Work Text:
28 Oktober 2015
"Jungkook! Bangun!" Jimin mendesis seraya melemparkan pukulan kecil ke lengan pria di sampingnya, melihat ke arah guru yang sedang menjelaskan tentang proses tumbuhan berfotosintesis.
Jungkook pun tak kunjung terbangun dari tidurnya, bahkan tidak bergerak sedikit pun dari posisinya yang menempatkan tangannya di atas meja sebagai bantalan untuk kepalanya.
Tidak lama setelah itu tiba-tiba suara yang cukup kencang terdengar dari arah depan kelas yang ternyata bersumber dari Mrs. Lee. "Jeon Jungkook! Keluar dari kelas saya!" Suara Mrs. Lee yang menggema ke seluruh ruangan kelas lantas akhirnya membuat Jungkook bangun dari alam mimpinya.
Jimin hanya bisa menundukkan kepalanya mendengar temannya lagi-lagi ditegur oleh guru yang paling galak di sekolah. Ia hanya dapat melirik sesekali ke arah Jungkook dan mendapati Jungkook membereskan peralatan tulisnya ke dalam tas lalu beranjak dari kursi untuk meninggalkan ruangan setelah melontarkan kata maaf kepada sang guru.
Jimin hanya bisa menghela napas panjang.
Jimin dan Jungkook.
Sepasang sahabat yang dipertemukan saat masa orientasi sekolah. Perkenalan mereka cukup simple, digabungkan dalam kelompok orientasi yang sama dan melakukan perkenalan antara satu sama lain. Lalu, mereka berdua ternyata di tempatkan di kelas yang sama pula menjadikan pertemanan mereka bertahan hingga di tahun terakhir mereka di sekolah ini, sebelum melanjutkan ke tingkat SMA.
Setelah jam belajar selesai Jimin berjalan ke tempat yang hanya dirinya yang tahu di mana Jungkook berada. Perpustakaan lantai 2 tepat di jajaran rak buku sejarah. Jungkook pasti melanjutkan tidurnya di sana.
Benar saja, ia menemukan Jungkook yang sedang mengusap mukanya, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur.
Jungkook menoleh ke arah Jimin berdiri dan tersenyum hangat kepadanya.
"Jimin." Jungkook memanggilnya dengan suara serak. "Jangan marah-marah ya, tadi aku ngantuk banget," kata Jungkook dengan menunjukkan muka lelahnya.
Jimin menghampirinya dan duduk di kursi sebelah Jungkook.
"Makanya jangan main game terus dan lupa sama PR, aku baca pesan kamu minta tolong soal PR Sains jam 12 malam. Aku udah tidur jam segitu, maaf ya." Jimin melontarkan omelan sekaligus permintaan maaf membuat Jungkook terkekeh. Menurutnya perlakuan itu sangatlah Jimin.
"Kamu ngomelin aku sambil minta maaf gini. Gimana aku mau anggap kamu serius," ledek Jungkook yang berbuah sebuah pukulan di lengannya. "Ampun-ampun! Iya-iya enggak diulangi lagi main game sampai malamnya."
Sontak Jimin berdiri lalu berjalan meninggalkan Jungkook, tetapi ia tahu Jungkook tergesa-gesa mengikutinya dari belakang.
"Tungguin Jimin!" Panggil Jungkook sambil berlari menghampiri Jimin. "Jajan ramyeon yuk, di pochajjang dekat rumah," ajak Jungkook sambil merangkul pundak Jimin.
Rumah mereka memang berdekatan dan di sana ada tenda ramyeon yang sering mereka kunjungi setelah jam sekolah usai.
"Ayo! kamu yang bayar, ‘kan?" tanya Jimin sambil menoleh ke arah Jungkook dengan senyum manisnya yang ia tahu bahwa itu kelemahan Jungkook.
"Iya, siap!" See? Kelemahan Jungkook.
28 Oktober 2017
"Jimin! Jungkook! Di sini!"
Setelah mendengar ada yang memanggil mereka, Jimin dan Jungkook pun menghampiri sumber suara tersebut yang ternyata berasal dari kedua ibu mereka yang sedang memandang keduanya dengan senyum merekah di wajah.
"Congratulations anakku sayang!" ucap ibu Jimin seraya merangkul kedua anak muda itu.
"Terimakasih banyak, Imo," jawab Jungkook.
"Selamat ya sayang, terlebih untuk Jimin. Cieee murid terbaik di angkatan." ibu Jungkook memeluk Jimin erat.
"Ah, Eommonim … terima kasih banyak," ucap Jimin malu.
"Coba Jungkook bisa seperti Jimin, mungkin nanti pas mencari sekolah di Seoul akan mendapatkan sekolah yang bagus," canda ibu Jungkook yang mendapatkan tawa dari ibu Jimin.
Jimin memandang mereka dengan bingung. Seoul? Ia alihkan pandangannya ke Jungkook yang sekarang telah menatap ke arah sepatunya, seperti tidak berani menatap Jimin.
"Seoul?" Tanya Jimin.
"Iya, Jungkook belum beri tahu Jimin, ya? Kita akan pindah ke Seoul esok hari dikarenakan Appa Jungkook akan mengembangkan perusahaannya yang baru saja dibangun di sana. Jungkook! Kamu kenapa belum beri tahu Jimin?"
Jimin hanya bisa mematung di tempat. Esok hari?
"Rencananya mau kasih tahu hari ini," Jawab Jungkook lirih sembari menatap Jimin dengan penuh penyesalan.
Jimin menyembunyikan rasa sakitnya dan tersenyum kecil kepada Jungkook.
"Good luck ya, di Seoul."
"Jimin! Ada Jungkook!" teriak ibu Jimin dari lantai bawah.
Sekarang jam 7 malam, memang bukan hal yang aneh bila Jungkook tiba-tiba datang ke kediaman Jimin di malam hari, biasanya mereka habiskan waktu bersama dengan bermain game atau Jimin membantu Jungkook mengerjakan PR.
Tetapi, setelah mendengar bahwa Jungkook akan meninggalkannya esok hari tanpa memberi tahu dari jauh hari, membuat Jimin merasa terkhianati. Jimin pikir mereka itu teman baik, sahabat, bahkan Jimin kadang kala merasakan hal yang lebih daripada itu walau sering ia tepis. Tidak mungkin seorang lelaki menyukai lelaki juga, ‘kan?
Jimin tidak berani untuk menyelam lebih jauh terkait dengan perasaannya.
Jimin tidak menjawab panggilan ibunya, agar mereka pikir Jimin telah tertidur dan Jungkook akan pulang.
Tetapi perkiraan Jimin salah, ketika ia mendengar ketukan di pintunya bersamaan dengan suara Jungkook yang lembut memanggilnya.
"Jimin …."
Jimin terkejut mendengar suara Jungkook yang sudah ada di depan pintu kamarnya. Jimin yang sedang duduk di meja belajarnya tetap terdiam dan tidak beranjak untuk membukakan pintu untuk Jungkook.
"Aku tahu kamu belum tidur, kamu lagi menggambar sketsa sambil nunggu Eomma untuk menyuruhmu makan malam. Karena kamu gak akan makan malam, takut gemuk katamu. Padahal pipi bulatmu lucu bagiku," Ucap Jungkook sembari terkekeh pelan yang Jimin tahu itu hanya untuk mencairkan suasana saja antara mereka.
Jimin pun tetap tidak menggubris Jungkook.
"Maafin aku Mimi … aku mau jelasin sesuatu. Boleh buka pintunya?" Pinta Jungkook pelan.
Jimin mendengus kesal saat Jungkook menggunakan panggilan yang selalu berhasil membuat hatinya berdegup kencang.
Jimin mengalah, dan akhirnya memutuskan untuk membiarkan Jungkook masuk ke kamarnya. Saat pintu terbuka muncullah Jungkook dengan sebuah kotak kecil dalam genggamannya. Jimin melihatnya sejenak dan kembali melanjutkan menggambar asal di kertas putih di hadapannya.
