Actions

Work Header

Tiga Tanda Tanpa Mata

Summary:

Kedatangan orang itu dimulai dari tiga tanda.

Yang pertama adalah suara langkah kaki yang tidak disembunyikan.
Yang kedua adalah aroma darah kering yang pekat.
Yang ketiga adalah perasaan ngeri yang menyertai entitasnya.

Tapi Achille tidak takut, karena Deon sudah berjanji padanya.

Notes:

Disclaimer: The Way to Protect the Female Lead’s Older Brother belongs to Kin, Juniljus and Baek Ji-Yeon.
Saya tidak mendapat keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: BL, incest, alternate reality, OOC, miss typo(s), toxic relationship, etc.

Settingnya adalah jika Deon memutuskan untuk tidak membunuh Achille.

Selamat membaca.

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

Yang pertama adalah suara langkah kaki.

Suara yang telah dia hapal itu datang saat Achille tengah merampungkan laporan pemanenan racun dari peternakan monster. Langkah kaki yang ringan namun menunjukkan kekuatan, bergema lembut di antara dinding-dinding batu kastil Agriche. Achille tersenyum kecil. Sebagai pembunuh dan pemburu terbaik di keluarga Agriche, pemuda itu seharusnya lebih dari mampu untuk meniadakan suara langkah kakinya. Dia secara sengaja tengah mengabarkan kehadirannya.

Yang kedua adalah aroma.

Bau anyir darah yang sudah mengering.Level kepekatannya tidak melampaui aroma penjara bawah tanah Lante (Achille sebenarnya yakin jika tidak ada aroma darah yang lebih pekat daripada aroma darah di neraka kecil tersebut), namun cukup untuk membuat orang mengosongkan lambung saat menciumnya. Achille menarik napas dalam-dalam, membiarkan bau masam itu memenuhi paru-parunya—tidak buruk. Dia tertawa kecil, menyadari jika untuk hal ini, dia tidak ada bedanya dengan anak-anak Agriche yang lain.

Yang ketiga adalah aura.

Bulu kuduknya yang berdiri. Achille tidak pernah mengerti bagaimana bisa orang itu menebarkan teror hanya dengan keberadaannya saja. Tidak ada satu orang pun di kastil ini yang tidak merinding saat menyadari sosoknya—bahkan Lante sekalipun tidak. Eksistensinya yang bagaikan momok terlalu besar, bahkan dinding yang telah menyaksikan kekejaman Agriche selama beratus-ratus tahun pun tidak mampu membendungnya. Tidak heran dia disebut sebagai dewa maut Agriche.

Achille berpura-pura tidak menyadari. Matanya tetap terpaku pada buku di hadapannya, namun otaknya tidak mau diajak bekerja sama—saat ini dia bahkan tidak mampu melakukan penjumlahan sederhana pengeluaran pakan monster. Tangannya berhenti bergerak, tinta hitam menetes, membentuk bercak lebar di atas kertas akibat pena yang terpaku di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, dia tidak yakin apakah ini merupakan simbol kengerian ataukan penantian—mungkin keduanya, atau justru sesuatu yang lain.

Derak pintu yang didorong hingga terbuka membuat Achille menegakkan punggungnya tanpa sadar.

Dia pulang.

Achille berkeras kepala untuk tidak menoleh, memaksakan diri untuk tetap membelakangi pintu dan menatap laporan di hadapannya—meski kini dia tidak bisa lagi memahami satu kata pun di dalamnya.

Orang itu selalu sukses menyita seluruh atensinya. Membuatnya bodoh.

Obor di samping pintu dipadamkan. Satu-satunya pencahayaan yang tersisa di ruangan itu hanyalah lilin di hadapan Achille, yang bergoyang hebat akibat terembus napas yang memburu (sejak kapan napasnya menjadi begitu cepat?).

Suara langkah kaki terdengar semakin keras.

Aroma darah kering tercium semakin pekat

Rasa ngeri yang menggerayangi tubuhnya nyaris menumpulkan indera.

Andai kata obor di samping pintu masih menyala, saat ini Achille pasti dapat melihat bayangan yang makin memekat seiring dengan jarak yang semakin singkat. Tapi orang itu lebih dari mampu menunjukkan presensinya tanpa perlu melibatkan indera pengelihatan.

Dari dingin yang merayapi punggungnya, Achille tahu jika orang itu kini berdiri hanya dua langkah di belakangnya. Dia sudah tidak bisa berpura-pura tidak menyadari keberadaan orang itu. Dengan suara yang gemetar hebat, dia mengulang pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya tiap kejadian ini terjadi, “Tidakkah seharusnya kau melapor lebih dulu pada ayah setelah pulang dari misi? Mengapa kau menemuiku lebih dulu?”

Tentu saja orang itu tidak menjawabnya—Achille juga sudah mengetahui jawabannya.

Sebagai ganti atas kebungkamannya, sebuah tangan meraih pundak Achille, memaksanya mencondongkan tubuh ke belakang hingga kursinya miring. Satu tangan yang lain mendongakkan dagunya dengan kasar. Tekanan tiba-tiba yang diterima lehernya membuat pekik kaget kecil keluar dari bibir Achille. Namun, sebelum ada suara lain yang sempat keluar, bibir Achille kini terkunci oleh sepasang bibir lain.

