Work Text:
Suara dentingan alat masak terdengar seru di pagi hari sepasang suami menandakan etapa sibuknya dapur kala itu. Sosok yang lebih dominan sedang menikmati kopi sembari melihat suaminya yang berlalu lalang menyiapkan sarapan mereka
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya sang suami kala meletakkan sarapan yang sudah masak di meja makan.
“Indah. Eunsang indah” balasnya singkat
“Oh waw. I didnt expect it, but thank you hubby . Baiklah ayo kita makan!” serunya kembali.
Mereka berdua makan dengan khidmat sembari berbincang kecil di sela-selanya. Sosok yang lebih kecil itu menatap lawannya
“Sayang, hari ini sibuk?”
“Tidak. Hari ini weekend kan?”
“Iya hehe, jadi gini. Papi mau ajak kita makan siang bareng, kata Papi udah lama ga ketemu. Jadinya kangen”
“Boleh-boleh aja sih. Mau berangkat kapan?”
“Habis sarapan boleh ga? Mau main sama adek bayi dulu”
“Boleh, seneng banget yang baru punya adek” suami kecilnya itu memang baru saja memiliki seorang adik dengan umur yang terpaut jauh.
Iya
Mertuanya itu memutuskan untuk menikah kembali dengan lelaki yang sekarang dipanggil Papa oleh Eunsang. Sosok yang ia panggil Papa itu terpaut umur yang sangat jauh dengan Papi kandungnya dan mereka baru saja dikaruniai seorang anak yang lucu. Oleh sebab itu lah, usia Eunsang dan adiknya terpaut sangat jauh.
Bagi Eunsang, apapun yang membuat Papinya bahagia akan ia turuti. Memang awalnya Eunsang membutuhkan waktu, ketika sang Papi datang bersama lelaki muda dan mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang serius. Eunsang takut jikalau pasangan Papinya hanya mengincar harta seperti drama opera sabun yang sering ia tonton. Namun, setelah dua tahun menjalin hubungan, Eunsang merasa bahwa memang sang Papi membutuhkan sosok pendamping untuk menemani masa tuanya. Ia tidak mau sang Papi harus merasa kesepian dan sendirian, apalagi dulu Eunsang sudah bertunangan dengan suaminya yang sekarang, Junho.
“Sayang?”
“Ah, maaf. Kenapa?”
“Engga. Aku cuman bilang aja, habis ini aku siapin mobilnya, ya?”
“Ahh, okey aku siapin baju-baju kita dulu yaaa. Nanti kita nginep, ya? Ya?”
“ Anything for my husband ”
“Thank youuuu! Eunsang sayang Junho!” Eunsang memberikan kecupan kecil di pucuk bibir sang suami. Sesaat ia ingin menarik badannya, sang suami menahan tengkuk Eunsang kemudian memberikan ciuman dalam dan lama, membuat Eunsang terbuai.
Semoga mereka tidak lupa bahwa mereka harus bersiap-siap
Perjalanan selama satu jam itu ditempuh oleh sepasang suami yang sekarang sudah memasuki pekarangan rumah asri milik orang tuanya. Sesaat mereka berdua membuka pintu rumah, sudah diberi sambutan oleh kedua orang tuanya dengan bayi yang tertidur di gendongan salah satu pria dewasa.
“Adik bayiiiii” teriak Eunsang menghampiri adiknya
“Pah, pih” sapa Junho mendekat ke arah mertuanya
“Halo nak, apa kabar?” sapa Papa Eunsang, Lee Dongwook kepada menantunya sembari menepuk pelan pundaknya
“Baik pih. Papih gimana?”
“Barely survive, maklum ada si bayi sekarang”
“Ah iya juga ya. Semangat pih”
“Kapan nyusul?” kini goda sang mertua
“Junho mah apa kata Eunsang aja. Eunsang katanya mau punya dedek bayi kalau udah selesai kuliah S2 nya”
“Yaudah kalau gitu, jadi ini papih disuruh sabar juga buat nimang cucu?”
