Work Text:
Donghyuck mengulas senyum terbaiknya. Di sinilah dirinya, berdiri dan segera mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan, untuk cintanya. Sehidup sematinya, Huang Renjun. Masih segar di ingatan Donghyuck, bagaimana dirinya menemukan seorang Renjun. Bagaimana dirinya melangkah pada bukit terjal di antara mereka. Bagaimana renjun yang selalu menggenggam tangannya dan berlari bersamanya. Bagaimana dirinya yang begitu mendamba seorang Huang Renjun.
Terlalu banyak kata yang akan ia gunakan jika ia diminta untuk mendeskripsikan seorang Huang Renjun. Terlalu banyak, sangat banyak.
Donghyuck hanyalah pria biasa, dengan segala kekonyolannya di masa muda. Donghyuck hanyalah seorang berandal sekolah yang tidak pernah diidamkan. Donghyuck berhenti mengharapkan hal-hal baik di kehidupannya, hingga Renjun datang, menggenggam tangannya dan menunjukkan sisi baru dunia yang tak pernah ia sentuh sebelumnya.
Donghyuck itu spektrum warna acak yang terus bergerak tanpa henti. Senantiasa berputar, dan berputar semakin cepat hingga orang di sekitarnya hanya bisa menyadari warna putihnya. Tapi renjun berbeda. Dia meraih dirinya, berputar bersama, merasakan indahnya warna dunia bersama dirinya.
Ah, tidak semudah itu rasanya. Donghyuck pun tidak menggapai Renjun semudah itu. Namun, mari kita mulai jalan cerita kali ini dengan bagaimana Donghyuck menemukan seorang Huang Renjun.
***
“nyoh, permen milkita. Daripada nyebat ujung-ujungnya kenak sita, mending emut tuh permen kalok lagi di sekolah, bro” suara pemuda mungil itu menguar di ruangan osis yang sempit. Di sini hanya ada dirinya dan pria mungil itu.
Ya, lagi-lagi rokok Donghyuck jadi korban rampasan razia osis sekolahnya. Bukannya Donghyuck ini pecundang culun amatiran, hanya saja Donghyuck sudah malas main kejar-kejaran dengan Osis ataupun guru BK. Kalau memang mereka mau ya sudah, berikan saja. Paling-paling dia hanya dihukum membersihkan toilet pria, atau lebih beruntung lagi diskors. Enak kan dia tidak perlu repot-repot mencari alasan bolos, wong dirinya sudah dilarang masuk sekolah. Jadi, siapa peduli jika rokoknya itu disita.
“mikirin apaan lu? Gw juga udah capek dah ngurusin lu. Lu lagi, lu lagi. Capek bener ngehukum lu kagak ada kelarnya.”
Pria mungil yang akrab disapa Renjun itu menghela nafasnya panjang. Rasanya, dia sudah cukup muak dengan permasalahan sita menyita saat razia dadakan diadakan. Pasalnya, selalu itu-itu saja yang berulah. Slaah satunya Lee Donghyuck yang kini berdiri di depannya dengan wajah datar setengah mengejek. Sama, bukan hanya donghyuck yang bosan, dirinya juga bosan dengan hukuman dan razia yang sepertinya tidak ada habisnya ini.
“gini aja deh, kalok lu di sekolah, mending emut permen. Gw kagak peduli mau lu ngerokok apa kagak. Tapi ngerokoknya jangan di sini ya bro. mending di luar sekolah aja. Kalok lu ga bisa nahan, noh warung mpok Ijah di belakang terbuka lebar buat lu.”
“sumpah dah, mending lu keciduk cabut daripada kenak razia rokok begini.”
“bukan apa-apa bre, kalok lu keciduk cabut, urusan paling ama BK langsung, kagak usah ke gw. Nah enih kalok lu razia rokok, lu urusannya sama osis lagi. Ketemu gw lagi gw lagi. Bosen nih gw bro mau mulut gw bebusa juga lu mana peduli sih?”
Donghyuck tidak terlalu memerhatikan ucapan Renjun. Fokusnya tertuju pada bibir mungil pria Huang itu yang dari tadi menipis dan mengerucut, berubah tiap dia mengucapkan kata demi kata untuk Donghyuck. Donghyuck terkekeh pelan.
“iye, cil. Gw juga males ketemu sama lu.” Itu kalimat pertama yang Donghyuck rapalkan untuk membalas semua kalimat Renjun.
Renjun memutar bola matanya jengah.
“cal cil cal cil, lu kata gw pildacil?” renjun menatapnya nyalang, namun donghyuck malah memecahkan tawanya nyaring.
“HAHAHAHAHAA”
“ngapain lu ketawa bangsat???” kini Renjun sudah menarik kerah baju Donghyuck, mengangkat satu tangannya ke atas, memberi gestur ingin memukul wajah Donghyuck sekeras mungkin.