Yang terjadi berikutnya terlalu kasar untuk disebut sebagai ciuman. Jilatan, lumatan, dan gigitan menuntut membuat Achille kehilangan kontrol akan tubuhnya sendiri. Dia lupa bagaimana caranya menyeimbangkan tubuh. Andai orang itu tidak menahan pundaknya, niscaya Achille kini sudah jatuh terjerembab di atas lantai batu dengan napas terengah.

Setelah waktu yang terasa seperti selamanya, orang itu akhirnya mengizinkan Achille untuk mengambil sedikit jarak di antara bibir mereka. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Achille untuk mendesahkan nama orang yang telah merobek bibirnya dan membuat darah menetes ke dagu.

“Deon...”

Pemuda yang menjulang di atasnya tidak memberikan respon selain sebuah usapan lembut yang menghapus tetesan darah. Mengecup bibirnya seolah memberi penghiburan.

Achille selalu terpaku tiap kali menatap pemuda yang seharusnya dia sebut sebagai adiknya itu. Rambut hitam yang seolah memerangkap kegelapan semesta, mata merah yang berkilat liar di bawah cahaya lilin, dan kulit yang begitu pucat hingga membuat orang percaya jika tidak ada darah yang mengalir di baliknya.

Benar-benar simbol kesempurnaan yang mewakili keluarga hitam.

Aneh sekali. Ciri-ciri yang sama tedapat pada ayah mereka, namun Achille tidak pernah menganggap Lante Agriche tampan—apalagi sempurna. Namun Deon? Tiap detail pada dirinya selalu berhasil membuat Achille merinding, dia merasa seperti tengah menatap iblis dalam legenda—bukan seseorang yang berbagi separuh darah yang sama dengannya.

“Setengah tahun,” Deon berkata. “Aku sudah tidak melihatmu selama setengah tahun.”

“Tidakkah itu sama untukku?”

Setengah tahun lalu, dari balkon utama, Achille memandang punggung Deon yang menjauh—itulah kali terakhir dia melihatnya. Lante mengirimnya dalam sebuah misi panjang yang membosankan atas nama keluarga Agriche (yang tampaknya didalangi oleh Roxana). Dibandingkan setengah tahun lalu, Deon yang berdiri menjulang di belakangnya kini terlihat lebih tajam. Tulang pipinya menonjol, begitu pula dengan tulang leher dan selangkanya, di bawah penerangan lilin, dagu dan hidungnya terlihat semakin lancip, membuat wajahnya yang separuh tertutup bayangan terlihat seperti lukisan malaikat jatuh yang ada di ruang makan utama.

Achille mengulurkan tangan berusaha meraihnya. “Kau kehilangan berat badan.”

Deon mengelak. Dia membenci bagaimana Achille terkadang memberikan perhatian selayaknya seorang kakak pada adiknya. Dia tidak menginginkan perhatian semacam itu, terutama jika dia datang dari Achille. Dengan mudah, Deon menangkap tangan yang terjulur, tekanan mendadak yang didapatkannya membuat Achille mengerang. “Aku bukan satu-satunya.”

“Benarkah? Kupikir makanan di rumah ini pasti jauh lebih baik daripada di hutan.” Achille bangkit, kursinya terpelanting ke lantai setelah kehilangan penopangnya. Masih dengan satu tangan tergenggam erat, dia merapatkan tubuhnya pada Deon, memeluknya dengan tangan yang bebas. “Kau pergi lebih lama dibandingkan yang aku perkirakan.”

“Anjing-anjing Fedelian berkeliaran di dekat perbatasan. Butuh waktu beberapa minggu untuk menghabisi semuanya.”

“Pasti karena Ayah membawa Pangeran Biru ke kediaman kita.” Achille melepas pelukannya, menggantinya dengan mengalungkan satu tangannya ke leher Deon. Jari-jarinya menyelinap ke balik helai-helai gelap yang sedikit menggumpal akibat darah. “Sebaiknya mereka segera menyerah. Cassis Fedelian tidak akan kembali pada mereka.”

Mata merah Deon menyipit, genggaman pada tangan Achille berubah menjadi cengkraman. “Kau menyukainya?”

“Cemburu?” Achille menikmati bagaimana cahaya di mata Deon berubah menjadi gelap tatapan mata seorang pembunuh. Dia terbahak pada gagasan itu. “Bukan aku. Roxana yang menyukainya—cukup menyukainya sampai dia menjadikan Pangeran Biru sebagai mainan pertamanya. Aku hanyalah seorang kakak yang memikirkan kebahagiaan adiknya.”

Deon melepaskan cengkramannya. Achille mengamati bagaimana bekas merah melingkar di pergelangan tangannya seperti gelang yang menyatu dengan kulit. Besok pagi warnanya akan berubah menjadi biru dan ungu yang indah. Tangan itu menyusul tangan yang lain merambati leher Deon, Achille memasrahkan berat tubuhnya pada laki-laki yang lebih muda, terpesona pada bagaimana beban ekstra itu tidak memengaruhi Deon.

“Jika aku menjadikannya mainanku, apakah kau akan membunuhnya seperti kau membunuh mainan-mainanku yang lain?” Achille bertanya, jarinya menyusuri tepi kerah tinggi baju yang dikenakan Deon, menggoda kulit di baliknya dengan sentuhan-sentuhan kecil menggelitik.

