Work Text:
Mungkin dia terlalu muda untuk mengerti. Terlalu muda untuk mengerti bahwa sekolah ada masa-masa terindah seseorang alami di hidup mereka.
Mungkin saja.
Sekolah hari ini jalan seperti biasa. Meskipun dia sering lupa jadwal pelajaran, dia selalu fokus. Entah motivasinya apa, fokus di hadapannya apa yang dia pikirkan. Definisi “head empty, no thoughts,” orang-orang biasanya bilang hari-hari ini.
Masalahnya, dia ada thoughts. Pikiran. Selain sekolah yang sedang dia injakan kaki disini.
Dia bingung, kenapa dia punya pikiran begini? Ini sekolah! Yang dia harus pikirkan adalah tugas! Pelajaran! Study!
Staff pembersih sekolah berteriak, “Hei, kamu udah dijemput?”
Dia tak menjawab.
Dia akhirnya mengambil tas dia dan memutuskan meninggalkan kertas bercoret-coret warna di dalamnya.
Kebanyakan berwarna merah, penuh dengan gambar-gambar kecil dan kata-kata manis, sampai akhirnya satu pulpen berusaha menghapus semua itu dengan satu coretan besar yang melingkari setiap ujung kertas sampai ia akhirnya mendapatkan robek besar. Seperti luka yang takbisa diperbaiki lagi.
Tak seorang pun dapat melihat keindahan kertas tersebut, hanya kotor, berantakan, dan kata-kata manis digantikan dengan kata-kata negatif, besar dan warna menonjol daripada keseluruhan kertas tersebut.
Jiwa mencoba melupakan itu semua. Hati tidak setuju, sepertinya.
Hati berteriak, “Aku tak mengerti! Kenapa aku tidak suka semua ini?! Kenapa aku tidak suka melakukan hobiku lagi?! Padahal sekolah ini susah masuknya, seharusnya aku berbangga disini! Padahal hobi itu seharusnya hal yang menyenangkan! Tanpa itu semua, aku apa?! Aku apa?! Orang bodoh?! Orang tanpa bakat?!”
Jiwa tak menjawab dari lelah berpikir.
Tubuh juga lelah. Dia lelah.
Mungkin kalau hujan tidak turun deras pada saat itu, mungkin dia bisa beristirahat, di kamarnya yang sangat lembut dan nyaman itu.
Dia benci hujan. Kalimat aneh. Dia tak pernah benci hujan. Hujan seharusnya adalah sesuatu yang membawakan rasa tenang.
Malah, dia merasa sendirian dan dingin dalam gedung itu. Angin mulai berulah lagi, bersepoi-sepoi dengan sekencang tenaga ia punya.
“Nunggu jemputan, dek?”
Dia lelah dalam kedinginan hujan. Dia tak menjawab. Sepertinya seorang satpam penjaga.
“Dingin hari ini, bapak bisa buatin teh untuk adek.”
Mungkin.
Bapak itu terkekeh, “Kalau gak mau… kopi ada, tapi murid seperti kamu kayaknya jangan deh…”
Mungkin. Mungkin hari ini dia menjawab.
“Kopi,” dia bilang. Suaranya sangat rendah dan hampir menyerupai bisikan.
“Hm?” Bapak itu bingung, tapi langsung mengeluarkan senyum halusnya. “Cappuccino hangat gak papa?”
Dia mengangguk. Dia akhirnya meminum kopi hangat dengan bapak itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mereka.
Mungkin kopi adalah hobinya sekarang.