Work Text:
Kacau.
Seharusnya misi tadi tidak berjalan seperti apa yang terjadi semalam. Piko menatap nanar gumpalan-gumpalan kain merah di lantai kamar mandi penginapan yang menjadi saksi bisu akan luapan emosi yang ia tuangkan tak lama sebelumnya.
Misi ini seharusnya mudah. Distraksi sang putra bupati lalu rayu Ia ke dalam dekapan Illahi dengan sayatan pisaunya. Namun, ada saja hambatan yang datang kala si Subiakto ingin melancarkan aksinya.
Aku sampai tidak sempat pulang karena keparat-keparat ini.
Ah, ya.
Dirinya terperanjat akan interupsi dalam benaknya. Seketika, terbesit wajah berbinar para pangeran-pangeran mungilnya, dengan senyuman lebar dan jenaka yang selalu mereka bawa kemanapun kaki mereka melangkah. Malam ini, Piko gagal untuk menghabiskan waktunya untuk bersenda gurau dengan mereka, dan berbagi suapan masakan hangat yang pastinya sudah disiapkan oleh sang suami—
Ah, satu lagi.
Piko Subiakto sudah bukanlah sekadar bujang kesepian yang melukis seni di siang hari dan mencabut nyawa di malam hari. Kini, Ia adalah suami sah dari seorang pria rupawan yang tak sengaja ia temui di tengah harinya saat bekerja di studio. Yusuf Hamdan namanya.
Entah datang dari mana lelaki jangkung dengan paras menawan itu. Namun, Piko percaya, dewi fortuna sedang berbaik hati di kala matanya bertemu dengan milik sang lelaki dari seberang ruangan. Saat itu juga, Ia tahu bahwa segala masalah hidupnya akan bisa terselesaikan dengan hadirnya Yusuf dalam hidupnya.
Tak hanya itu, dunia nya pun seakan terjungkir balik ketika sesosok manusia kecil datang tanpa permisi untuk memeluk erat kakinya, dan berkata kepada sang tuan, “Ayah, aku ingin punya Papa!” dengan mata berbinarnya yang menatap legam Piko begitu kuat.
Sejak hari itu, dunianya yang dulu kelabu bagaikan terciprat warna dari jutaan palet cat di studio lukisnya. Tak ada lagi malam-malam sepi di bilik kamarnya yang nestapa. Hanya ada tawa, remah fullo berserakan di sofa, dua mungil kesayangannya, dan bisikan lembut di telinga;
Mau makan apa malam ini?
Piko Subiakto sudah bukan hanyalah seorang pemalsu lukisan handal dan pembunuh bayaran. Dirinya yang sekarang adalah Piko Subiakto si pelukis dan pemilik toko peralatan seni, suami dari Yusuf Hamdan si konsultan keuangan, dan Papa dari dua jagoan mungil pecinta drama aksi mata-mata dan renyah fullo —Gofar dan Tuktuk.
Dihapuskannya noda terakhir dalam sekujur badan si lelaki bersurai panjang. Tangannya mengambil pita hitam yang biasa ia gunakan untuk mengikat gerai rambutnya ke dalam simpulan manis yang sehari-hari Ia pakai. Pantulan cermin di bawah remang rembulan sudah tidak lagi menangkap siluet The Forger —sang pembunuh handal, juru dalam memalsukan tempat perkara, seolah tidak ada peristiwa keji yang barusan terjadi. Kini, hanya ada Piko Subiakto dan kacamata hitamnya yang bertengger manis di lengkung hidungnys, tanpa balutan palsu yang menutupi pesona asli sang maestro.
“Papa pulang!”
Suara gaduh langsung terdengar dari arah lorong, diikuti dengan teriakan, “Tuktuk, Gofar, jangan lari!” yang hanya disambut dengan kekehan dan pekikan khas anak-anak. Piko tersenyum, dan bersiap merentangkan tangannya ketika dua tubuh mungil menabrakkan diri ke dalam rengkuhannya.
“Papa pulang! Gofar kangen! Papa Kemana aja? Papa udah makan belum?”
Rentetan pertanyaan tertumpah ruah dari bibir si sulung, keningnya mengerut khawatir walaupun senyum lebar tetap terpatri di wajah gembilnya. Sang adikpun ikut mengangguk-anggukan kepalanya, mengamini pertanyaan sang kakak.
“Papa ada urusan sama rekan kerja, jadi semalam Papa harus lembur di studio. Papa minta maaf ya, nggak bisa makan malam sama kalian..” Piko memasang wajah memelasnya yang paling ampuh untuk meyakinkan dua mungilnya yang cerdas.
“Emang Papa ada urusan apa sama orang itu?” tanya Tuktuk sembari mengusapkan wajahnya pada leher sang Papa.
“Urusan mengenai suatu lukisan yang Papa jual, ada kesalahan yang harus diperbaiki Papa malam itu juga.”
Urusan kematian, lebih tepatnya sih.
Gofar dan Tuktuk sontak membelalakkan mata mereka kala mendengar isi pikiran sang Papa.
“Papa nggak apa apa kan?! Nggak sakit? Nggak luka?” teriak Tuktuk dengan khawatir. Sebelum Piko bisa menjawab pertanyaan si bungsu, sebuah suara menginterupsi balasannya.