Deon membalas dengan meremas pinggangnya. “Kau tidak membutuhkan mainan.”

“Tentu saja aku membutuhkannya. Pada siapa aku harus menguji coba olahan racun terbaruku saat kau tidak ada di sini?”

“Kau bisa melakukannya pada Jeremy atau Charlotte.” Deon menundukkan kepalanya, berbisik ke telinga Achille dengan suara yang dalam menggoda. “Dan jika itu racun yang sangat luar biasa, kau bisa memasukkannya ke makanan Lante.”

Achille tidak tahu bagaimana ancaman pembunuhan terhadap kepala keluarga mereka dapat terdengar seperti kata-kata cinta. Tapi dia menyukainya—amat sangat menyukainya—terutama jika mengingat beberapa tahun silam dia pernah nyaris mati di tangan Deon akibat perintah Lante. Dikecupnya bibir Deon singkat. Dengan bibir yang masih bersentuhan, dia berbisik, “Aku akan dengan senang hati melakukannya jika menemukan racun yang tepat—sayangnya, dia terlalu kuat.”

Deon tidak menyukai ide itu. “Jangan lakukan. Aku yang akan membunuhnya. Aku sudah berjanji.”

“Jadi kau masih mengingatnya? Kupikir kau sudah melupakannya.”

“Aku belum melupakannya—dan tidak akan pernah.” Deon menarik tubuh Achille hingga keduanya merapat tanpa jarak. Jari-jarinya bergerilya menyusup ke balik kemeja Achille, meraba tulang punggung pemuda pirang itu. Susunan tulang itu terasa lebih menonjol dibandingkan yang dia ingat—Achille benar-benar kehilangan berat badannya selama setengah tahun ini. Deon mengecup dan menggigit pundak Achille, melampiaskan rasa frustrasi yang muncul. “Aku pasti akan membunuhnya. Tapi seperti katamu, dia terlalu kuat. Tunggu aku. Sebentar lagi, kali ini benar-benar sebentar lagi.”

“Jangan terburu-buru. Kau hanya akan mati konyol jika nekad melakukannya.” Achille menghela napas, dia tahu saat ini Deon sedang menghardik ketidakmampuannya menjadi kuat dalam waktu cepat. “Aku akan menunggu. Karena aku tahu, kau benar-benar akan membunuhnya.”

“Aku pasti akan membawakan kepalanya untukmu.” Dengan khitmat dia menjilat bekas gigitan yang dia tinggalkan di leher Achille, menghisapnya hingga meninggalkan jejak keposesifan di sana. “Jadi, jangan lakukan seorang diri.”

Achille mengerang, menancapkan kukunya ke lengan atas Deon yang terbuka. “Tidak akan. Lagi pula, aku tahu aku tidak punya kesempatan.” Dia menurunkan tepi kerah tinggi Deon dengan jarinya, kulit pucat dengan nadi biru terpampang jelas. Achille memberinya kecupan dan lumatan. Hanya beberapa detik yang dia butuhkan untuk memunculkan simbol kepemilikan—agar Deon tahu bukan hanya dia yang merasakan posesifitas di ruangan ini. “Tapi ingat, jangan lupa mengundangku saat tirai utama diangkat. Aku ingin menonton adegan klimaksnya dari bangku terbaik.”

“Jika itu keinginanmu.”

Deon mengangkat tubuh Achille. Dengan satu tangan dia menyingkirkan seluruh benda yang ada di atas meja. Kertas, tinta, buku, dan lilin yang sudah padam jatuh berserakan di lantai dengan suara keras.

Dalam kegelapan, Achille dapat merasakan bagaimana indera-inderanya yang lain menjadi semakin peka. Dia mulai dapat mencium aroma lain di balik bau darah yang pekat—aroma yang mengingatkannya akan biji saga rambat atau belladona. Aroma racun yang telah mendarah daging—aroma kematian. Andai bau darah tidak menyelimutinya, Achille akan dengan senang hati membenamkan hidungnya ke setiap ceruk tubuh Deon. Pemuda itu adalah sebuah legenda hidup. Tidak ada racun mematikan yang tidak pernah masuk ke dalam tubuhnya, membuat setiap tetes darah, tiap cuil daging, tiap mili rambut dan kukunya lebih mematikan dibandingkan apapun. Sebagai master racun, Achille menganggap tubuh Deon merupakan karya seni yang agung.

Dan karya seni agung itu sedang merengkuhnya. Tergesa-gesa merobek kemeja putih yang Achille gunakan. Bibirnya menyusuri dada dan perut Achille, meninggalkan jejak yang terasa panas, membuat Achille gemetar akibatnya. Tangannya meraba celana yang digunakan Achille, meremas bagian terketatnya dengan lembut—menghasilkan lenguhan bernada rendah.

Achille melingkarkan tangannya memeluk punggung Deon. Tubuh yang kuat, penuh dengan otot kering yang membuat pergerakannya cepat dan mematikan. Dewa maut Agriche yang akan membawa kepala Lante ke hadapannya, dewa mautnya. Di balik baju ketat yang membalut, Achille tahu ada kulit kasar yang dipenuhi bekas luka—lama atau baru—yang menjadi saksi akan usaha pemenuhan janji yang mereka buat di hari di mana mereka menginjak remuk dinding persaudaraan di antara mereka.

