal yang sudah menjadi pertanyaannya sejak Soojung dan Miyeong kembali dari Indonesia tanpa Dongsun.
"Jadi, Unni tidak akan datang ke acara penobatanku?" tanyanya.
Soojung menggeleng sendu. "Maafkan aku, Nak. Ayah dan Ibu sudah berusaha membuat kakakmu kembali. Dia yang menolak ajakan itu."
"Aku mengerti. Lagi pula, berat rasanya menjadi Dongsun Unni. Apabila kembali ke Korea, dia tidak hanya akan mendapat penolakan dari rakyat, melainkan dari keluarganya sendiri."
Ujaran itu seketika membuat Soojung menoleh dengan alis bertaut. "Apa maksudmu? Dongsun tidak mendapat penolakan dari keluarganya."
"Kalau begitu, aku salah bicara." Mijeong menampilkan senyum tipis yang entah mengapa terasa mengintimidasi. "Dia akan mendapat penolakan darimu, Ayah. Orang tuanya sendiri."
"Apa yangㅡ"
"Sejak Dongsun Unni memilih apa yang menjadi pilihan hidupnya, Ayah tidak menunjukkan dukungan sedikit pun. Ayah terus memberi Unni hukuman hanya karena dia tahu apa yang dia inginkan, dan segala keinginan itu bertentangan dengan pilihan Ayah. Sebenarnya, situasi ini cukup lucu buatku. Ayah bilang Ayah sayang pada Unni, tapi yang Ayah lakukan sejak Unni kecil hanyalah membuatnya menjalani hidup sebagaimana standar Ayah, hingga pada titik di mana dia lebih terlihat seperti boneka ketimbang anak. Sungguh sosok seperti itukah yang Ayah inginkan menjadi Ratu Korea? Sosok seperti boneka?"
"Mijeong!" Soojung tidak tahu apa yang ia rasakan atas segala kalimat menyudutkan itu. Sedih? Marah? Soojung lebih merasa kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri sebab tidak hanya satu dua orang yang menganggapnya menjadikan Dongsun sebagai boneka, melainkan hampir semua orang. Soojung mulai sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini sejatinya menyiksa Dongsun.
"Berdamailah dengan Unni, Ayah. Berdamai jugalah dengan diri Ayah. Aku tidak tahu apa yang dulu pernah terjadi kepadamu, tapi aku yakin kau tidak akan menjadi dirimu yang seperti itu. Kau adalah ayah yang baik bagiku, maka jangan ubah persepsi itu dariku. Kau juga harus menjadi ayah yang baik bagi Unni, Yaera, serta Jira. Jadi kumohon, berdamailah."
Ujaran Mijeong membuat Soojung berpikir, bahkan beberapa hari setelahnya. Ia gundah, takut akan anggapan Dongsun apabila ia kembali menampakkan diri di hadapan gadis itu. Soojung juga takut maafnya kali ini sudah tidak bisa diterima. Namun, Miyeong dan Mijeong benar, ia harus memperbaiki situasi di antara dirinya dan Dongsun. Mungkin, rencana yang telah Soojung susun untuk masa depan Dongsun bukanlah yang terbaik bagi gadis itu. Yang terbaik bagi si sulung adalah pilihannya saat ini; menjadi bersama Mike.
Mike dan Dongsun kembali mendapat kunjungan mendadak dari Raja Soojung. Kali ini, pria itu tidak didampingi sang istri. Penampilannya juga tidak setegas dan semengancam sebelumnya. Soojung cenderung muncul sebagaimana adanya, sebagai sosok ayah yang tidak Dongsun kenal sebelumnya.
"Ada apa, Ayah?" tanya Dongsun yang malam itu menghadap sang raja di ruang tengah, bersama beberapa kudapan ringan di atas meja yang memisahkan mereka. "Apa yang membuat Ayah datang malam-malam kemari?"
"Di mana Mike?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang putri, sang raja malah mengajukan pertanyaan lain yang sejenak membuat Dongsun bingung.
"Dia sedang di studio, mengurus beberapa kerjaan. Kenapa?"
Raja Soojung tidak segera menjawab. Pria itu lantas meraih secangkir teh di atas meja, menyesap isinya, berharap hangat cairan itu mampu sedikit menenangkan dirinya yang dibalut rasa gugup. Bagaimanapun, ini bukanlah hal yang biasa Raja Soojung lakukan; merendahkan diri di hadapan sang putri.
"Apa kau bahagia bersamanya, Nak?" tanya Soojung kemudian.