“Tuktuk, Gofar, Papanya jangan dipeluk terus di depan pintu. Ayo masuk, Papa pasti mau istirahat dulu,” suara merdu sang suami terdengar dari ujung koridor. Disana, berdirilah ia dengan apron yang memeluk tubuhnya, sembari tangannya memegang sebuah wajan berisi nasi goreng yang masih mengepul panas.
“Oh iya! Maaf, Yah. Habisnya abang dan adek kangen sama Papa!” ujar Gofar dengan cengiran lebar bertengger di bibirnya.
Pasangan Papa dan anak itupun akhirnya beranjak dari beranda, kaki mereka melangkah masuk ke area tengah rumah dimana roma semerbak masakan dari arah dapur segera menghampiri indra penciuman masing-masing.
Ah, ternyata begini rasanya pulang ke rumah.
Tuktuk hanya bisa tersenyum sendiri ketika Ia lagi-lagi mendengar isi hati sang Papa, sebab dirinya pun masih terpana akan hangatnya sebuah keluarga.
“Piko, Gofar, Tuktuk, ayo kita makan dulu. Ayah sudah buatkan Nasi Goreng spesial untuk kalian,” tanpa basa-basi, dua anak itu langsung cekatan mengisi piring mereka dan serentak berucap, “terima kasih, Yah!”
Tersenyum, si lelaki Hamdan pun mengalihkan atensinya terhadap sosok yang baru menjatuhkan raganya pada kursi di seberangnya. Ditatapnya lekat sang pelukis, hingga Ia tak sengaja melihat sebuah goresan kecil di pipinya.
“Piko, kamu nggak apa-apa? Kenapa disini ada luka?” beranjaklah Ia dari tempatnya semula, kaki panjangnya Ia bawa ke samping Piko dengan segera, sembari tangannya terulur untuk mengusap pipi pria di hadapannya.
Yang ditujukan atensi justru terperanjak kaget, matanya terbelalak dan buru-buru Ia tundukkan kepalanya, seolah ingin menghindar dari tatapan lekat satu ruangan.
“Ah ini… nggak apa-apa kok, hanya tak sengaja tergores sesuatu saat di studio,” tangan yang semula di pangkuannya Ia angkat untuk mengusap luka kecil di pipinya seraya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga. Tapi, Yusuf justru menyadari hal lain dalam diri sang suami.
Ditariknya tangan yang semula melayang, dan ia genggam erat untuk ia inspeksi—karena bagaimana mungkin luka kecilnya bisa tersebar segini banyak pada tangan cantiknya?
Netra Piko tambah melebar akan aksi dadakannya. Ia berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Yusuf. Namun, tatapan Yusuf seakan mengunci pergerakannya.
“I-itu.. Kemarin ada kecelakaan kecil di studio, jadi tanganku ikut tergores sana sini. Sungguh, ini bukan hal yang serius kok, Mas. Hanya luka kecil..” ucapnya dengan wajah yang ia buat semeyakinkan mungkin, walau Yusuf terus mencari jejak kebohongan dalam netra ‘pasangan hidupnya’.
Semalam.. Tidak ada suatu hal serius yang terjadi di tempat kerjanya, kan? Bisa bahaya kalau sampai penyamaranku terbongkar karena ulah cerobohnya di tempat kerja.
Gofar dan Tuktuk yang semula hanya menyimak perbincangan ‘orang tua’ mereka seketika siaga setelah mendengar pikiran sang Ayah.
“Oh.. ya sudah kalau begitu. Lain kali lebih hati-hati lagi ya, Piko. jangan sampai kamu terluka seperti ini lagi,” ujar Yusuf dengan lembut. Walupun dalam benaknya, terbesit kekhawatiran yang tidak mau sirna.
“Iya, Mas. Aku janji akan lebih hati-hati lagi.”
Untung dia tidak menanyakan lebih lanjut.. Bisa bahaya kalau sampai ia tahu apa pekerjaan asliku.
Tatapan Tuktuk segera terpaku pada kelam gelap sang Abang. Mendadak ia takut akan apa yang terjadi jika sampai rahasia mereka semua terungkap di bawah sinar dunia. Ia gelisah, ia tidak mau sampai kehilangan keluarga kecilnya—yang walaupun palsu—tetaplah sebuah anugerah terindah yang pernah ia miliki di sepanjang hidupnya yang masih seumur jagung.
Gofar menatap adiknya, gengamannya memberikan rematan pada jalinan tangan kecil mereka di bawah meja. Wajahnya ia luruskan, tatapannya ia teguhkan, memberikan penenang hati pada sang adik.
Semua akan baik baik saja.
“Gofar, Tuktuk, ayo dimakan lagi sarapannya. Kita sudah mau telat untuk berangkat sekolah, lho,” ucapan sang Ayah membuyarkan segala ringsut benak mereka. Tuktuk pun segera memasang senyuman manis andalannya untuk mencairkan suasana.
“Iya, Ayah!”
Tanpa mereka semua tahu, ada secercah distraksi yang kian melebar dalam naungan rumah tangga kecil mereka. Pasalnya, tipu muslihat mana yang akhirnya tak terungkap di ujung hari?
Jangan sampai mereka tahu akan rahasiaku.