"Jimin … ngobrol yuk? Rencana kita ngerayain kelulusan hari ini tiba-tiba kamu batalkan … sekarang kamu gak mau ngobrol sama aku? Salah aku apa, Ji?" Tanya Jungkook.
Jimin menoleh ke arah Jungkook dengan tatapan sinis. "Aku kan gak dianggap teman baik sama kamu, enggak ada juga yang perlu dibicarakan."
"Kok gitu, Ji? Kata siapa aku gak anggap kamu teman baik? Kamu sahabat aku yang paling aku saya—"
"Gak usah dilanjut. Semua itu bohong. Mana ada sahabat yang enggak kasih tahu jauh hari kalau dia akan pergi," sela Jimin.
"Jadi kamu marah sama aku karena ini, Ji?"
"Kook! Kamu gak paham juga salahmu apa? Aku sedih Jungkook, kamu gak kasih tahu aku kalau kamu mau pergi ke Seoul!" Amarah Jimin akhirnya memuncak ketika ia tahu Jungkook tidak kunjung paham apa kesalahan yang dirinya perbuat.
Jungkook hanya bisa terdiam di saat amarah Jimin memuncak. Lantas Jimin kembali membuka suara, “Apa? Kamu gak ada pembelaan? Kamu beneran gak anggap aku sahabat, ‘kan?” Sekarang Jimin menenggelamkan wajahnya di atas meja, ia tidak pernah mengeluarkan energi sebanyak ini untuk marah-marah.
“Jimin … Aku gak beri tahu kamu karena aku pikir aku pergi ke Seoul cuma buat liburan lalu Eomma minggu lalu baru bilang kalau aku ke sana untuk tinggal di sana selamanya. Aku juga shock, Ji. Sedih. Aku bingung gimana ngasih tahu ke kamu.” Jungkook akhirnya memberikan penjelasan.
Jimin tetap menenggelamkan wajahnya di meja. Lantaran jujur saja … ia tidak tahu harus menjawab apa saat mengetahui alasan Jungkook.
Jungkook menghela napas berat ketika Jimin tak kunjung menjawab dan menghampiri meja Jimin, mengelus rambut hitamnya.
"Ji, aku minta maaf. Maaf kalo berita ini sangat tiba-tiba dan gak kasih tahu ke kamu jauh-jauh hari …. Ngomong sama aku, Ji. Aku gak mau persahabatan kita putus saat aku akan jauh dari kamu."
Jimin akhirnya mengangkat kepalanya dan manatap wajah Jungkook yang penuh dengan sesal. Jimin beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah kasurnya.
"Cuddle?"
Wajah Jungkook langsung tersenyum merekah. Cuddling adalah hal yang biasa mereka lakukan, menjadi salah satu alasan perasaan Jimin kepada Jungkook berkembang ke ranah lebih dari sahabat.
Jungkook menghampiri Jimin dan memeluknya, serta menjatuhkan kedua tubuh mereka ke arah kasur membuat Jimin tertawa atas tingkahnya. Dengan wajah terbenam di lekuk leher Jimin, Jungkook mengembuskan napas hangatnya yang menerpa kulit Jimin.
"Aku minta maaf sekali lagi, maaf kalo aku gak ngehargain perasaan kamu. Aku benar-benar gak tahu harus ngomong seperti apa ke kamu dan ternyata waktu aku cuma tinggal besok," ucap Jungkook.
Jimin hanya bisa memejamkan mata karena sungguh ia tidak tahu harus menjawab seperti apa.
"Kook, janji sama aku kita bakalan keep in contact. Kasih tahu ke aku hari-hari kamu di sana, aku pasti bakalan kesepian kamu gak tinggal di Busan lagi. Aku juga bukan dari keluarga yang memiliki uang yang banyak, aku tidak akan bisa pergi ke Seoul untuk sekadar bertemu dengan kamu .…"
"Jimin … aku janji bakalan kirim pesan ke kamu terus, kok! Aku juga bakalan kesepian. Mungkin aku akan kembali ke Busan sesekali, kamu gak usah khawatir!"
Jimin hanya bisa tersenyum dengan perasaan lega menyelimutinya karena Jungkook bukan seorang pengingkar janji dan dia yakin bahwa Jungkook akan menepati janjinya.
Oh, Jimin salah. Sangatlah salah.
28 Oktober 2022
7 tahun berlalu.
Jungkook tidak menepati janjinya untuk selalu tetap berkomunikasi dengan Jimin selama ia tinggal di Seoul. Jimin selalu mengirimkan pesan untuk Jungkook untuk sekadar menanyakan kabar dan apa yang sedang ia lakukan, tetapi tak kunjung mendapatkan balasan dari Jungkook. Jungkook seperti menghilang dari peradaban bumi.
Jimin berusaha mengirimkan pesan selama 1 bulan lamanya hingga akhirnya ia menyerah, dikarenakan ia tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang selalu menjadi beban untuk dirinya menjalani hari-hari.
Sekarang, 7 tahun sudah terlewati. Jimin telah menyelesaikan pendidikan SMA dan kuliahnya. Jimin lebih menganggap dirinya sudah lebih dewasa, lebih mengerti tentang dirinya, dan juga sudah melupakan Jungkook di dalam pikiran serta hatinya. Ya… setidaknya itu yang ia kira.
Jimin telah menyelesaikan wawancara di salah satu perusahaan yang sedang membutuhkan pekerja di bagian keuangan dan sekarang ia sedang duduk di rumah makan spesialis di menu Samgyeopsal yang cukup terkenal di Seoul. Iya, Jimin telah pindah dari Busan ke Seoul dikarenakan orang tuanya ingin Jimin mengembangkan dirinya dan potensinya ke lingkungan yang lebih luas lagi dibandingkan Busan yang mana di daerahnya semua orang saling mengenal satu sama lain. Dengan berat hati namun disertai tekad yang kuat untuk membanggakan keluarganya, Jimin melanjutkan kariernya berpindah ke ibu kota dan meninggalkan orang tuanya selepas lulus dari jenjang perkuliahan.
“Terima kasih banyak, Imo.” ucap Jimin seraya tersenyum manis ke pemilik rumah makan yang juga menyajikan pesanannya di meja makan.
“Aigoo, senyummu manis sekali. Makan yang banyak ya, kamu terlihat sangat kurus sekali. Kamu bisa refill nasi sebanyak apa pun di sini, oke?”
Ah. Jimin hit the jackpot for finding this restaurant. Sepertinya ia akan sering mengunjungi rumah makan ini.
“Baik! Terima kasi-“
“Imo, aku pesan menu yang seperti biasanya, ya!”
“Oh! Jungkook! Ke mana saja kamu? Sudah lama tidak mengunjungi rumah makanku akhir-akhir ini!”
Jimin mematung ketika melihat sosok yang sedang berdiri di ambang pintu masuk rumah makan ini. Jimin mengenal kedua mata itu, begitu bulat dan seakan-akan selalu bersinar. Walaupun pria tersebut terlihat sangat berbeda dengan yang ia ingat sewaktu mereka masih di bangku SMP.
Jimin tidak tahu harus bertindak bagaimana karena saat ini daging samgyeopsal-nya baru saja datang dan dalam proses memasak. Jungkook juga sudah memfokuskan pandangannya ke arah Jimin dan sepertinya ia ikut mematung di tempatnya berdiri.
“Jimin?”
Fuck, what should I do?
Jimin tidak menjawab dan mengarahkan pandangannya ke makanan di hadapannya. Ia tidak ingin berurusan dengan Jeon Jungkook lagi.
“Shit, ini kamu beneran Jimin, ‘kan? Park Jimin?”
Pake nanya lagi. Pikir Jimin.