.

...*...

.

Ketika Achille Agriche menyadari jika dia sudah melampaui masa kanak-kanaknya, dia tahu usianya tak akan lama lagi.

Tidak sekalipun dia pernah diundang ke acara makan malam resmi rutin untuk duduk di salah satu kursi yang diperuntukkan bagi anak-anak terbaik. Lante tidak lagi menaruh harapan padanya. Pandangan dari sang ayah yang tertarah padanya kini hanya berisi kekecewaan. Dan mulutnya mengucapkannya dengan lebih gamblang.

“Kalau kau perempuan, aku bisa menggunakan wajahmu untuk merayu laki-laki di luar sana. Tapi kau laki-laki. Apa gunamu?”

Achille tidak punya jawabannya. Dia tidak seahli Deon dalam menggunakan pedang, tangannya tidak mampu meremukkan batu seperti tangan Fontaine, dan kemampuan sihirnya nyaris dapat dikatakan nihil jika dibandingkan dengan Grizelda. Satu-satunya tugas yang dia dapatkan hanyalah memanen bunga beracun dari rumah kaca... yang bahkan Roxana pun tidak lagi melakukannya sejak usia sepuluh.

Dari seringai Lante, Achille dapat melihat masa depannya. Dia akan dikorbankan. Lebih buruk lagi, yang akan melakukan pengorbanan adalah salah satu saudaranya—mungkin Lante akan mengemas kematiannya sebagai ujian untuk menunjukkan loyalitas anak-anaknya.

Siapa? Siapa yang akan diperintahkan untuk membunuhnya? Dengan ngeri Achille dalam hati bertanya tiap hari.

Fontaine yang bulan lalu didepak dari posisi ketiga oleh Roxana akan dengan senang hati membunuh Achille jika itu berarti kembali mendapatkan kursinya. Tapi obsesinya yang selalu berlebihan dapat dengan mudah dimanipulasi. Jika Achille pandai mencari celah, dia mungkin dapat membuat Fontaine bertarung untuknya—bukan melawannya—dan mati menggantikannya.

Grizelda juga memiliki kemungkinan. Gadis itu tengah menjalankan perintah perdana Lante untuk membuat sihir hitam—sudah berapa banyak mainan dan pelayan yang dikorbankan untuk uji cobanya? Achille tidak dapat mengingat jumlah pastinya—tidak penting. Tapi Grizelda adalah wanita cerdas yang pandai mencari alasan untuk menghindari melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Lante membenci sifat Grizelda yang satu ini, namun bakat putrinya terlalu berharga untuk dipertaruhkan. Karenanya, Lante nyaris selalu bisa menoleransi tiap tindakan Grizelda.

Bisa jadi juga Roxana, adik seibunya, yang posisinya melejit setelah mempelajari teknik merayu laki-laki. Lante tahu afeksi antara Roxana dan Achille. Dia pasti akan sangat menikmati bagaimana Roxana harus membunuh saudara terdekatnya. Tapi Achille meragukannya, Roxana akan lebih mudah dikendalikan jika Lante menjadikan Achille sandra. Memaksa Roxana membunuhnya tidak akan memberi keuntungan apapun untuk Lante ataupun Agriche.

Pilihan terburuk sekaligus yang paling mungkin... Deon.

Putra emas Lante. Semua orang mengatakan jika Deon adalah seorang Agriche sejati yang ditakdirkan menduduki kursi penguasa. Ekspresinya yang tidak pernah berubah meski harus membunuh manusia membuat Achille ngeri. Jika orang yang diperintahkan untuk membunuhnya adalah Deon, maka seluruh pintu untuk selamat sudah tertutup bagi Achille.

Sejak kecil, Deon selalu berhasil membuatnya ketakutan. Anak laki-laki yang mengikuti dalam diam di belakang Maria Agriche yang ceria—namun gila. Sesering apapun Achille dan Deon disandingkan bersama dengan julukan pangeran siang dan pangeran malam Agriche, Achille tak pernah merasa dekat dengannya. Mungkin karena penolakan dingin anak itu atas setiap permen yang ditawarkannya. Achille selalu merasa jika Deon tahu dia tak pernah benar-benar menawarkan permen dengan tulus. Mata merah itu seperti menembus setiap benteng kepolosan yang Achille bangun, menghakimi hasratnya untuk bersembunyi dan berlindung di balik saudara-saudaranya yang lebih kuat.

Hanya sebutir permen yang pernah Deon terima dari tangannya, dan Achille yakin itu tidak akan cukup untuk membuat Deon mengamankan nyawanya.

Nyaris semua prediksi Achille menjadi nyata, kecuali bagian terakhirnya.

Pada hari ujian rutin mereka, di labirin yang hanya dapat dimasuki oleh Lante dan anak-anak yang sudah cukup umur, pria itu memerintahkan putra emasnya untuk menghabisi Achille sebagai bukti kesetiaan.