“Nimang anaknya dulu lah pi” tawa Junho menggoda sang mertua, dibalas tawa renyah pula dari sang lawan. Junho bersyukur mendapatkan Eunsang beserta keluarganya yang sangat ramah dan tidak kaku.
“Aduh, aduh. Ini anak papih tuh Junho ya? Kok malah yang dicari pertama adik bayi?” rajuk Dongwook kepada sang anak
“Eyyyy, udah tua masa cemburu sama bayi? Adeek itu papih masa ngambek” adu Eunsang yang masih setia berbicara pada bayi gembul
“Udah ih, adeknya tidur itu. Nanti susah kalau bangun, papa yang capek”
“Yaah padahal Eunsang mau main sama adek, makanya berangkat pagi. Huf”
“Ini nih, emang bener. Kalau ga disuruh kesini, ga bakal kesini. Sekalinya kesini yang dicari adek bayi” Eusang terkekeh mendengar penuturan sang Papi kemudia berjalan mendekat memeluk kedua orang tuanya
“Aduh aduh. Eunsang kangen juga kok sama kalian berdua. Yuk udah ah ke ruang tamu aja, masa kita berdiri di deket pintu gini” Eunsang menarik kedua orang tuanya meninggalkan sang suami yang menatap punggungnya dengan senyum lembut.
Kini mereka berempat, minus adek karena bayi gembul itu sudah ditidurkan di kamar orang tua Eunsang.
“Pih, tadi ya masa pas Eunsang perjalanan kesini. Tempat makan chinese food kesukaan kita rame banget. Eunsang jadi pengen deh, udah lama banget ga makan”
“Oh iya? Papi udah lama juga sih ga makan. Sekarang kan ada papa kamu yang masak”
“Iya, ya. Siang ini mau ga kalau kita makan disana? Ya? Eunsang pengen banget” Dongwook melihat kearah Jeno, sang suami untuk menanyakan kesediannya
“Hmm, kalian bertiga aja gimana? Papa ga bisa ninggal adek, ga berani juga ajak adek ke tempat rame”
“Yaaah, kan Eunsang maunya makan bareng” pundak Eunsang menurun dengan diselingi nada kecewa. Jeno menggigit bibirnya, merasa tidak enak pada Eunsang, ia berusaha memutar otak
“Bagaimana kalau kita beli aja tapi di bawa pulang? Kita makan bareng dirumah?” usul Jeno membuat Eunsang kembali tersenyum cerah
“Ide bagus!!! Call!! Papa dirumah aja sama adek nanti kita yang take away, gimana?”
“Boleh” jawab Dongwook
OEEEEEEKKKK
Suara bayi menangis terdengar hingga ruang tengah mereka, menandakan bayi gembul itu terbangun dan mencari sumber makanannya
“Aduh lil boss bangun nih, papa masuk dulu ya?”
“Okey papa” Jeno beranjak pamit dan memasuki master bedroom yang berada tak jauh dari ruang tengah
“Yaudah, ini mau berangkat sekarang?” tawar Dongwook
“Hmm, iya deh. Takutnya makin rame terus ga keburu makan siang. Tadi aja antreannya panjang banget”
“Yaudah yuk, papa siapin mobilnya”
“Oh iya, Junho di rumah aja gimana? Kasian tadi udah bawa mobil sejam kesini” usul DOngwook melihat menantunya
“Eh, gapapa kok pih. Junho aja yang nyetir. Cuman sejam aja, ga capek lah kalau suruh nyetir 15 menit lagi”
“Tapi papi bener sih sayang, kamu dirumah aja ya? Kasian kamunya juga capek, boboan dulu aja biar seger” Junho terdiam mendengar penuturan sang suami dan mertuanya
“ Are you sure? ” Junho menatap Eunsang kembali
“ Of course, absolutely sure . Emang aku kenapa? Kamu nih aneh-aneh aja. Lagian aku perginya sama papi iniiii, deket juga”
“Bener jun, kamu tuh ya aneh. Sebelum sama kamu, Eunsang juga apa-apa sama papi. Ga percayaan banget”
“Bukan gitu loh pi maksud Junho”
“Hahaha, iya iya nak. Udah kamu istirahat aja ya, tiduran dulu. Kalau mau buat minum langsung aja ke dapur atau mau cemilan juga ada di kulkas”
“Siap pih” balas Junho dengan senyuman khasnya
“Hati-hati ya sayang” Junho mengusap puncak kepala Eunsang
“Ay ay captain! Aku berangkat dulu ya sama Papi” Eunsang memberikan kecupan kecil sebelum keduanya menghilang dari pandangan Junho
Junho mendesah, memutuskan untuk memasuki kamar lama Eunsang untuk mencuci kaki dan tangannya lalu merebahkan punggungnya untuk beberapa saat. Ia juga tidak bisa berbohong kalau perjalanan sejam membuat pinggulnya sedikit kaku. Mungkin ia hanya butuh memejamkan matanya sebentar. Toh sudah diperbolehkan oleh pemilik rumah sendiri, ia tidak perlu merasa tidak tahu diri sebagai seorang tamu walaupun statusnya adalah seorang menantu.
