Chapter Text
Mutsunokami Yoshiyuki tengah duduk di teras kamarnya. Dia belum mulai beres-beres, menimbang-nimbang bahwa masih ada cukup waktu sebelum keberangkatan. Dia fokus menatap pelataran honmaru, pemandangan yang akan segera dia tinggalkan, tanpa tahu apakah bisa kembali pulang.
Dia akan merindukan segala sesuatu di benteng ini. Bunyi pedang beradu dari para ksatria yang berlatih, jejeran bola salju kala musim dingin, kembang api pada malam-malam musim panas, dan gerutuan siapapun yang bertugas menyapu halaman saat musim gugur.
"Lah, malah santai-santai? Kukira kau harusnya sibuk menyiapkan barang untuk dibawa."
Menanggapi jitakan ringan di kepalanya, Mutsunokami hanya tertawa tanpa sama sekali marah. Dia bisa memahami dengan baik, kalau sepintas lalu sosoknya hanya akan terlihat seperti sedang bengong menghabiskan senja.
"Mutsunokami, aku menuliskan catatan ini begitu mendengar kau akan diutus ke luar perbatasan. Ada informasi biasa tentang perjalanan, mungkin kau bisa membacanya ketika senggang."
Mutsunokami menoleh, tersenyum lebar kala menerima buku ukuran saku dari Nankaitarou Chouson. "Hehehe, terima kasih, Sensei."
Dia lalu beralih menadahkan tangan kepada satu orang lagi, satu-satunya yang tadi menjitak tanpa aba-aba, dari belakang pula. "Kau akan memberikan apa padaku, Hizen?"
Hizen Tadahiro sontak mengernyitkan kening, sekalipun sebelah tangannya memang disembunyikan ke belakang punggung. "A-apa sih? Kenapa aku harus memberikan sesuatu padamu?"
"Karena aku akan pergi?"
Sebagai teman-teman dari kampung halaman yang sama, Mutsunokami sudah terbiasa dengan tingkah Hizen yang patuh dan manutnya hanya kepada Chouson saja. Mungkin kepada Aruji juga, tetapi yang jelas, sopan santunnya tidak ditujukan untuk kebanyakan manusia.
"Aku tidak akan repot-repot hanya karena kau akan pergi. Cuma misi biasa, kan. Kalian akan menyelesaikannya sebelum musim berganti."
"Kedengarannya bagus," sahut Mutsunokami. "Kalau selancar itu, aku akan mengambil cuti untuk liburan begitu balik ~"
"Dasar."
Chouson tersenyum tipis. "Hizen bilang begitu, tapi dia bahkan ngotot untuk menyiapkan ini buatmu." Profesor itu menarik tangan Hizen hingga terulur, menampilkan sebungkus cokelat yang terdiri atas bongkahan-bongkahan berbentuk kubus.
"Cokelat? Kau bisa bikin cokelat?"
"Itu sudah dicampur dengan obat yang mempercepat penyembuhan luka. Hizen bilang kau sering ogah minum ramuan-ramuan pahit, jadi dia menyampurkannya ke dalam lelehan coklat." Chouson menjelaskan panjang lebar, pura-pura tidak sadar kalau Hizen sibuk memberinya isyarat agar tidak perlu bilang-bilang.
Mutsunokami berterima kasih sambil menepuk-nepuk kepala Hizen, di mana tangannya lekas ditepis, sebelum rambut si objek menjadi acak-acakan. "Sensei juga begadang untuk menulis buku itu, ngomong-ngomong."
"Benarkah?"
Chouson mengangguk kalem. "Walaupun aku biasanya memang tidur larut juga."
Mutsunokami tergelak. Chouson adalah salah satu ksatria yang memang lebih diandalkan urusan otaknya dibanding kemampuan tempur. Dia penyusun strategi yang bagus, menghabiskan malam-malam untuk menulis dan menempuh perjalanan demi meneliti beragam fenomena. Hizen, dalam hal ini, adalah semacam tangan kanan yang bertugas membantu dan menjaga keselamatan sang guru. Keduanya sama-sama jarang menetap lama di honmaru, makanya dia sesungguhnya tidak menyangka mereka akan muncul sebelum waktu keberangkatan.