Jimin kembali tidak menghiraukan Jungkook sampai pada akhirnya pemilik rumah makan ini menyuruh Jungkook untuk duduk di tempat yang lebih jauh dari Jimin, yang sepertinya sudah ia claim sebagai tempat duduk favoritnya. Maka saat itu Jimin menghabiskan makanannya dengan cepat sampai ia tersedak berkali-kali agar ia bisa segera keluar dari rumah makan ini dan tidak akan mengunjunginya lagi.
Fuck you Jeon Jungkook, this is suppose to be my jackpot.
Mungkin ini rekor makan tercepat Jimin selama hidupnya, Eomma-nya mungkin tidak akan percaya karena Jimin selalu paling lama makannya.
Lantas Jimin membayar dengan cepat serta tak lupa mengucapkan terima kasih banyak kepada pemilik rumah makan. Lalu ia berlari secepat mungkin, menjauh dari tempat itu sembari berharap semoga daging yang ia makan tadi sudah cukup matang untuk di konsumsi agar ia tidak terjangkit penyakit salmonella dan juga berharap tidak akan dipertemukan kembali dengan Jungkook.
Ia yakin akan hal itu. Seoul kota yang besar, bukan?
Ternyata Jimin lagi-lagi salah.
Setiap ia berpergian ke suatu tempat, pasti ia bertemu dengan Jungkook. Terkadang Jungkook melihatnya dan seperti ingin menghampirinya sebelum Jimin berlari ke arah berlawanan serta terkadang ia tidak melihat keberadaan Jimin. Hal ini berlangsung satu bulan lamanya hingga Jimin berpikir apakah mungkin ia dan Jungkook terikat oleh Red String Fate? Ketika Jimin memikirkan kemungkinan tersebut, ia hanya dapat menertertawai dirinya karena mempercayai hal konyol seperti itu.
Hingga pada satu pagi ia mendapatkan email penawaran pekerjaan di Golden Closet Corp. Jimin sangat senang mendapatkan tawaran tersebut dan berharap semakin banyak kesempatanya untuk bisa bekerja dalam waktu dekat. Jimin langsung membalas email, mengirimkan beberapa dokumen yang diminta oleh perusahaan. Jimin berharap ini akan menjadi akhir perjalanannya mencari pekerjaan.
“Kasih aku waktu buat jelasin, lima menit aja? Please?”
Dunia memang senang sekali membuktikan kepada Jimin bahwa dirinya selalu salah. Karena, baru saja minggu lalu ia tidak percaya adanya Red String Fate lantas sekarang di hadapannya ada seorang Jeon Jungkook—berpenampilan sangat clean and sharp— yang ternyata pemilik dari perusahaan yang mengirimkan email tawaran pekerjaan dan akan mewawancarai Jimin langsung. Jimin hanya dapat memejamkan matanya ketika ia membuka pintu ruangan mendapati Jungkook yang sepertinya juga sudah menunggu presensinya.
Jimin masih di ambang pintu dan sekarang telah membuka matanya menatap Jungkook dengan sinis saat mendengar permohonannya.
“Gak ada yang perlu dibicarakan,” sahut Jimin yang seketika merasakan déjà vu.
“Jimi-“
“Stop. Aku beneran gak mau dengar apa pun dan aku juga tidak lagi berminat untuk bekerja di sini. Terima kasih atas kesempatannya,” ucap Jimin yang masih bersikap sopan dan ia pun kembali menutup pintu dan berjalan cepat. Tidak ingin orang lain melihat dirinya lari seperti habis melihat sosok mengerikan. Well, Jungkook cukup mengerikan bagi hatinya. Pikir Jimin.
“Jimin. Stop stop stop. Mau sampai kapan kamu lari terus dari aku?” Jungkook ternyata mengejarnya dan kali ini ia berhasil menghentikan Jimin.
Jimin melihat sekeliling mereka yang tampaknya mulai penasaran dengan apa yang sedang terjadi saat Jungkook sosok yang dingin, tegas, dan profesional menggandeng tangan seseorang sambil memanggil satu sama lain dengan sebutan aku-kamu.
Sebenarnya Jimin sudah sangat ingin menangis saat itu juga karena tiba-tiba semua perasaannya terhadap Jungkook kembali. Marah, kecewa, terkhianati, tetapi ada satu rasa yang sangat mendominasi di antara semua itu. Jimin sangat merindukan Jungkook.
“Jungkook, kamu dilihatin sama semua karyawanmu,” bisik Jimin. Karena ia tidak mau Jungkook mengetahui kalau dirinya sedang menahan tangis.
“Hmmm.” Jungkook melihat sekelilingnya dan benar saja semua karyawan yang ada di lantai ini sedang memperhatikan mereka. Tetapi, setelah mereka melihat Jungkook melemparkan tatapan ke seluruh penjuru sudut ruangan, mereka langsung lanjut bekerja kembali.
“Balik ke ruangan aku dulu sebentar kalo gitu. Aku mau jelasin sesuatu ke kamu, Ji …,” pinta Jungkook dengan nada yang cukup memelas.
Jimin tidak ada pilihan lain karena ia tahu Jungkook adalah pribadi yang cukup keras kepala dan Jungkook juga sudah mengetahui informasi pribadinya, besar kemungkinan Jimin akan dihubungi lagi bila ia tidak menyetujui untuk mendengar alasannya kali ini.
“Baiklah.”
Jungkook terlihat sangat gugup dengan keberadaan Jimin di ruangannya, tetapi ia sudah berlatih untuk hal ini, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatannya.
“Bagaimana kabar kamu?” tanya Jungkook membuka suara.
“Tidak perlu basa-basi, langsung saja,” jawab Jimin dengan nada begitu datar.
Jungkook pikir ini seperti bukan Jimin yang ia kenal pada saat mereka masih di bangku SMP. But he deserve this treatment from him.
“Uh … sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah melakukan hal ini, dengan mengirimkanmu tawaran pekerjaan. Aku mencari tahu informasi email-mu secara diam-diam, maaf …. Aku melakukan ini sebagai usaha terakhirku untuk dapat menjelaskan semuanya, aku sudah mencarimu di setiap tempat dan aku berharap akan bertemu denganmu. Bahkan setiap hari aku mengunjungi tempat di mana aku pernah melihatmu sebelum kamu lari menghindar dariku.”
Jimin membulatkan matanya mendengar hal tersebut, pantas saja ia selalu bertemu dengan Jungkook satu bulan terakhir. Jimin tetap tidak mengeluarkan suara sebab ia tidak yakin bisa mengontrol emosinya.
“Tetapi untuk posisi pekerjaan, kami memang sedang membutuhkan Team Leader Finance, dan dari CV kamu aku lihat kamu lulusan dari jurusan yang sesuai dengan posisi tersebut. Aku tahu kamu selalu pintar dalam urusan angka, Jimin.” Jimin tidak mungkin bekerja di perusahaan Jungkook, hatinya tidak akan sanggup melihat sahabat lama yang sudah meninggalkan dirinya. Jungkook melemparkan senyuman kepada Jimin yang masih saja dibalas oleh tatapan sinis, tetapi ia juga bisa melihat wajah Jimin sedikit memerah, pipi Jimin selalu menjadi merah merona bila ia mendapatkan pujian.
“Sepertinya aku sudah terlalu banyak berbicara. Ah … bagaimana aku memulai ….” Jungkook menghela napas panjang. “aku tidak bermaksud untuk tidak menghubungimu lagi Jimin, sungguh. Ponsel ku terjatuh di sungai Han. Padahal aku berencana untuk mengirimkan foto sungai yang indah kepadamu memberi tahu bahwa aku telah sampai di Seoul dengan selamat.”
Jimin kembali membulatkan matanya, mulutnya juga ikut terbuka mendengar cerita Jungkook. “No way …,” ucap Jimin.
Jungkook hanya bisa mengangguk lemas “Yes way ….”
Lalu Jimin kembali menatap sinis setelah kembali sadar. “’Kan bisa beli baru? Kamu juga butuh untuk keperluan lain, ‘kan? Tujuh tahun lamanya kamu tidak pernah mengabariku hanya karena ini?”