Lagi-lagi, pertanyaan itu mengejutkan Dongsun hingga sejenak ia tidak tahu bagaimana caranya menjawab.
"Ya, aku bahagia," jawab Dongsun usai sanggup menguasai diri.
"Sungguh?" tanya Soojung tak percaya. Matanya memperhatikan setiap sudut rumah sederhana yang lebih banyak didominasi bunga-bunga segar itu. "Kau bahagia hidup bersamanya bahkan apabila harus tinggal di rumah sekecil ini?"
Alih-alih merasa tersinggung, Dongsun lantas menampilkan senyuman. "Itulah yang tidak kau mengerti, Ayah...."
"Kalau begitu, buat Ayah mengerti. Buat Ayah benar-benar mengerti apa yang Mike miliki, apa yang bisa pemuda itu berikan kepadamu, sesuatu yang tidak bisa kuberikan untukmu sehingga membuatmu dengan lapang dada menerimanya dan melepas segala kemewahan yang dulu kau miliki demi bisa hidup seperti ini."
Dengan itu, Dongsun pun mulai menjelaskan. "Dengan senang hati, Ayah," ujarnya.
Ia pun menjelaskan bagaimana Mike yang sederhana sanggup membuatnya merasa luar biasa. Dongsun pertama kali mengenal Mike melalui karya-karyanya selama masih menjadi anggota Justease, betapa lagu-lagunya sanggup membuat Dongsun kembali bangkit setelah hari yang membuatnya selalu ingin berhenti. Ia juga menyebutkan betapa Mike adalah sosok pemuda yang manis, yang selalu mendengar apa mau Dongsun, selalu mengusahakan segala yang bisa diusahakan demi kebahagiaan Dongsun dan mereka berdua. Dan betapa Mike selalu tahu caranya menenangkan Dongsun, meredakannya dari amarah, atau membuatnya tertawa lepas. Mike mengajarkan Dongsun untuk hidup selayaknya manusia pada umumnya, dan nasib yang sama di antara mereka menjadikan keduanya sebagai sosok yang sanggup memahami satu sama lain.
"Dan di matanya, aku juga sama. Aku adalah sosok yang mencintainya, sebagaimana dia adalah sosok yang mencintaiku. Dan itu semua, Ayah, adalah sesuatu yang mahal. Memiliki pasangan yang bisa mencintai, menerima, dan menghargai keberadaan kita adalah sesuatu yang langka. Dan aku bersyukur bisa menemukannya. Aku tidak berniat untuk melepaskan Mike. Tidak akan."
Penjelasan panjang Dongsun membuat Soojung sejenak bungkam dengan hati yang terasa hangat, juga lega. Tidak ada lagi amarah yang bersarang di sana, tidak ada lagi rasa khawatir dan curiga. Mike tidak pernah berusaha mencuri Dongsun darinya, pemuda itu hanya mengarahkan Dongsun ke kehidupan yang memang gadis itu butuhkan. Kini, ketika Dongsun menjelaskan segalanya dengan lembut kepada Soojung, dan ia yang membuka hati dan pikiran untuk menerima segala penjelasan itu, Soojung sadar bahwa konflik yang memisahkan mereka hanyalah perkara kesalahpahaman. Selama ini, Soojung tidak mengarahkan Dongsun kepada kebahagiaan, dan ia lega Mike muncul untuk menyadarkan mereka berdua.
"Maafkan Ayah," ucap Soojung kemudian. Kelopak matanya berkedip-kedip menghalau air mata. "Maafkan Ayah karena membutuhkan waktu cukup lama untuk mengerti semuanya. Maafkan Ayah yang sudah banyak menuntut kepadamu, Dongsun. Ayah tidak sadar itu semua. Ayah tidak sadar kalau Ayah... salah."
Dongsun tertawa, melepaskan rasa sesak di dadanya bersama air mata yang telah lebih dulu mengalir di pipinya. Tanpa kata, ia berpindah ke sebelah sang ayah, memeluk leher pria kepala lima itu.
"Terima kasih, Ayah," bisiknya. "Terima kasih sudah mau mengerti."
Soojung mengangguk, menepuk-nepuk lembut lengan sang putri.
"Sekarang, bisa tolong kau panggilkan Mike? Ada beberapa hal yang ingin Ayah sampaikan kepadanya."
Malam penobatan Lee Mijeong sebagai Putri Mahkota Kerajaan Korea pun dilaksanakan. Tidak hanya para tokoh berpengaruh Korea yang menghadiri malam itu, melainkan juga seluruh rakyat.