“eits, santai-santai, bocil kalok emosian ga tinggi-tinggi entar, HAHAHAHA”
PLAKKK
Satu tamparan mulus mendarat di pipi Donghyuck, membuat sang empu sedikit meringis sekaligus terkejut karena tangan mungil Renjun ternyata bisa membuat wajah sampingnya berdenyut merah.
“kurang ajar, udah baik gw ga ngasih hukuman apa-apa, malah nyolot. Sinting lu bangsat.” Renjun melemparkan sebungkus rokok yang sedari tadi ia pegang kepada donghyuck.
“makan tuh rokok sampek mampus. Ga ada urusan gw sama lu” tawa donghyuck semakin meledak diiringi punggung Renjun yang semakin menjauh dari ruang osis.
***
Begitulah pintu pertama yang Donghyuck buka untuk kisah cintanya dengan Renjun. Sebuah tamparan dan banyak cacian dari Renjun ternyata mampu membuat dirinya tertarik lebih jauh. Selanjutnya, donghyuck tidak banyak tahu. Tentang bagaimana dirinya jatuh begitu saja kepada seorang Huang Renjun. Tentang bagaimana dirinya menjadikan Renjun sebagai rumah ternyamannya. Tentang bagaimana dirinya yang tiba-tiba mengikuti ekstrakurikuler paduan suara hanya untuk mendapat waktu lebih banyak dengan pria Jilin itu. Tentang bagaimana mereka mulai berbagi cerita dan berjaln beriringan. Sungguh, donghyuck tidak banyak tahu. Ia hanya paham, semua yang ia lakukan itu terasa sangat terjal.
***
“lu Narkoba? Seriously, Hyuck?” tangan renjun menggengam kantong plastik yang Donghyuck sembunyikan belakangan ini.
“LU PIKIR GW INI APA HYUCK? HAH???” renjun berteriak, berharap sesak di dadanya bisa hilang.
Renjun, kekasih Donghyuck begitu tertampar mengetahui kekasihnya itu mengonsumsi obat-obatan terlarang. Renjun pikir, dia sudah mengetahui segala sisi hitam dalam hidup Donghyuck. Renjun kira, donghyuck sudah sepenuhnya menjadikannya rumah. Renjun pikir, dirinya sudah cukup membuat donghyuck merasa bahagia. Tapi ternyata tidak, tidak sama sekali.
Saat itu donghyuck berusia 20 tahun, dan sudah menjalani 2 tahun hubungan dengan kekasih tercintanya, Huang Renjun. Dan saat itu sedang hujan lebat di luar, saat Donghyuck pertama kalinya menghancurkan hati orang yang paling ia cintai dalam hidupnya. Saat itu adalah pertengkaran terhebatnya dengan Renjun, rumah ternyamannya.
“gw ini… ga ada artinya.. di hidup lu.. gitu kan, Hyuck?”
Donghyuck hanya diam. Ditundukkannya kepalanya, menghindari pandangannya pada wajah renjun yang sudah penuh dengan air mata. Donghyuck kacau.
“JANGAN DIAM AJA BAJINGAN!!” renjun sudah mencengkeram kuat kaos Donghyuck. Tangan mungilnya sedikit bergetar. Renjun kalut. Donghyucknya, mataharinya, ternyata tidak pernah menganggap dirinya sebagai rumah.
“APA SEMUANYA GA CUKUP HAH, BANGSAT??”
“APA KURANG GW UDH NGASIH SELURUH TUBUH GW BUAT LU, HYUCK!!!”
“APA TUBUH GW INI KURANG BIKIN LU BAHAGIA HAH??”
Air mata lolos begitu saja di pipi Renjun, mengalir semakin deras. Wajah renjun semakin mengeras, Donghyuck, lelaki yang begitu ia cintai ini tidak membalas apapun yang ia ucapkan.
“JAWAB GW BANGSAT!!!” renjun meradang. Segala emosi ia rasakan saat ini, marah, sedih, kecewa, hancur. Renjun tidak tahu harus apa.
“maaf..”
Renjun melepaskan cengkramannya saat Donghyuck mengucapkan kata yang begitu lirih. Kata ‘maaf’ yang nyatanya mampu membuat renjun menangis sejadi-jadinya.
***
Masih terekam jelas di ingatan Donghyuck, saat itu Renjun menangis kencang semalaman. Dan dia hanya bisa mengelus punggung kesayangannya itu. Hatinya mencelos. Donghyuck begitu hancur. Tapi lagi-lagi, Renjun menggandeng tangannya. Menggenggamnya, dan bangkit bersamanya. Lagi-lagi, renjun mengimbangi putaran spektrum milik Donghyuck. Renjun tidak pergi. Renjun tidak berhenti. Tapi, ia memulainya kembali. Renjun dan donghyuck, membangun kembali puing-puing istana yang mereka miliki. Semuanya tidak mudah. Semuanya sangat terjal. Tapi bersama Renjun, donghyuck mau dan mampu melewati semuanya.