“Jimin … aku tidak hafal nomormu. Aku juga sudah meminta pada Eomma untuk menanyakan nomormu pada Imo, tetapi ternyata ibumu sepertinya telah mengganti nomor. Aku juga sudah mencoba menghubungimu lewat media sosialmu.”
“Uh …. Aku lupa password semua media sosialku yang dulu dan aku membuat akun yang baru”
“Iya aku tahu, sudah lihat dari CV kamu. Hm … lalu aku sibuk dengan kegiatan sekolah, Seoul dan Busan sangatlah berbeda. Di sini aku benar-benar berubah menjadi siswa yang sangat rajin dan berusaha sebaik mungkin, bila tidak demikian aku akan menjadi seseorang yang gagal. Terlebih aku harus ikut mengembangkan perusahaan Abeoji. Setelah SMA, aku mempersiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi dan kehidupanku di perguruan tinggi juga tidak mudah. Jadi, aku sudah menganggap pertemanan kita berakhir. Aku telah kehilanganmu, bila aku kembali ke Busan pun aku yakin kamu tidak akan ingin menemuiku,” bisik Jungkook.
That’s really true.
“Jadi … Selama 7 tahun aku mengira kamu membenciku, ternyata kamu tidak bisa menghubungiku? That’s insane.” Jimin mengusap mukanya dengan telapak tangannya, masih tidak percaya bahwa itu yang sebenarnya terjadi.
Jungkook mengangguk lemas. “Kamu percaya ‘kan sama aku, Jimin? Kalo enggak, kita bisa kerumahku sekarang untuk bertemu dengan Eomma dan Abeoji,” ucap Jungkook dengan serius.
Jimin memang sedikit skeptis dengan alasan Jungkook, tetapi ia juga bisa melihat penyesalan di wajah pria di hadapannya. Lagi-lagi Jimin tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
“Uh … gak perlu, terima kasih untuk penjelasannya. Sekarang aku boleh pergi?”
Jungkook melihat Jimin dengan tatapan sendu, membuat hati Jimin ngilu karena sudah bersikap sangat dingin kepada Jungkook seperti ini.
“Kamu gak mau maafin aku, ya?” tanya Jungkook.
“Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini, 7 tahun bukan waktu yang sebentar. You can’t expect the hurt that you caused suddenly disappear,” jawab Jimin dengan nada lirih.
Jungkook menundukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Jimin. Memang benar adanya, ia tidak boleh egois dan mengharapkan Jimin akan langsung memaafkannya begitu saja. Lalu, Jungkook kembali menatap Jimin dan tersenyum kecil.
“Aku tidak akan menyerah. Aku mau kamu balik lagi di hidupku, Ji. I hope you don’t mind.”
Hati Jimin langsung berdegup dengan kencang atas ucapan Jungkook. Maksud Jungkook apa?
Belum sempat Jimin membalas, Jungkook sudah beranjak dari kursinya dan berdiri di samping Jimin.
“Mari aku antar?”
Jimin menggelengkan kepalanya sebagai penolakan tawaran tersebut dan berdiri dari kursinya hendak langsung berjalan menuju pintu. Tetapi, ia merasakan sebuah tangan menahannya dengan menggenggam pergelangan tangannya. Siapa lagi kalau bukan Jungkook.
“Aku boleh menyimpan nomormu? Dan mungkin akan mengirimkanmu pesan sesekali.”
Jimin dapat mendengar betapa gugupnya Jungkook untuk menyuarakan permintaannya itu.
“Silakan saja, tapi aku tidak janji akan membalas,” jawab Jimin sejujurnya.
Jungkook malah mengembuskan napas lega dan memberikan Jimin senyuman yang manis.
“Gak apa-apa, aku akan terus mengirimkan pesan hingga kamu membalas suatu saat nanti.”
Jimin hanya mengangguk dan melepaskan genggaman Jungkook pada pergelangan tangannya lalu ia berjalan pergi meninggalkan ruangan dengan hati yang detaknya masih saja belum stabil karena perlakuan Jungkook.
Jimin sedang berjalan di lobby menuju pintu keluar ketika ia merasakan getaran pada ponselnya. Jimin mengeluarkan ponselnya dan melihat ada 1 pesan baru dari nomor yang tidak ia ketahui, Jimin buka pesannya dan langsung memejamkan mata saat membaca isi dari pesan tersebut.
01xxxxxx
Ini aku, Jungkook. Semoga harimu berjalan dengan baik.
Sigh, what should he do?
28 November 2022
Jungkook
Selamat pagi, Jimin.
Akhir-akhir ini Jimin sering mendapatkan pesan dari Jungkook. Hal ini begitu aneh bagi Jimin karena sudah lama ia tidak merasakan kehadiran Jungkook di hidupnya dan tiba-tiba pesan singkat yang dikirimkan oleh lelaki itu menjadi salah satu hal yang konstan saat ini. Jungkook selalu mengucapkan selamat pagi dan malam, ia juga sering menanyakan apakah mereka bisa bertemu kembali untuk sekadar berbicara santai sambil menikmati secangkir kopi, tetapi Jimin selalu menolak karena belakangan ini ia sedang disibukkan oleh pekerjaan barunya di salah satu perusahaan.
Tidak hanya itu, Jungkook juga sering mencoba menelepon Jimin. Awalnya Jimin selalu tolak panggilan tersebut, tetapi lambat laun akhirnya Jimin menerima panggilan dari Jungkook saat ia memiliki waktu senggang. Seiring waktu berjalan, tanpa sadar Jimin menerima kembali kehadiran Jungkook di hidupnya.
Jimin baru saja selesai mandi saat melihat pesan dari Jungkook dan ia memutuskan untuk membalasnya.
Jimin
Iya, selamat pagi Jungkook.
Tidak butuh waktu lama Jungkook sudah membalas lagi pesan Jimin.
Jungkook
Hari ini apakah kamu mau menemuiku?
Inilah pertanyaan Jungkook tidak pernah skip dilontarkan kepada Jimin. Jimin memikirkan kembali jawaban apa yang harus ia berikan hari ini, pertanyaan ini sudah Jungkook lontarkan semenjak hari kedua ia mendapatkan nomor Jimin. Apakah hari ini Jimin harus menerima tawaran Jungkook?
Jimin
Di mana?
Jujur, jantung Jungkook seperti ingin copot setelah melihat balasan dari Jimin.
Jungkook
Ini kamu serius mau?
Jimin
Aku baru nanya di mana, bukan iya.
Ah … iya juga, Jungkook bodoh.
Jungkook
Mungkin di tempat makan sampyeopsal waktu pertama kali kita bertemu? Kita makan malam saat jam pulang kerja.
Apa ini? Makan malam bersama Jungkook? Mengingatkan Jimin pada saat mereka masih SMP, mengunjungi pochajjang untuk makan ramyeon setelah jam pulang sekolah, apakah Jungkook sengaja melakukan ini?
Jimin
Oke, aku bisa.
Jungkook
Terima kasih banyak, Jimin. Aku akan menjemputmu dari kantor.
Jimin
Tidak perlu.
Jungkook
I insist. Tolong berikan alamat kantormu.
Jimin
*Location Sent*
Jungkook
Terima kasih sekali lagi ya, Mimi. See you soon.
Jungkook definitely KNOW what he’s doing, Jimin pikir. Jimin berusaha untuk tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi saat mereka bertemu, Jimin diam-diam berharap dari sini hubungannya dengan Jungkook akan menjadi lebih baik lagi.
Jungkook tidak bisa fokus pada pekerjaannya, seharian ia memikirkan harus bagaimana bersikap dengan Jimin saat bertemu nanti karena bisa jadi ini akan menjadi kesempatan pertama dan terakhir untuk memperbaiki hubungan dirinya dengan Jimin. Ia sampai memberikan pesan kepada sekretarisnya supaya jangan ada yang mengganggunya hari ini setibanya di kantor. Jungkook butuh menenangkan dan mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Jimin nanti.