"Terima kasih sudah repot-repot. Mau kubawakan oleh-oleh apa?"
"Hmm, benar juga," Chouson terpekur sejenak. "Tanaman langka dari luar yang tidak ada di negeri ini kedengaran bagus."
"Baik, baik, aku akan memperhatikan sekelilingku dengan baik." Mutsunokami meniatkan secara sungguh-sungguh. "Hizen bagaimana?"
"Tidak perlu!" ketus anak itu. "Hanya saja ..." ekspresinya tiba-tiba melunak saat bertemu raut Mutsunokami yang berseri-seri, "kalau kami sudah repot-repot begini dan kau tetap gagal dalam misi, aku tidak akan memaafkanmu."
"Dimengerti."
Kediaman Date biasanya telah padam lampunya di awal malam. Mereka adalah orang-orang yang hidup dengan teratur, meskipun tidak seketat bangsawan tingkat tinggi. Namun, kali ini adalah pengecualian yang jarang. Shokudaikiri Mitsutada tidak mematikan lilin di ruang depan, karena dia masih membutuhkannya untuk menjahit tepi-tepi dua lembar kain.
"Mit-chan, itu untukku?" celetuk Taikogane, yang terbangun dari tidurnya karena kepanasan, dan baru kembali dari mencuci muka, kaki dan tangan.
"Iya," Shokudaikiri membenarkan tanpa mengalihkan pandangan dari jarum. "Yang biru ini jubah untukmu, pakailah supaya tidak dingin di perjalanan."
Taikogane tersenyum lebar. "Keren!" Dia mengambil kain yang tergeletak itu, menyampirkannya ke bahu, lalu berputar-putar. "Terus, yang satu lagi?"
Shokudaikiri mengikat simpul terakhir dari jahitannya, sebelum memutus benang. Kain merah itu ditambahi renda keemasan di tepi-tepinya. Terlihat mewah, dan cukup tebal kalau hanya untuk menjadi sapu tangan. "Untuk Kara-chan."
Ookurikara. Rekan mereka sesama anggota Date, yang punya hobi mengikatkan kain ke pinggang, sekalipun mengaku tidak peduli pada gaya berpakaian. Dia adalah anggota ekspedisi yang pergi dua tahun lalu, tanpa kabar berita hingga kini.
"Kalau ketemu Kara, akan kuberikan!"
"Terima kasih, Sada-chan."
Pada momen itulah, Tsurumaru tiba-tiba telah berdiri di pintu. Pakaian tidurnya lecek, sementara matanya tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Tampaknya pemuda itu telah menghabiskan setengah malamnya untuk berguling-guling di kasur, berusaha tidur tetapi tidak kunjung memejam.
"Eeeh, Karabou dapat sesuatu juga, tapi tidak ada apa-apa untukku?" protesnya dengan lantang.
"Tsuru-san, aku sudah memberikan bagianmu tadi siang."
Tsurumaru berkedip bingung, lalu menampilkan cengiran tanpa rasa bersalah setelah ingat. "Sarung tangan itu, yak. Tapi, Mitsubou, itu masih kurang."
"Lalu, Tsuru-san mau apa lagi?"
Shokudaikiri Mitsutada adalah orang yang sabar. Menghadapi Tsurumaru yang kerap bersikap layaknya bocah, dia tidak pernah kehilangan kalem. Taikogane ikut bingung dengan apa yang dimaksud Tsurumaru, tetapi dia mendadak paham saat tangannya ditarik untuk mendekat.
"Satu, dua, tigaa ~!"
Shokudaikiri tidak tahu seniornya itu menghitung untuk aba-aba apa, tetapi tahu-tahu dirinya telah direngkuh dalam peluk yang hangat dan lama, oleh Tsurumaru dan Taikogane yang serentak geraknya.