***
Donghyuck mengusap rambutnya gusar. Saat itu, ia berusia 25 tahun, dan berdiri di depan studio seni milik kekasihnya, Huang Renjun. Sebuah box kecil berawarna merah dilapisi kain beludru bersemayam di genggaman donghyuck. Sungguh, ini jauh lebih gugup daripada saat ia melakukan sidang wisudanya beberapa tahun yang lalu, ataupun saat ia melakukan presentasi di depan investor terbesar Asia beberapa hari yang lalu. Sungguh, ini jauh lebih mendebarkan.
Renjun yang melihat kekasihnya di ambang pintu segera melambaikan tangannya, mengulas senyum terbaiknya untuk mataharinya. Wajahnya sedikit pucat, deadline customer yang harus ia kejar sungguh menyita waktu istirahatnya belakangan ini. Namun, tidak masalah, lelahnya menguap begitu saja saat melihat wajah mataharinya itu, kekasihnya selama 7 tahun ini, Lee Donghyuck. Senyum renjun semakin melebar saat ia melihat box kecil di tangan Donghyuck. Bukan renjun tidak tahu, ia sangat paham apa yang akan kekasihnya itu lakukan.
“hey, kenapa diem aja sih? Biasanya juga langsung nyelonong masuk” Renjun menarik tangan donghuck, menyeretnya memasuki studionya.
Tangan renjun menyusuri rahang Donghyuck.
“engga usah pakai cincin juga aku akan nerima lamaran kamu, Hyuck. Kamu engga usah ngomong pun, aku akan mau jadi pendamping hidup kamu. Jadi, ga usah gugup ya”
Renjun memiringkan wajahnya, menjinjitkan kakinya, mengecup pelan bibir kekasihnya yang sedari tadi terdiam itu.
Donghyuck yang sudah sedikit sadar saat renjun mendaratkan kecupan singkat di bibirnya itu langsung menarik tengkuk renjun. Melumat bibir kekasihnya itu pelan, menyesap dengan sabar, tidak menuntut. Renjun melenguh pelan, ciuman saat ini sungguh berbeda. Seperti ratusan hingga ribuan ungkapan yang ingin donghyuck katakan padanya tersampaikan begitu saja dengan ciuman saat itu. Renjun meremang, donghyuck semakin dalam melumat bibirnya, memainkan lidah, menari begitu indah di dalam sana.
“ngh– nnhh… hyuck..hh”
Donghyuck melepaskan ciumannya, menyatukan dahinya dengan kekasihnya itu. Mengusap pelan pipi tirus sang kekasih. Mengucapkan kalimat lirih yang sedari tadi ia gumamkan agar tidak keliru. Kalimat yang membuatnya gugup.
“will you.. marry me.. Huang Renjun..?”
Tidak ada balasan dari Renjun. Hanya sesapan yang kembali berlanjut. Renjun kembali mencumbu kekasihnya. Dan bergumam di sela kecupan yang ia berikan.
“yes hyuck.. marry me..”
***
Dan di sinilah Donghyuck saat ini, berdiri dan segera mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan, untuk cintanya. Sehidup sematinya, Huang Renjun.
Janji untuk bahagia selalu, janji untuk hidup dengan baik, janji untuk hidup sehat, janji untuk tidak begadang, janji untuk tidak mengonsumsi gula terlalu banyak, janji untuk tidak memakan junk food terlalu sering, janji untuk tidak merokok, janji untuk tidak memakai obat-obatan terlarang, janji untuk menutup pintu rumah setelah pergi keluar, janji untuk mengurus anjing kecil yang mereka adopsi beberapa bulan yang lalu, janji untuk tetap baik-baik saja. Janji untuk terus melanjutkan hidup dengan suka cita, meski tanpa Huang Renjun.
Hahaha, bagaimana bisa?
Donghyuck mengusap kasar tiap bulir air mata yang membasahi pipinya. Huang Renjunnya itu, kini telah tiada. Rumahnya telah tiada. Lalu, bagaimana Donghyuck harus melanjutkan hidup?
Tepat satu tahun setelah lamarannya, donghyuck 26 tahun, kehilangan poros hidupnya. Renjunnya, pergi meninggalkan dirinya sendiri di sini. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Semuanya adalah takdir Tuhan yang tergores begitu hebat dalam hidupnya. Delapan tahun, tidak pernah sedetik pun Donghyuck berhenti mencintai Renjun. Namun, sepertinya Tuhan jauh lebih mencintai kekasihnya.
“maaf, renjun-ah, sepertinya, aku tidak bisa menepati janjiku. Bawa aku bersamamu renjun-ah”
“renjun-ah, aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Namun Tuhan jauh lebih mencintaimu. Banyak hal yang belum aku lakukan untukmu, untuk kita.”
“tunggu aku di sana renjun-ah”
“aku mencintaimu”
“sungguh, sangat mencintaimu”
[END]