Mijeong duduk gugup di singgasananya yang berada di samping sang ayah, sementara mata menyaksikan setiap wajah baru yang melangkah memasuki pintu ganda aula, menghadiri acaranya.
"Jangan gugup," tegur sang ayah saat mendapati Mijeong yang duduk tegang. "Kau bisa melalui malam ini dengan baik."
"Kuharap begitu," respons Mijeong. "Rakyat kita sangat pemilih, andai Ayah tahu."
Soojung tersenyum mendengarnya. "Lalu, apa yang akan membuatmu merasa lebih baik?"
Mijeong menghela napas. Korsetnya mulai terasa sesak dan ia pusing. "Entahlah," desahnya. "Kehadiran Dongsun Unni, mungkin?" Ia mengatakannya dengan cara menyampaikan hal yang mustahil.
Soojung lantas semakin mengembangkan senyuman, membuat Mijeong meliriknya gerah.
"Apa?" tanyanya.
Sang raja tidak segera menjawab, matanya melirik ke arah pintu ganda aula, tempat sepasang kekasih melangkah masuk dalam balutan pakaian menawan mereka, menyita perhatian semua orang dalam ruangan. Selayak terhipnotis, semua orang mulai membuka jalan untuk mereka.
"Nah, sekarang berhentilah gugup. Kakakmu sudah di sini."
Dengan itu, Mijeong menolehkan kepala ke arah pintu masuk, mendapati Mike dan Dongsun yang melangkah sambil bergandengan tangan ke arah mereka. Sang ratu menampilkan senyum lebar, menatap sang suami dengan mata berbinar. Sementara Yaera dan Jira, keduanya tidak lagi memedulikan etiket kerajaan dan memilih untuk menjerit dan turun dari singgasana di samping sang ibu demi menghampiri sang kakak dengan kekasihnya, memeluk erat mereka. Mijeong hampir melakukan hal yang sama apabila Ratu tidak menahannya.
"Nanti, Sayang. Sabar," pinta Miyeong lembut, meski ia sendiri kesulitan menahan gejolak untuk segera memeluk putri sulungnya.
Setelah kehebohan yang sejenak tercipta akibat kedatangan tak terduga Dongsun dan Mike, acara kembali kondusif saat Yaera dan Jira berhasil digiring kembali ke singgasana mereka, dan Dongsun mendapatkan singgasananya di samping sang ibundaㅡsinggasana yang dulunya milik Mijeong. Mike berada bersama kerumunan, berkumpul bersama teman-teman Dongsun dan kekasih mereka masing-masing sambil memegang segelas anggur putih di tangan.
"Dengan ini, acara penobatan Putri Mijeong sebagai Putri Mahkota Kerajaan Korea dilaksanakan," umum pembawa acara.
Dongsun pernah memikirkan beragam reaksi yang akan ia tunjukkan ketika melihat sang adik menduduki kursi kekuasaan yang semula adalah miliknya. Ia pernah membayangkan dirinya merasa malu, kesal, iri, lega, bahkan biasa saja. Namun, apa yang ia rasakan kini, ketika melihat sang ayah dengan bangga meletakkan tiara lambang Putri Mahkota ke kepala sang adik, yang bisa Dongsun rasakan adalah kebanggaan tiada akhir. Ia bangga pada Mijeong karena berhasil mencapai tahap ini, adiknya yang manis. Ia bangga pada sang ayah yang terlihat lebih ikhlas menerima segalanya, termasuk fakta bahwa anak keduanyalah yang menduduki posisi sebagai penerusnya. Dongsun juga bangga bahwa ia tidak melepas status Putri Mahkota itu dengan sia-sia, ia mengganti status itu dengan sesuatu yang lebih baik; kebahagiaannya.
Di tengah rasa bangga itu, juga riuh tepuk tangan semua hadirin di aula, mata Dongsun bertemu dengan Mike di tengah kerumunan. Dongsun tersenyum lebar, membalas senyum lembut pemuda itu. Pemuda yang adalah cintanya, pemuda yang menjadi salah satu bagian di kehidupan barunya yang lebih bahagia.
Setelah segalanya, setelah segala kesulitan yang menerpa, Dongsun kini paham. Semuanya menjadi terasa luar biasa. Semuanya pantas dan sesuai.
Semuanya selesai.
"Kalian tidak akan tinggal?" tanya Mijeong begitu acara selesai. Hanya ada keluarga mereka yang tersisa di aula, sementara para hadirin telah lama pergi begitu acara ditetapkan usai.
Dongsun dan Mike sejenak saling pandang, lalu bertukar senyuman.