Achille yang sudah babak belur melawan monster hanya bisa mundur sambil mengacungkan belatinya. Dia takut. Sudah beberapa bulan dia terus bermimpi terbunuh oleh Deon. Jantung yang ditikam dengan belati, leher yang dipenggal dengan kapak, tubuh yang tergantung di pasak dengan nadi yang tersayat mengalirkan darah, tubuh yang dikoyak hidup-hidup oleh monster... setiap malam dia selalu mati dengan cara yang berbeda. Yang sama hanyalah mata merah yang menatapnya apatis.

Namun bukannya membunuh Achille tanpa ragu, Deon hanya berdiri di sana, tanpa emosi dia berkata, “Apa menariknya membunuh yang lemah sepertinya?” Deon menatap Lante dengan mata tanpa jiwanya. “Jika itu Fontaine, aku akan mempertimbangkannya.”

Lante menganggapnya sebagai pembangkangan atas perintahnya. Namun dia tidak bisa mengabaikan kebenaran di balik kata-kata Deon—Achille memang tidak berguna, namun menggunakan Deon untuk membunuhnya jelas merupakan kesia-siaan. Dia memerintahkan untuk melepas tiga lusin monster baru ke dalam labirin sebagai harga atas penolakan Deon.

Achille keluar dari labirin dalam keadaan sekarat.

Sekarat, tapi masih hidup.

Di batas antara sadar dan tidaknya sebelum pintu labirin terbuka, dia bertanya pada Deon, “Apa ini balasan atas sebutir permen yang kau terima?”

“Apa kau pikir nyawamu seharga dengan sebutir permen?”

“Di mata Ayah, mungkin saja lebih rendah lagi.”

Deon tidak menyangkalnya. Tidak ada yang bisa menyangkalnya.

Achille tahu, meski dia selamat di ujian kali ini, bukan tidak mungkin dia kembali akan dikorbankan di ujian yang berikutnya. Satu-satunya jalan agar bisa selamat adalah dengan membuktikan dirinya pantas menyandang nama Agriche. Sayangnya, dia tidak tahu caranya.

Tepat sebelum kesadaran Achille menghilang, Deon berkata, “Jangan terlalu senang. Aku akan menagih harga nyawamu setelah kau sembuh. Dan itu bukan harga yang murah.”

.

...*...

.

Dua bulan setelah ujian terburuk dalam hidupnya, Achille membalikkan keadaan dengan meraih salah satu dari tiga kursi pada acara makan malam rutin bersama Lante.

Persilangan beberapa tanaman beracun legendaris yang dilakukannya telah melahirkan sebuah tanaman baru yang mengerikan tanpa tandingan. Akarnya yang berbentuk umbi mampu mencegah luka menutup, batangnya jika dibakar akan menciptakan gas yang menimbulkan halusinasi, daunnya yang berduri mampu menimbulkan luka menyerupai luka bakar hanya dengan satu sentuhan kecil, bunganya memiliki aroma busuk yang mengundang monster mendekat, dan bijinya dapat membunuh seribu orang sekaligus jika masuk ke dalam sumber air.

Achille melakukannya dengan cara Agriche—menggunakan mayat salah seorang dayang yang dibunuh Maria sebagai medianya. Sesuatu yang dia pikir tidak akan pernah dapat dia lakukan.

Lante begitu puas padanya. Dia memuji Achille sebagai jenius Agriche seolah dia tidak pernah memerintahkan Deon untuk menghabisi nyawanya.

Orang berpikir jika makan malam itu adalah titik balik yang mengubah hidup Achille. Namun mereka salah, ada momen yang lebih penting.

Beberapa minggu sebelumnya, Achille yang setiap lukanya baru saja menutup mendapatkan kunjungan langka dari salah satu saudaranya. Deon datang membawa buket bunga lili lembah (yang tampaknya disiapkan oleh Maria), menagih harga yang harus dibayar Achille setelah Deon menyelamatkan nyawanya.

Saat itu Achille sama sekali tidak menyangka jika harga yang diminta Deon adalah dirinya sendiri.

Dua minggu setelah ujian yang nyaris membuatnya kehilangan nyawa, Achille Agriche kembali mendapati dirinya dalam kondisi sekarat. Para dokter yang merawatnya setelah itu memalingkan wajah dan berpura-pura bodoh akan penyebabnya saat Sierra bertanya. Membuat wanita itu menyimpulkan jika Deon dengan sengaja menyiksa Achille yang baru saja sembuh.

Tapi yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang Sierra pikirkan.

Achille tidak tahu haruskah dia menyebutnya sebagai persetubuhan ataukah pemerkosaan. Maka dia menyebutnya dengan pengalaman pertama.

Pengalaman pertamanya itu benar-benar mengerikan. Yang dapat dirasakannya hanyalah malu, takut, sakit, dan keinginan untuk mati. Mereka masih begitu muda, satu-satunya pengetahuan Achille mengenai hubungan seksual datang dari buku-buku yang dipelajari Roxana. Baginya, semua itu terasa asing dan jauh dari dunianya. Deon mungkin lebih awam lagi, terbukti dari bagaimana dia menggagahi Achille dengan cara bagaikan sedang bertarung melawan naga. Empat tulang rusuk Achille patah akibat kejadian itu, dan jangan tanya apa yang terjadi pada bagian tubuh yang lain.