Tanpa Jungkook sadari jam dinding sudah menunjukkan pukul 4 sore, dirinya langsung bergegas mengambil jaketnya dan keluar dari ruangan sembari mengirimkan pesan kepada Jimin.
Jungkook
Hi, I’m on my way to your office.
Jimin
Okay, hati-hati ya.
Shit, hanya dibalas seperti itu saja hati Jungkook sudah berdegup kencang.
Ternyata tidak butuh waktu yang lama untuk Jungkook sampai di depan gedung kantor Jimin, tetapi Jungkook tidak akan mengaku bahwa ia mengendarai mobilnya sedikit di atas rata-rata kecepatan karena terlalu semangat ingin bertemu dengan Jimin.
Ia melihat sosok Jimin sudah berdiri di depan pintu masuk gedung dan sedang berjalan menuju mobil Jungkook.
Jungkook sudah ingin beranjak keluar dari sisi pengemudi dan membukakan pintu untuk Jimin, tetapi Jimin memberikan isyarat agar Jungkook tidak perlu melakukan hal itu Lalu Jimin masuk ke kursi penumpang sendiri membuat Jungkook menjadi agak kaku serta bingung bagaimana harus bersikap.
“Uh … hai Jimin? Bagaimana pekerjaannya hari ini?” Jungkook mencoba untuk membuka pembicaraan.
“Seperti biasa,” jawab Jimin singkat.
Ah … ternyata singkapnya masih dingin.
“Oh … kamu tidak keberatan kan kita makan di restoran samgyeopsal itu? Atau kamu ingin makan yang lain?”
“Di sana saja, gak apa-apa.”
Jungkook mengangguk dan langsung mengemudikan mobilnya menuju restoran di mana mereka pertama kali bertemu setelah bertahun-tahun lamanya.
Sepanjang perjalanan, Jungkook terus berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Jimin berbincang dengannya. Tetapi, usahanya tidak berhasil dikarenakan Jimin tetap bersikap dingin kepadanya.
Hingga saat mereka sudah duduk dan memesan makanan, Jimin akhirnya melontarkan pertanyaan kepada Jungkook untuk pertama kalinya hari ini.
“Kamu gak perlu repot-repot ngelakuin ini, aku sudah memaafkanmu.”
Tetapi sikapmu seperti belum memaafkan diriku, Jimin, pikir Jungkook
“Aku gak repot, kan aku juga yang mau makan bersama denganmu.” Jungkook melontarkan senyuman kepada pria di hadapannya. “Dan terima kasih sudah mau memaafkanku, aku benar-benar menyesal Jimin. Aku menyesal tidak berusaha lebih keras lagi untuk dapat menghubungimu.”
Jungkook melihat Jimin yang sedang terfokus memainkan tangannya, Jimin sering melakukan itu saat dirinya sedang gugup. Jungkook merasa sedih ketika sahabat dekatnya dulu harus merasa gugup saat sedang bersama dengannya.
“Well … yeah. Honestly it broke me when you just suddenly gone like that,” aku Jimin. Jimin memang selalu menjadi seseorang yang tidak sungkan untuk mengutarakan apa yang ia rasakan.
Jungkook refleks menggenggam tangan Jimin.
“I’m so sorry. Aku sangat menyesal, Jimin.”
Belum sempat Jimin menjawab, Imo menghampiri meja mereka dengan berbagai macam jenis makanan dan menu utama yaitu samgyeopsal. Jimin merasa sedikit malu karena Jungkook tidak melepaskan genggamannya walaupun Imo jelas-jelas sedang melirik tautan tangan mereka dengan senyuman penuh makna.
“Terima kasih banyak, Imo.” Jungkook membalas senyuman Imo, tidak menyadari bahwa wanita tua itu sedang memperhatikan mereka dengan tatapan usil.
“Iya, sama-sama, Kook. Selamat menikmati ya, Cantik.” Imo mengusap rambut Jimin dengan lembut dan meninggalkan mereka setelah menyajikan makanan di meja.
Jungkook tersenyum dan menyetujui ucapan Imo dalam hati, bahwa Jimin cantik, semakin cantik dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Saat Jungkook menyadari apa yang sedang ia pikirkan, Jungkook langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan mungil Jimin.
Hati Jungkook berdegup dengan kencang. Lalu muncullah pertanyaan, sejak kapan ia merasakan hal ini ketika sedang menatap Jimin? It’s suppose to be always easy and comforting with him, but why my heart suddenly beat so fast and my chest all warm when I admitted he’s pretty?
“Jungkook?”
Jungkook terlepas dari lamunannya dan menjawab. “Yeah?”
Jimin menunjuk daging dan panggangan di hadapannya. “Uh … aku mulai panggang, ya? Aku sudah lumayan lapar.”
Jungkook langsung meraih capitan daging yang ada di tangan Jimin dan langsung memulai masak daging samgyeopsal-nya.
“Aku duluan loh yang pega-“
“Biar aku aja, kamu duduk yang manis,” sela Jungkook.
Jungkook dapat melihat bibir Jimin langsung menekuk di balik asap pemanggang di hadapan mereka.
Jungkook hanya terkekeh pelan dan menyiapkan makanan untuk Jimin.
Saat Jungkook melihat Jimin tersenyum menerima daging yang sudah Jungkook masak dan mengunyah dengan nikmat, Jungkook akhirnya berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mengecewakan Jimin.
“Enak!” seru Jimin.
Chest all warm and tingling.
Agenda pertemuan mereka semakin sering dan terasa keduanya sudah mulai nyaman dengan kehadiran satu sama lain. Jimin tidak lagi harus berhati-hati dalam menanggapi Jungkook, tidak lagi merasa gugup akan kehadirannya, semua terasa seperti mereka kembali lagi ke masa SMP. Dua sahabat yang selalu ada untuk satu sama lain.
Di balik perlakuan Jimin yang semakin menghangat, ada Jungkook yang sedang susah payah berusaha untuk menghentikan this growing feelings over Jimin, these new feelings. Jungkook senang mereka dapat kembali menjadi sahabat, tetapi dalam proses tersebut ternyata ada perasaan lain yang ikut muncul dan tumbuh.
Akhir-akhir ini mereka sering makan malam bersama atau mengunjungi café sekitaran Seoul dan saling bertukar cerita tentang keseharian mereka bahkan cerita-cerita kehidupan mereka ketika keduanya tidak saling berhubungan selama 7 tahun itu.
Bila mereka sedang sibuk dan tidak bisa bertemu, mereka pasti akan melakukan video call pada malam hari. Seperti sekarang ini, Jungkook sedang memandang pria yang ada di layar ponselnya. Jimin sedang melakukan skincare routine-nya setelah meninggalkan Jungkook beberapa menit yang lalu untuk mandi.
“Kamu mandinya cepet banget tadi, udah gak sabar mau ngobrol sama aku, ya?” ucap Jungkook percaya diri. Ia melihat Jimin berusaha menyembunyikan senyumnya dengan menepuk-nepuk wajah menggunakan produk yang Jungkook yakin bahwa itu serum wajah.
“Hmm … ya kamu nelponnya pas aku mau mandi. Masa aku ninggalin kamu lama-lama.” balas Jimin.
“Padahal kan bisa ponselnya dibawa saja ke kamar mandi.”
“Jungkook!”
Ah, yah begitulah. Semenjak Jungkook mengetahui perasaannya terhadap Jimin tidak lagi sebatas sahabat, ia mulai sering memunculkan sisi dirinya yang cukup flirty kepada Jimin. Tidak ragu untuk membuat komentar seperti ini, agar dapat melihat betapa merahnya pipi Jimin.
“Hehehe, iya. Maaf, ya? Gimana kerjaan hari ini?” Jungkook mengalihkan pembicaraan, ia tidak pernah menggoda Jimin lebih dari itu, takut Jimin tidak nyaman dengannya.