"Mitsubou, jaga dirimu baik-baik, oke?"
"Bukankah itu harusnya perkataanku ...?"
"Mit-chan, kau akan sendirian cukup lama di markas Date ini, jangan kesepian, yak!"
"Aku bahkan sudah merindukan kalian sekarang ini."
"Haha!"
Tiga orang itu tertawa lepas, dengan air mata di ujung-ujung pelupuk. Mereka selalu sedekat dan seakur ini, termasuk dengan Ookurikara yang kini akan dicari.
Malam sebelum keberangkatan, Tsurumaru dan Taikogane pada akhirnya tidur di ruang depan, menjadikan paha Shokudaikiri sebagai pengganti bantal. Shokudaikiri sendiri bergeming hingga pagi, dengan tabah tidak mengeluhkan kakinya yang kesemutan.
"Nagasone-niichan,"
"Urashima ...."
Itu adalah pukul lima pagi, dua jam sebelum tim akan berkumpul untuk dilepas secara resmi. Nagasone bangun sejak pagi, tetapi dia tidak menduga bahwa Urashima turut beranjak dari tempat tidur, begitu dia duduk untuk menyingkap selimut.
"Apa aku membangunkanmu?" Nagasone merasa bersalah. Sesungguhnya dia telah berusaha untuk pelan-pelan, jadi sungguh disesalkan jika nyatanya gerakan tersebut masihlah terlampau berisik.
"Tidak, kok."
"Sungguh?"
"Sungguh."
Urashima jujur dalam hal ini. Dia tidak mengelak demi menjaga perasaan Nagasone. Yang sebenarnya terjadi adalah, dia memang belum tidur sama sekali.
"Kalau begitu, lanjutkan tidurmu. Kau ada misi patroli siang nanti, kan? Jangan sampai mengantuk di perjalanan."
Nagasone bersikap seolah-olah misinya sendiri bukanlah hal besar. Dia menyiapkan bawaan layaknya akan bepergian biasa, dan bahkan tidak memulai pembicaraan khusus terkait ekspedisi yang akan ditempuhnya.
"Nagasone-niichan, apa kau ingat ketika aku lolos seleksi calon ksatria kerajaan?"
Nagasone tidak kunjung membahas, jadi Urashima mengambil alih tema dengan sebuah tanya.
"Iya ...?"
Tentu saja dia ingat. Adik kecilnya menampilkan teknik manipulasi elemen tanah yang luar biasa, di mana dia dan Hachisuka menyemangati keras-keras dari pinggir arena.
"Hari itu, Nagasone-niichan dan Hachisuka-niichan membuatkanku puding yang enak sekali."
Dapurnya porak poranda, tapi baguslah karena Urashima tetap menikmati hasil kolaborasi mereka dengan suka cita.
"Begitu? Kami akan membuatkannya untukmu, lagi dan lagi."
Urashima tersenyum. "Karena itulah, Nagasone-niichan pasti akan membawa pulang Hachisuka-niichan, kan?"
Nagasone mengangguk. "Maunya begitu. Kuharap dia tidak terlalu galak ketika kami bertemu nanti."
"Untuk mengantisipasi itu, mengapa tidak membawaku saja?"
"Urashima ...."
"Kalau ini masalah izin Aruji, aku bisa menyelinap di antara bawaan. Aku juga ... mau ikut."
Dia ingin bertemu Hachisuka juga secepatnya, selekas-lekasnya. Pun Urashima tidak pernah ingin melepas Nagasone dalam ketidakpastian, dalam misi yang Hachisuka darinya tak pernah punya kabar.
"Tidak bisa, Urashima."
Namun, sama seperti kakak-kakak lain pada umumnya, Nagasone secara wajar berinisiatif mencegah sang adik dari apapun yang berbahaya. Maka, ide yang disampaikan dengan penuh harap untuk diterima itu, ditepisnya tanpa berniat menimbang-nimbang sekejap saja.