"Kurasa kami akan pulang," jawab Dongsun kemudian.
"Tidak mau bermalam di sini dulu? Ayah bisa meminta pelayan untuk menyiapkan kamar kalian."
Keterbukaan Ayah atas hubungan mereka masih membuat Dongsun belum cukup terbiasa. Ia menunduk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan wajah yang merona.
"Terima kasih, Ayah. Tapi, sudah ada pesawat yang menunggu kami."
Jawaban Dongsun membuat keluarganya bersedih, tetapi Mike yang menyadari itu segera memberi jawaban yang akan membuat mereka semua tenang.
"Kami akan kembali," ujarnya. "Kami akan kembali ke Korea lagi. Apabila bukan besok, maka lain kali. Tapi yang pasti, kami berdua akan kembali. Untuk sekarang, kami akan pulang ke rumah milik kami berdua." Ia mengucap kalimat terakhir sambil menatap Dongsun, bertukar senyuman hangat.
"Dan akan kupastikan, begitu kalian kembali kemari, kalian akan disambut rumah yang paling hangat," ujar Mijeong.
"Thank you, Sis." Dongsun menggenggam tangan sang adik dengan lembut.
Miyeong yang melihatnya tersenyum. Sang ratu kemudian melangkah maju untuk merengkuh tubuh Dongsun ke dalam pelukan.
"Berjanjilah pada Ibu kau akan baik-baik saja, Sayang," ucapnya. Tanpa melepas pelukan, Miyeong melirik Mike di belakang sang putri. "Dan kuharap kau tidak akan berhenti mengusahakan kebahagiaan bagi kalian berdua, Mike. Kuserahkan putriku kepadamu, tapi apabila kau berani macam-macam, ada satu kerajaan yang siap untuk memenggal kepalamuㅡ"
"Ibu!" Dongsun seketika melepas pelukan untuk mendelik ke arah sang ibu, membuat wanita itu tertawa.
"Kenapa?" tanya Miyeong tanpa dosa.
Soojung ikut tertawa. "Jangan khawatir, Dongsun. Apa yang ibumu katakan benar. Mike," ia menatap Mike, "jaga lehermu baik-baik, ya?"
Candaan itu lantas membuat ketiga putri tertawa dan Dongsun merengut tidak suka.
Setelahnya, pasangan kasmaran itu pun meninggalkan istana bagai dua kekasih yang melarikan diri dari pesta. Gaun putih Dongsun berkibar di belakangnya seiring langkah berlari mereka keluar dari gedung istana.
"Pelan-pelan!" pekik Dongsun, mengejar Mike.
"Oh, ayolah, Nona Pelari Cepat! Jangan gentar!"
"Mike!"
Dongsun yang sedikit meringik membuat Mike tertawa. Ia lantas memelankan laju lari, membuat gadis itu mencapainya, sebelum dengan serta-merta ia angkat ke dalam gendongan. Dongsun memekik terkejut, tetapi keduanya berakhir tertawa, melepas kebahagiaan ke langit malam. Dan di salah satu jendela istana, ada Soojung dan Miyeong yang memperhatikan kepergian mereka dengan senyum terkembang.
"Mereka terlihat sangat bahagia," ucap Miyeong.
Soojung menyetujui. "Sangat bahagia. Aku menyesal tidak merestui mereka sejak lamaㅡoh!"
Adegan ciuman Dongsun dan Mike seketika menghentikan ucapan sang raja. Wajah pria itu memerah, dan ia siap menghampiri pasangan itu apabila Miyeong tidak menahan tangannya agar tetap berada di sisinya.
"Sudah, sudah. Biarkan mereka melakukannya. Biarkan mereka jatuh cinta dan menciptakan rumah untuk berdua, sebagaimana kita dulu."
Miyeong bergerak mendekat, meraih tengkuk sang suami. "Benar begitu, Junnie?"
Dan Soojung seakan dibawa kembali ke beberapa tahun silam, ketika ia dan Miyeong masihlah dua remaja yang dimabuk cinta pada awal pernikahan mereka. Dengan senyum mengembang, ia lantas melingkarkan kedua tangan ke pinggang sang istri.
"Sebagaimana kita dulu, hm?" tanyanya dengan sedikit nada menggoda.
Miyeong mengangguk. "Sebagaimana kita dulu."
Dan baik sang raja maupun ratu saling mendekatkan wajah sebelum menyatukan bibir mereka, sebagaimana Mike dan Dongsun yang berciuman di bawah sinar rembulan, membagi cinta dan menciptakan bahagia di tengah rumah berdua.
=== TAMAT ===