“Hari ini berjalan seperti biasa, hanya saja ada beberapa kerjaan dengan deadline dipercepat. Jadi, maaf sekali lagi ya, aku tidak bisa pergi bersamamu hari ini.” Mereka seharusnya pergi makan malam di sebuah rooftop, a little bit romantic this time. Tetapi, Jimin tiba-tiba menghubungi Jungkook pada siang hari untuk memberi tahu bahwa ia tidak bisa menemani Jungkook.
“Tidak apa-apa, bukan salah kamu Jimin.” Jungkook tersenyum.
“Ya, tetap saja aku tidak enak hati padamu. Apalagi pas tahu kamu sudah reservasi. Kamu kenapa gak sama yang lain aja? ‘Kan sayang uangnya?” Jungkook memasang muka penuh tanya kepada Jimin yang ia harap bisa terlihat dari layar bahwa pertanyaan tersebut membuat dia bingung.
“Sama siapa? Aku maunya sama kamu loh, Ji.”
“Ya siapa saja …. Mungkin teman dekatmu yang lain atau … uh, kekasih?”
Jungkook yang sebelumnya sedang terbaring di kasur langsung terbangun dan duduk, memperhatikan wajah Jimin di layar ponselnya dengan tatapan jengkelnya.
“Jimin … aku gak punya kekasih. Kamu kenapa tiba-tiba berpikir begitu?”
Jungkook melihat wajah Jimin berubah menjadi ikut jengkel.
“Aku cuma nebak aja. Soalnya, aku lihat akhir-akhir ini kamu seperti seseorang yang sedang jatuh cinta.” Sekarang Jungkook dapat melihat Jimin menekuk bibirnya, membuat Jungkook ingin mengecup bibir tebal itu.
“Hahaha, Ji … uh … maybe?” aku Jungkook.
Mata Jimin membulat dengan sempurna. He’s a living doll, fuck. Pikir Jungkook.
“Siapaaa?”
Sejujurnya Jungkook bukan orang yang suka memendam perasaan dan ia mengalami kesulitan saat mencoba meyakinkan dirinya apakah boleh ia memiliki perasaan seperti ini kepada Jimin? Semakin hari semakin sulit untuk dipendam dan merahasiakan ini, membuat Jungkook ingin langsung mengatakan hal yang sebenarnya.
“Uh …. Aku sudah memiliki rencana akan mengajak dia untuk makan malam bersama orang tuaku. Bagaimana jika kamu ikut juga?” ajak Jungkook.
Jungkook langsung dapat melihat perubahan pada wajah Jimin, ia terlihat murung saat Jungkook mengajak dirinya. Apakah Jimin juga merasakan hal sama denganku? Ah, jangan terlalu berharap kamu, Jeon, pikir Jungkook.
“Boleh. Kapan?” jawab Jimin dengan singkat.
“2 minggu dari sekarang? Hari Sabtu?”
“Sepertinya aku bisa, aku juga rindu dengan Eomma Jeon dan Abeoji Jeon. “
Jungkook merasa sangat senang ketika Jimin masih saja memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan itu.
“Oke, Ji. Hari Sabtu, yaaa.”
Ia melihat Jimin mengangguk dengan senyum yang terpatri di bibirnya tetapi terasa sangat palsu.
Mereka melanjutkan perbincangan ke topik lain, menghabiskan waktu berjam-jam video call hingga keduanya sudah terlalu mengantuk untuk berbicara.
Tidak terasa hari di mana Jungkook memutuskan untuk mengundang Jimin makan malam bersama orang tuanya sudah tiba. Jungkook agak sedikit tidak percaya diri apakah Jimin merasakan hal yang sama dengannya dan akan menerima proposal Jungkook untuk menjadi kekasihnya.
Ia melihat Jimin yang sedang bercengkerama dengan ibunya. Saling menanyakan kabar satu sama lain, mengekspresikan betapa rindunya ibu Jungkook dengan Jimin dan keluarganya di Busan.
Saat Jungkook mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia telah bertemu kembali dengan Jimin, mereka tidak berhenti meminta kepada Jungkook untuk membawa Jimin bertamu ke rumah. Bisa dibayangkan betapa senangnya ibu Jungkook mengetahui Jungkook telah mengajak Jimin untuk makan malam bersama.
Segala jenis makanan kesukaan Jimin tersaji di meja makan, ibu Jungkook masih ingat beberapa lauk pauk favorit Jimin dikarenakan Jimin cukup sering menginap atau sekadar bermain bersama Jungkook hingga makan malam tiba. Menjadikan Jimin mau tidak mau harus menuruti permintaan ibu Jungkook untuk makan malam bersama kala itu.
Makan malam berjalan dengan sangat hangat, ibu dan ayah Jungkook tidak berhenti mengatakan Jimin tumbuh menjadi pria yang sangat cantik, pekerja keras, dan mandiri selama makan malam berlangsung. Membuat Jimin menikmati makan malamnya dengan pipi yang merona.
Tetapi, sebenarnya ada banyak pertanyaan yang sedang berputar di kepala Jimin. “Di manakah seseorang yang akan Jungkook kenalkan kepada orang tuanya dan aku? Kok kita makan duluan? Ini makanannya kesukaan aku semua? Apakah selera orang yang Jungkook sukai sama kah denganku?”
Setelah mereka selesai makan dan segala lauk pauk juga sudah habis dikarenakan ayah, ibu Jungkook, dan Jungkook sendiri selalu menuangkan kembali makanan ke piring Jimin bila piring Jimin sudah kosong, Jimin semakin bingung. Nanti orang yang akan Jungkook kenalkan ke mereka makan apa?
Jimin menawarkan (lebih tepatnya memohon) kepada ibu Jungkook agar ia saja yang membereskan dan mencuci peralatan makan yang sudah mereka gunakan, Jungkook pun ikut membantu Jimin.
Mereka berdua bekerja dalam kesunyian karena Jimin bingung bagaimana menanyakan hal ini kepada Jungkook. Tetapi, sepertinya Jungkook sudah paham apa yang dipikirkan Jimin.
“Gak ada orang lain, Jimin. Jangan dipusingin.”
Jimin malah makin tidak mengerti maksud dari perkataan Jungkook.
“Tapi kan …?”
“Selesaiin ini dulu yuk, terus habis ini aku buatin hot choco. Kita minum bareng di taman, ya?”
Jimin hanya bisa mengangguk dan kembali melanjutkan tugas mencuci piringnya.
Sekarang mereka sedang di taman, duduk di ayunan yang Jungkook miliki. Secangkir minuman cokelat panas sudah ada di genggaman mereka, suasananya sangat tenang dan hangat. Tetapi, kepala Jimin berbanding terbalik dari kata tenang dan hangat.
Jungkook menghela napas panjang sebelum memulai.
“Jimin … malam ini sebenarnya tidak ada seseorang yang ingin aku kenalkan ke kamu.” Jimin tidak memberi komentar apa pun walaupun ia sangat ingin merutuki Jungkook karena sudah membohonginya. Tetapi, ia menunggu Jungkook untuk melanjutkan apa yang ingin dirinya katakan.
“Aku hanya mengundang kamu malam ini. Uh … aku tidak pandai banyak berbasa-basi, merangkai kata indah, dan membuat suasana ini menjadi romantis.” Jungkook menatap mata Jimin, di dalam matanya bisa terpancarkan sebuah ambisi yang sangat kuat, seperti momen ini sudah ia persiapkan sejak dulu.
“Orang itu kamu, Park Jimin. Kamu adalah seseorang yang membuatku berbunga-bunga seperti sedang jatuh cinta. Iya, aku cinta kamu .…”
Jimin hampir saja menumpahkan cokelat panasnya ke celana yang ia kenakan, akibat betapa shock dirinya mendengar perkataan Jungkook.