Saat Achille terbaring mengenaskan di atas ranjang, memuntahkan darah, memohon agar Deon membunuhnya saja saat itu juga, remaja berambut gelap yang menjulang di atasnya bertanya, “Hanya sebesar ini keinginanmu untuk hidup?”

Achille bersyukur memori memudar seiring dengan waktu, membuatnya melupakan sebagian besar rasa sakit yang dia rasakan beberapa minggu setelah pengalaman pertamanya. Dia bahkan lebih bersyukur Deon dapat belajar untuk mengontrol kekuatannya, hingga kali kedua, ketiga, keempat dan seterusnya tidak lagi terasa bagai siksaan neraka. Meski cengkramannya masih tetap menimbulkan lebam, tidak ada lagi rasa sakit yang terasa—bahkan dapat dikatakan jika Achille menikmatinya—sangat menikmatinya.

Deon selalu terburu-buru, mengoyak pakaian Achille seakan itu adalah benda yang paling dia benci di dunia, mencium bibirnya seolah tidak ada hari esok, dan memeluknya bagai kiamat telah di depan mata. Namun di sisi lain, dia meluangkan begitu banyak waktu untuk mempersiapkan tubuh pasangannya.

Jari-jari panjang yang merogoh rongganya bergerak dengan lambat sementara bibir sang empunya sibuk meninggalkan jejak-jejak kemerahan di paha dalam Achille. Sensasi yang ditimbulkannya saat masuk dan keluar dalam tempo lambat yang awalnya terasa menyenangkan mulai membuatnya gila. Bagian dalam tubuhnya telah menjadi begitu sensitif, membuat Achille mengharapkan lebih—lebih cepat, lebih kasar, dan lebih menuntut.

Achille ingin berteriak memaksa Deon segera memenuhi keinginannya. Namun mulutnya terasa asing pada kata-kata. Yang dapat keluar dari sana hanyalah desahan, erangan dan rengekan kecil tanpa arti lisan—dia berharap Deon memahaminya.

Deon mungkin memahaminya, mungkin juga tidak. Namun yang pasti, Deon menikmati frustasi yang menguap dari seluruh tubuh Achille. Menggodanya lebih lama dengan cubitan di dada dan rematan singkat di kejantannya. Deon tahu jika rangsangan-rangsangan itu hanya akan membuat Achille semakin putus asa. Dia juga tahu, semakin putus asa Achille, maka semakin vokal pula dia.

Dia menyukai bagaimana suara Achille menggema pada dinding-dinding batu. Seolah mengumumkan apa yang sedang mereka lakukan. Dia senang merasakan jika Achille menginginkannya sebesar dia menginginkan Achille.

Saat Deon menarik keluar tiga jari yang mengisi tubuh Achille, pasangannya itu mengulurkan tangan untuk meraih leher Deon, memaksanya membungkuk hingga wajah keduanya bertemu. Begitu dekat dengan tubuh Achille, Deon dapat mencium aroma bunga dan getah yang menguar dari kulit putih itu—begitu kontras dengan pekat darah dari tubuhnya. Untuk waktu yang sangat langka, Deon membenci aroma darah. Dalam kehidupannya sebagai seorang dewa maut Agriche, darah adalah bagian yang tidak terpisahkan darinya. Setiap centi kulit di tubuhnya pernah mengecap rasa darah. Namun berpikir jika aroma itu juga akan menempel pada tubuh Achille membuatnya gusar.

Deon melepas tiap pakaian di tubuhnya dengan cara yang sama seperti dia melepas pakaian Achille. Kini saat keduanya sama-sama terekspos, sedikit kesadaran Achille sepertinya telah kembali. Dengan jari-jari yang gemetar, dia menyusuri kulit Deon, meraba bekas-bekas luka baru dengan sentuhan selembut sayap kupu-kupu, seolah dia takut jarinya yang lemah mampu membuka kembali luka itu.

Memeluk Deon, Achille meraba punggungnya, bagian yang tidak dapat dia lihat dalam posisi ini. Menemukan sebuah luka yang jauh dari kata menutup. Luka itu terlalu apik untuk bekas cakaran atau gigitan monster, potongannya rapi—sebuah pedang—namun dangkal. Deon sepertinya berhasil menghindarinya tepat sebelum pedang itu memotong dua tubuhnya.

“Fedelian?” tanyanya.

“Roxana,” Deon menjawab.

Achille menghela napas panjang. Hubungan keduanya selalu seperti berada di atas mata pedang. Mereka selalu berusaha mendorong satu sama lain untuk jatuh ke sisi tajamnya.

“Bukan masalah besar. Dia membenciku karena aku melakukan ini padamu. Kau tahu itu.”

Achille memberikan Deon sebuah kecupan kecil di kelopak matanya sebagai ganti permintaan maaf. “Dia tidak akan melakukannya lagi dalam waktu dekat. Dia terlalu sibuk dengan mainan barunya.”

“Aku akan memanfaatkannya dengan baik.”