"Kalau begitu, bawalah Kamekichi."
Urashima juga telah paham bahwa gagasannya pasti ditolak. Makanya dia telah menyiapkan opsi lain yang lebih ringan.
"Kenapa Kamekichi ...?"
"Karena itu adalah milikku yang paling berharga."
Urashima pernah melihatnya di buku-buku, kisah di mana dua orang berpisah, lalu yang ditinggal pergi menitipkan sesuatu yang penting sebagai semacam jaminan untuk kembali. Kadang-kadang itu adalah jam saku, cincin, atau batu berharga. Urashima tidak punya yang semacam itu, jadi dia hanya bisa menawarkan penyu kesayangannya.
Nagasone mana bisa menolak kalau sudah begini. Dia mengambil Kamekichi dari tangan Urashima, dan memasukkannya ke dalam saku. Dia mengacak-acak rambut anak itu hingga puas, lalu berlalu untuk cuci muka dan persiapan terakhir sebelum pergi.
Pukul tujuh kurang lima menit, dan orang-orang telah gelisah menunggu kemunculan anggota terakhir tim ekspedisi. Kashuu dan Yasusada telah menghadiri aula sejak pagi, pun Izuminokami dan Horikawa yang bersamaan tibanya. Mutsunokami, Nagasone, Tsurumaru dan Taikogane, mereka juga telah datang setengah jam sebelum waktu yang ditetapkan.
Yagen Toushiro belum menampakkan tanda-tanda keberadaan.
Kamarnya kosong, kudanya tidak di tempat, dan tidak ada catatan yang ditinggalkan. Baru lima belas detik menjelang pukul tujuh tepat, sosoknya memasuki aula dengan tergesa-gesa.
"Aruji, mohon maaf, apa saya terlambat?"
"... Belum, tapi hampir. Apa ada masalah, Yagen?"
Yagen menggeleng mantap, menjelaskan secara ringkas bahwa dia hanya mengunjungi adik-adiknya di panti asuhan Awataguchi, sekian kilometer jaraknya dari honmaru ini. Biasanya Yagen menitip pesan jika hendak keluar pada Atsushi atau Midare, tapi dua saudaranya tersebut tengah menjalani misi berbeda.
Yagen mengunjungi panti seperti biasa-biasanya, setiap akan pergi atau kembali dari misi. Dia mengingatkan Akita agar tidak lupa makan, menasehati Houchou agar tidak overdosis manisan, melatih kuda-kuda tertentu pada Shinano dan Gotou, banyak hal. Dia bersikap seperti biasa, sengaja agar anak-anak itu tetap ceria.
Namun, di pagar panti, dia dicegat sebelum benar-benar meninggalkan halaman. "Yagen, sebenarnya apa misimu kali ini?"
"Honebami-niisan, tumben sekali menanyakan detail?"
"Kau bisa berpura-pura di depan yang lain, tapi kami masihlah kakak-kakakmu ~" Namazuo bersenandung dengan gaya khasnya yang usil.
Yagen menghela napas, menyerah dengan cepat sebelum tanya jawabnya sungguhan berkembang menjadi interogasi. "Aku ... dipilih untuk ikut ekspedisi ke luar perbatasan."
"Eh?!"
"Itu berarti ...."
"Aku akan mencari Ichi-nii, lalu menanyakan secara langsung mengapa dia tidak pulang-pulang selama ini."
Di luar dugaan, petuah-petuah Honebami dan Namazuo ditumpahkan tak habis-habis, hingga Yagen hampir-hampir terlambat. Anak-anak lain yang rupa-rupanya menguping, juga turut menghambur keluar, sehingga dia tertahan lebih lama dari rencana awal.
Aruji hanya manggut-manggut, merasa maklum akan penjelasan Yagen yang memang tidak dibuat-buat. Acara pelepasan segera dimulai, dan untuk kedua kalinya, tim ekspedisi resmi memacu kuda-kuda mereka menerobos perbatasan.
Kali ini, itu adalah ekspedisi terakhir.