“Hah …?”
“Aku tahu ini mungkin terlalu random bagi kamu, kita sudah menjadi sahabat sangat lama sehingga ini terdengar seperti tidak mungkin terjadi. But I did, I love you.”
Jimin mengerjapkan matanya. “Since when?”
Jungkook menggigit bibirnya, wajah dan matanya berubah menjadi memancarkan betapa grogi dirinya.
“Aku selalu menganggap kamu cantik dari dulu, orang yang baik, selalu ada untukku di kala aku selalu mengecewakanmu.” Jungkook berhenti sejenak dan mengatur napas. “Tetapi, saat pertama kali aku melihatmu kembali setelah 7 tahun berlalu, aku sadar, ketika itu semangatku untuk hidup immediately went up. It’s like there’s a light around you. Karena pada hari itu dan hari-hari sebelumnya aku merasa sulit merasakan bahagia, hidupku semenjak pindah ke Seoul sangat draining.”
Jimin mendengarkan Jungkook dengan saksama.
“Dan aku tersadar, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu lebih dari apa yang sudah kita miliki dan rasanya semakin besar ketika kamu mulai bersikap hangat kepadaku. Setiap hari aku selalu looking forward to our little dinner dates.”
“So … yeah … That’s it, I guess. Aku tidak masalah bila kamu tidak merasakan hal yang sama denganku, aku mengerti ini mungkin terlalu aneh bagimu. Aku hanya ingin kamu tahu, tapi aku mohon jangan menjadi canggung atau malah lebih parah lagi menjauh dariku. Please .…”
Jimin hanya tersenyum ketika Jungkook mengoceh dan tidak berhenti memohon kepadanya. Jimin memberikan cangkirnya ke Jungkook, memintanya untuk pegang sebentar.
Jimin meraih wajah Jungkook dengan kedua tangannya lalu menatap mata Jungkook dengan lekat.
“I love you too, you dummy.”
Jimin dengan hati yang berdegup kencang, mabuk akan kebahagiaan, memberanikan diri menautkan kedua bibir mereka dan menjadikan bulan sebagai saksi dari momen ini.
Jungkook awalnya tidak merespons, tetapi beberapa detik kemudian ia membalas ciuman Jimin dengan sangat lembut seperti sedang berusaha memberikan sinyal ke otaknya untuk mengingat bagaimana rasa bibir Jimin berdansa dengan bibirnya.
Jimin melepaskan ciuman mereka ketika ia sudah mulai kesulitan bernapas. Jungkook seketika mengecup bibir Jimin dengan lembut saat ciumannya terlepas, seperti sudah candu bibir Jimin dibuatnya. Jungkook menempelkan kedua dahi mereka dan menatap mata Jimin.
“Since when?” Jungkook mengulang pertanyaan Jimin.
Jimin hanya bisa tersenyum dan memundurkan wajahnya, mengambil kembali cangkir yang telah Jungkook genggam untuknya. Jimin menyesap sedikit minumannya yang sudah tidak lagi hangat, tetapi hatinya sudah cukup hangat.
Malam itu Jimin menceritakan semua hal dan perasaan yang telah ia pendam selama mereka masih duduk di bangku SMP. Bagaimana ia mencintai Jungkook dalam diam and also how he beat himself for falling in love with another boy.
Jimin
Kamu udah tidur?
Jungkook
Belum. Kenapa, Sayang?
It still feels unreal that Jungkook is his boyfriend now.
Jimin memutuskan menerima tawaran eomma untuk menginap dikarenakan cuaca pada malam ini langsung berubah dari malam yang tenang menjadi hujan deras. Mengatakan terlalu bahaya untuk Jungkook mengemudi dan mengantar Jimin kembali ke apartemennya. Jimin sudah menolak dan akan memesan taxi saja, tidak ingin merepotkan Jungkook. Tetapi, Jungkook menolak dengan keras.
Sekarang Jimin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur Jungkook, kaus putih dan celana short. Berbaring dengan santai di kamar tamu sembari mengirimkan pesan kepada Jungkook.
Jimin
Aku boleh minta cuddle gak ?
Jungkook
Haha, tuhkan aturan kamu tidur aja di kamar aku.
Jimin
Malu sama eomma, kalau kita masih SMP tidak apa-apa.
Jungkook
Terus kalau aku ketiduran pas cuddle sama kamu gimana?
Jimin
Nanti aku bangunin.
Jungkook
Jahat :(
Jimin
Ih, ya sudah ke sini aja dulu.
Tidak lama kemudian Jimin mendengar pintu kamar tamu terbuka, ada Jungkook di balik pintu tersebut melihat Jimin dengan senyumannya.
“Cuddle pertama kita setelah 7 tahun.” Jungkook menghampiri Jimin yang sedang menatap Jungkook dengan penuh kasih sayang.
“Sini,” pinta Jimin.
Jungkook langsung berbaring di samping Jimin dan membawa tubuh Jimin dalam pelukannya. Jimin menempatkan kepalanya di dada Jungkook sebagai bantalan. Mendengarkan detak jantung yang sudah lama tak ia dengar dengan posisi seperti ini.
Mereka terdiam cukup lama, menikmati kehadiran satu sama lain, merasakan hangat dari tubuh mereka yang saling menyatu.
“Aku rindu momen seperti ini. Aku dalam dekapanmu,” ucap Jimin memecahkan keheningan di antara mereka.
“Aku juga. I’m finally home,” balas Jungkook.
Jungkook menyentuh wajah Jimin dengan lembut, Jimin memejamkan matanya dan merasakan jari-jari Jungkook menjamah seluruh permukaan wajahnya seperti dirinya tidak percaya bahwa Jimin sekarang ada dalam pelukannya.
Jemari Jungkook kini sedang mengusap bibir bawah Jimin perlahan. Perlakuannya membuat wajah Jimin menjadi panas mengingat ciuman pertama mereka tadi saat di taman.
Jimin membuka mulutnya perlahan, seperti memberikan izin kepada Jungkook untuk melakukan apa yang ia mau.
Jungkook seperti paham apa yang Jimin maksud. Jimin merasakan ibu jari Jungkook dengan ragu mencoba masuk ke dalam bibir ranum Jimin, seketika Jimin merasakan hangat di sekujur tubuhnya efek sensasi yang Jungkook berikan.
Jimin membalas dengan mengisap jari Jungkook dengan lembut dan sebuah erangan berasal dari pria di sampingnya itu langsung terdengar.
“Shit, Park Jimin.”
Jimin membalas dengan mengisap jarinya lebih kencang dan dengan malu menggunakan lidahnya memutari permukaan jari.
“Fuck, is that how you suck a cock?”
Mendengar hal itu, Jimin mengeluarkan suara desahan tertahan dan ibu jari Jungkook tetap ia hisap dengan begitu sensual.
“Sayang … you have to stop.” Jungkook memelas.
Jimin melepaskan isapannya dari jari Jungkook dan langsung merubah posisinya untuk menatap mata Jungkook.
“Kok berhenti,” ucap Jimin dengan ekspresi cemberutnya seperti anak kecil yang tidak suka diambil mainannya.
“Kita baru aja jadian … dan baru aja menjalin hubungan kembali setelah bertahun-tahun lamanya.”
“Maka itu aku mau, Jungkook. Aku izinin semua yang kamu mau lakuin ke aku karena sudah terlalu lama kita berpisah. I’m tired of waiting.”
Benar yang dikatakan oleh Jimin, semesta sudah cukup mempermainkan mereka dengan segala skenarionya. Mungkin memang sudah saatnya mereka mencintai satu sama lain tanpa ada batasan.
Tetapi, menurut Jungkook tahap itu tetap terlalu dini untuk mereka yang baru saja menjalin kasih secara resmi.
Baru saja Jungkook ingin menyuarakan pendapatnya, seketika Jimin membenarkan posisinya agar wajah mereka menjadi sejajar dan menatap Jungkook dengan matanya yang memancarkan gairah.