Ketika keduanya saling memangut dalam ciuman yang dalam, Achille merasakan sesuatu diposisikan di antara belahan pantatnya—akhirnya. Dia merengkuh Deon lebih dalam saat rongga tubuhnya dijejali oleh sesuatu yang keras. Sensasi yang seharusnya asing dan menakutkan terasa begitu menggairahkan. Dia tahu, setengah tahun ini dia selalu merindukan sensasi ini... sensasi memiliki sesuatu yang seharusnya tidak boleh dia miliki. Tanpa sadar, dia mengetatkan rongganya, membuat Deon mengeluarkan geraman kecil. Otot-ototnya meremat kejantanan Deon seolah tidak sudi melepaskannya, mereka mencengkeram dan memeluknya, memastikan jika mereka mampu membuatnya teradiksi atas kenikmatan itu.

“Setengah tahun,” bisik Deon pelan. “Tapi tubuhmu tetap tidak melupakanku.”

Tentu saja, bagaimana bisa Achille lupa? Imajinasi tentang Deon selalu merajai otaknya tiap kali tangannya berhenti bekerja. Semakin liar dan gelap seiring dengan berjalannya waktu.

Di rumah kaca, dia berkhayal Deon menyentuh kejantanannya di antara semak lavender, menggodanya dengan gerakan perlahan yang membuatnya frustrasi.

Di ruang makan saat makan malam rutin dengan kepala keluarga, dia membayangkan menumpahkan madu bunga andromeda ke atas tubuh Deon dan dia harus menggunakan lidah untuk membersihkannya hingga habis.

Di ruang kerja Lante, dia membayangkan mereka bersenggama di hadapan mayat Lante setelah Deon membunuhnya.

Khayalan-khayalan gila—namun bukan berarti mustahil dilakukan.

Selama beberapa menit pertama, mereka mempertahankan posisi tanpa bergerak. Selama waktu yang digunakan Deon memastikkan jika tubuh Achille tidak akan menolaknya, Achille menggunakannya untuk merekam seluruh detail kejantanan yang tengah menggagahinya. Saat tekanan yang diterimanya berkurang, Deon perlahan menggerakkan pinggulnya, begitu perlahan dan hati-hati.

Semua orang selalu mengira jika seks di antara mereka selalu brutal dan penuh darah. Achille membiarkan kesalahpahaman itu beredar, dia tidak berniat membagi kisah waktu intimnya dengan orang lain. Dia tahu banyak perempuan dan laki-laki yang akan dengan senang hati menawarkan diri untuk menggantikan Achille jika mereka tahu seberapa lembut Deon memperlakukannya.

Biarlah mereka asing pada kebenaran. Tidak perlu lah mereka tahu bagaimana cara Deon menaikkan tempo gerakannya sembari mengecup betis Achille. Atau bagaimana Deon mendekapnya erat tatkala ejakuli mendekat. Dan tentu saja, mereka tidak perlu tahu berapa kali Deon membisikkan kata cinta di telinganya sepanjang malam.

Cukup Achille saja yang tahu.

.

...*...

.

“Hanya sebesar ini keinginanmu untuk hidup?”

Achille tidak menjawab. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Bahkan untuk bernapas pun dadanya terasa seperti akan meledak. Jika kematian dapat menghindarkannya dari rasa sakit yang menggila ini, bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mendambakannya?

“Haruskah aku membunuhmu saat ini juga?”

Achille ingin menjawab ‘ya’. Tapi nyalinya untuk mati merosot karena dia tahu pasti jika Deon akan benar-benar melakukannya jika dia menjawabnya. Maka dia memilih berpura-pura darah mencekat lehernya.

“Jika kau tidak ingin mati, maka hiduplah. Hiduplah sebagai seorang Agriche. Hancurkan segala sesuatu yang mencegahmu untuk tetap hidup.”

Achille tahu apa yang Deon maksud dengan ‘segala sesuatu’. Hanya ada sesuatu yang dapat memutuskan hidup mati para anak-anak Agriche—ayah mereka. Bahkan jika dia bisa membuktikan dirinya berguna, bukan tidak mungkin Lante tetap menginginkannya untuk mati. Menjadi terlalu berguna pun dapat membuatnya kehilangan nyawa jika Lante menganggapnya sebagai ancaman.

Jika dia ingin hidup, maka dia harus membunuh Lante Agriche.

Gagasan itu terdengar tidak masuk akal, nyaris absurd. Lante Agriche adalah pemenang yang membunuh saudara-saudaranya untuk mendapatkan posisi sebagai kepala keluarga hitam. Kekuatan, kekuasaan dan kegilaannya terkenal ke seluruh penjuru negeri, menjadikannya momok bagi siapapun yang mendengar namanya. Bagaimana bisa remaja lemah yang hanya bisa memanen tanaman beracun sepertinya mampu membunuh iblis dalam wujud manusia?

“Jika kau tidak bisa membunuhnya dengan tanganmu sendiri, maka gunakan aku. Aku yang akan membunuhnya. Aku akan membunuhnya untukmu. Mungkin tidak sekarang, namun aku pasti akan membunuhnya.”

Achille yang tidak dapat mengikuti arah pembicaraan ini hanya dapat diam dan menatapnya curiga. Jika Deon ingin membunuh Lante, dia bisa melakukannya dengan kekuatannya sendiri. Untuk apa melibatkan Achille di dalamnya?

Tapi itu adalah tawaran yang menggiurkan.

Achille membuka mulutnya, “Apa harganya?”

“Aku ingin...”

.

...*...

.

Saat Achille tersadar, langit di luar sudah kembali gelap. Dia berbaring di ranjang, di kamarnya sendiri, dengan tubuh berlapis piyama linen yang hangat dan nyaman. Dia tidak yakin apa yang terjadi setelah kali ketujuh Deon memenuhinya, namun sudah jelas, dia tidak akan mampu berjalan dengan kakinya sendiri ke kamar. Dia hanya berharap Deon ingat menutup tubuh mereka dengan jubah atau tirai sebelum membawanya pergi dari ruang kerja—mengingat pakaian mereka sudah menjadi kain tak berbentuk dan mustahil digunakan.

Jika tidak... yah, biarkan pelayan dan penjaga bergosip sesuka mereka. Mereka tahu, moralitas tidak ada harganya di Agriche.

Di balik kelambu ranjangnya, dia melihat siluet seseorang tengah duduk membelakanginya. Mengabaikan rasa ngilu di sekujur tujuh, dia memaksakan diri untuk duduk.

“Jangan paksakan diri jika kau tidak mampu.”

“Roxana?”

“Kau kecewa aku bukan Deon?”

Tentu saja Achille tidak dapat mengakuinya meski memang itulah yang dia rasakan.

“Siang tadi aku membuatnya pergi ke utara untuk mencari bunga beracun yang hanya tumbuh di sana. Aku mengatakan pada ayah jika itu mungkin adalah kunci untuk menetaskan kupu-kupu terkutuk.” Gadis itu mengambil jeda selama beberapa detik sebelum berkata, “Jangan khawatir, aku sudah mengirim seseorang untuk menemaninya.”

Achille hanya tersenyum, permainan Roxana dan Deon yang biasa. “Kupikir kau akan terlalu sibuk untuk memperhatikanku selama beberapa hari.” Dia menyibakkan sedikit kelambu, mendapati aroma racun yang kuat menguar dari teh di hadapan Roxana. “Kali ini, kapan dia akan kembali?” tanyanya.

“Sehari sebelum pesta teh Bibi Maria. Aku membutuhkannya berada di sini saat pesta teh diselenggarakan.”

Achille tidak menanyakan apa yang Roxana rencanakan, hal-hal seperti itu tidak pernah mereka lakukan. Membagi rahasia pada saudara bukan tradisi keluarga Agriche, lagi pula, semua orang tahu, semakin sedikit orang yang tahu rencanamu semakin besar persentase keberhasilannya. Achille sendiri tidak pernah membagi rencananya dengan adiknya—lebih baik begitu. Jadi dia hanya berkata, “Setidaknya bukan setengah tahun.”

Roxana meletakkan cangkir tehnya. Menoleh, memandang Achille yang dalam pendapatnya terlihat menyedihkan. “Mengapa kau melakukannya?” tanyanya, getir nadanya sengaja tidak gadis itu sembunyikan. “Kau adalah salah satu anak terbaik Agriche. Sudah berapa tahun sejak kau mempertahankan posisimu di peringkat kedua? Kau tidak membutuhkan orang itu lagi untuk bertahan.”

“Roxana, kau tidak mengerti. Alasan mengapa aku melakukan ini bukan karena hanya karena aku ingin tetap hidup.”

“Jangan bilang kau mencintainya. Aku tidak akan percaya.”

“Sesuatu seperti itu.” Achille tertawa melihat ekspresi wajah Roxana yang berubah masam. “Aku hanya ingin memilikinya—aku menginginkan memiliki putra emas Agriche dalam genggamanku, menari di atas telapak tanganku, selalu berada di sisiku.”

Roxana mendengus, tidak percaya. “Deon? Jangan bercanda denganku, Achille.”

“Aku tidak bercanda.”

Bekas merah di tangannya sudah berubah menjadi biru ungu indah. Melingkar di pergelangan tangannya bagai gelang, membuat Achille tersenyum.

Di hari Deon kembali, dia akan mendengar langkah kakinya yang tidak disembunyikan, mencium bau darah yang menenggelamkan aroma asli tubuhnya, merasakan bulu kuduknya berdiri hanya dengan keberadaan Deon. Bahkan tanpa menggunakan matanya, dia dapat merasakan Deon.

Ah, Achille benar-benar tidak sabar menunggu hari di mana Deon akan kembali

.

...*...

.

“Aku ingin kau menjadi tuanku, Achille. Aku ingin melayanimu.”

.

...END...

.

Notes:

Aku tidak pernah bagus dalam menulis adegan dewasa. Aku 100% menyadari hal itu. Aku lebih fokus menulis apa yang mereka rasakan secara mental dibanding menuliskan apa yang terjadi secara fisik. Aku tidak yakin haruskah aku memasukkannya ke rating mature atau eksplisit.

Membayangkan apa yang mungkin terjadi jika Deon mengambil keputusan lain selalu membuatku senang. Dan aku lebih senang lagi melihat Deon submisif. Tentang Achille, aku tahu dia terbaca terlalu pandai membaca situasi dan licik dibandingkan di originalnya, tapi aku selalu merasa Achille yang polos hanya ada dalam pikiran Roxana. Bagaimanapun juga, Achille adalah kakak yang diam-diam menaruh racun di camilan dan teh adiknya karena dia tahu itu cara bertahan di keluarga Agriche.

Terima kasih sudah membaca, mohon kritik dan sarannya.