“Memang gak mau ngerasain gimana kalau kontol kamu ada di mulut aku?”
Fuck. God damn Park Jimin.
“Mana Jimin aku yang suka malu dan pipinya merah kalau aku godain?”
Jimin menjawab dengan seringaian. “Hehe … aku mau banget .…”
Jungkook mengecup pipi Jimin dengan lembut dan kembali menatap mata Jimin.
“Jangan sekarang, ya? Pelan-pelan aja. Karena menurutku, ngelakuin itu baiknya jangan di rumahku … aku mau denger kamu teriak keenakan karena aku.” Sekarang giliran Jungkook yang melemparkan seringaian kepada Jimin.
Jungkook terdengar dan terlihat sangat hot saat mengatakan hal itu, membuat Jimin menenggelamkan wajahnya di leher Jungkook, menyembunyikan wajahnya yang merah merona akibat malu.
“Haha. Mana nih Jimin aku yang ngomong kontol tadi?”
“Ih, diemmm.” Jimin kembali merengek. Tetapi, sekarang ia merasa sangat malu sudah mengatakan hal itu kepada Jungkook.
“Hahaha, iya iya aku diemmm,” ejek Jungkook dengan usil. “Bobo, yuk?” lanjut Jungkook.
“Tapi aku gak mau kamu balik ke kamar kamu … masih mau peluk.”
“Iya, aku di sini. Aku pasang alarm supaya aku bisa bangun dan balik ke kamar aku, ya? Supaya ga ketahuan.” Jimin membalas dengan anggukan dan mencium pipi Jungkook.
“Alright … Good night, Kook.”
“Good night, Mimi.”
28 Oktober 2025
“Jimin, kamu terlihat sangat cantik malam ini.”
After all these years, Jimin masih saja tersipu malu bila mendengar pujian dari Jungkook. Pipi menjadi merah merona dan selalu mengalihkan pandangannya ke sekitar, tidak kuasa menatap mata Jungkook seketika.
“Stop,” balas Jimin sembari melihat daftar menu di hadapannya.
“Bilang terima kasih dong, Cantik.”
“Ya. Makasih ya.” Sekarang Jimin menyembunyikan wajahnya menggunakan daftar menu tadi.
Ia mendengar Jungkook terkekeh akan perlakuannya dan merasakan Jungkook menarik buku menunya untuk tidak menutupi wajah Jimin.
“Jangan di tutupin gitu, dong. Aku kan mau lihat.”
“Makanya berhenti ngomong begitu, hhh.” Jimin tidak ingin kalah.
“Hehe susah, itu sudah jadi refleks mulut aku.”
“Iya, mulut gombal.”
“Only for you though.”
Seketika Jimin memberikan Jungkook senyum yang merekah.
“Hmmm yeah, you’re mine.”
“Yours.”
Jungkook mengajak Jimin makan malam di dekat pantai, karena akhir-akhir ini Jimin merindukan pantai di Busan. Kencan makan malam mereka masih terus berlanjut bahkan setelah bertahun-tahun menjalin hubungan.
Hubungan mereka tidaklah selalu berjalan dengan mulus, tetapi rutinitas untuk makan malam bersama tidak pernah terlewat oleh mereka. Kadang kala karena kebiasaan inilah mereka berhenti bertengkar. A good food and a talk, solve everything.
Clink. Suara gelas kaca berisikan anggur merah beradu.
“To my beautiful, boyfriend soon to be fiancé,” seru Jungkook.
“To your what?!”
Lalu Jimin melihat Jungkook sudah berlutut di samping kursinya, menggenggam sebuah kotak berisikan cincin dengan berlian yang berkilau di malam hari.
“Jimin, maukah kamu menjadi suamiku? Menemaniku di kehidupan ini dan juga kehidupan selanjutnya?”
They will find each other too, in their next life.
08 November 2025
“Uhm ah ah mmhm fuck yes. There … right there, Kook-ah!”
Tokyo. Destinasi pilihan mereka untuk honeymoon.
Acara pernikahan mereka berlangsung sangat meriah dan mewah. Jimin menginginkan teman mereka saat tingkat SMP di Busan menghadiri pernikahan mereka, menjadikan perayaan itu dipenuhi dengan canda tawa dan cerita flashback bagaimana keseruan mereka saat masih remaja.
Perayaan tidak berlangsung lama karena Jimin paham Jungkook tidak bisa terlalu lama berada di situasi yang ramai, in conclusion it was their dream wedding.
Setelah acara pernikahan mereka selesai, Jimin dan Jungkook langsung bergegas pergi untuk bersiap terbang ke Tokyo, sebagai destinasi mereka menghabiskan waktu bersama sebagai pengantin baru.
Sampai di Tokyo sekitar larut malam, mereka tidak lagi memiliki energi untuk melakukan apa pun selain tertidur dengan nyenyak.
“Ah … Baby, you feel so good. So tight around me.”
Jungkook mengentakkan pinggulnya dengan penuh tenaga dan ketepatan, menumbuk titik ekstasi Jimin tanpa ampun.
Mereka sudah melakukan ini berkali-kali pagi ini, seperti membalas dendam semalam karena tidak sempat dan sudah terlalu lelah dikarenakan usai acara pernikahan langsung menempuh perjalanan menuju Tokyo.
Pagi mereka diawali dengan Jungkook yang terlebih dahulu bangun dari tidurnya dan langsung membangunkan Jimin dengan cara yang paling ia sukai yaitu memberikan Jimin a blowjob and rimming.
Jimin tentu terbangun dari lelapnya dengan erangan karena nikmat saat ia merasakan sebuah benda basah memasuki lubang sensitifnya, Jungkook memastikan Jimin mencapai puncaknya hanya dengan mulut dan lidahnya.
Setelah membuat Jimin cum 2 kali dan merengek kepada Jungkook untuk segera memasukkan penisnya ke dalam lubang miliknya, sekarang mereka berada di posisi Jimin menungging gaya doggy style dan Jungkook di belakang Jimin memberikan entakan demi entakan mengejar putih mereka.
Jimin hanya bisa menangis dan menerima apa yang Jungkook berikan kepadanya, tubuhnya sudah terlampau sensitif tetapi ia harus menahannya karena Jungkook memiliki stamina yang bagus dan belum juga mencapai puncaknya .…
Jimin berusaha mengeratkan lubangnya untuk Jungkook. Jungkook terdengar terengah-engah saat Jimin terus melakukan itu.
“Sempit banget, even if I fuck you often. Masih aja sesempit ini … so perfect for me.”
“Ah! Yes … uh uh uh.” Jimin hanya bisa membalas dengan desahan.
“I fuck you dumb, huh? Cuma bisa desah aja seperti jalang.”
Oh, Jimin sangat suka kalau Jungkook sudah merendahkannya ketika sedang sex.
Jimin mendesah semakin kencang saat mendengar hal itu, Jungkook juga semakin mempercepat tempo. Sepertinya Jungkook akan mencapai klimaksnya.
Jungkook mendekap tubuh Jimin dari belakang dan menggigit daun telinga Jimin.
“Aku mau keluar, tampung semua cum aku. Be a good boy, huh.”
Jimin mengangguk dengan antusias, setelah itu langsung merasakan cairan hangat menyembur di dalam lubangnya. Membuat dirinya merasa penuh.
Jimin juga merasakan dirinya sampai pada puncaknya, tetapi tubuhnya sudah tidak lagi mengeluarkan cairan. He had a dry orgasm.
Jimin tidak dapat menopang tubuhnya lagi dan langsung terkulai dengan lemas di bawah tubuh Jungkook yang sedang berusaha payah mengatur napas.
“Hi, Jeon Jimin” bisik Jungkook tepat di telinga Jimin.
“Hi, Jeon Jungkook.”
“Ini hanyalah awal.”
Jimin tersenyum dan memejamkan matanya.
Indeed It’s only their beginning.