Tidak membutuh waktu lama, Junho kini sudah tertidur di ranjang luas milik suaminya. Ia terlalu lelah untuk sekedar membuka matanya, ditambah suhu ruangan yang dingin dan selimut tebal yang menyelimutinya membuat tubuh Junho merasa nyaman
Tidur nyenyak Junho terusik ketika ia mendengar suara seperti isakan dari luar kamarnya. Ia mencoba menajamkan telinganya terlebih dahulu, ia takut hanya salah dengar. Junho beranjak dari berbaringnya dan memfokuskan pendengarannya kembali sembari berfikir, siapa yang menangis di rumah ini. Beberapa menit Junho tunggu, suara isakan lirih itu masih terdengar. Tidak mungkin jika itu dari adik Eunsang, karena tangisan bayi sangat berbeda dengan isakan orang dewasa. Sesaat Junho berfikir, ia baru menyadari di rumah ini masih ada papa mertuanya, Jeno yang memungkinkan menjadi sumber suara isakan yang ia dengar sekarang.
Junho beranjak dari ranjang Eunsang untuk menilik apa benar Jeno yang menangis diluar, ia khawatir terjadi sesuatu buruk yang menimpa hingga membuat papa mertuanya itu menangis. Junho membuka pelan pintu kamarnya, ia bisa melihat punggung Jeno dari belakang sedang terduduk di sofa ruang tengah. Pundak Jeno yang bergetar naik turun akibat isakan yang belum mereda, membuat Junho memberanikan diri untuk mendekati papa mertuanya.
“Papa?” panggil Junho ragu. Suara Junho mengejutkan Jeno, buru-buru Jeno menghapus air matanya lalu menoleh ke arah Junho
“Eoh? Junho? Papa pikir, Junho ikut beli makan siang sama tadi” jawab Jeno berusaha menetralkan suaranya sedangkan Junho sudah mengambil duduk di sebelah sang Papa
“Pa, maaf kalau Junho lancang. Tadi Junho denger dari kamar Eunsang kalau Papa nangis, Papa ga papa?” Jeno terdiam, tidak menjawab pertanyaan Junho. Ia menundukkan kepalanya dan memilin jarinya sendiri. Junho yang menyadari itu, kemudian menambahkan
“Kalau Papa ga bersedia jawab juga gapapa. Kalau Papa butuh tempat cerita, bisa ke Junho. Junho kan juga anak Papa sekarang”
“B-bukan gitu” Junho mengernyit bingung dengan jawaban Jeno
“Iya pa, gapapa kalau Papa belum siap cerita. Kalau gitu Junho siapin piring dulu ya” sesaat Junho akan beranjak, lengannya ditahan oleh Jeno. Junho kembali duduk dan menatap Jeno lembut
“Iya ada Pa?”
“Janji Junho ga bakal ketawa?”
“Ya mana mungkin Junho ketawa sama alasan yang bikin Papa nangis” muka Jeno memerah hingga ke telinganya. Ia merasa malu harus menceritakan ini kepada menantunya. Tapi ia merasa tidak enak dengan Junho saat Junho sudah khawatir padanya namun ia malah tidak menghargai usaha Junho.
“I-ini” kini salah satu tangan Jeno sudah berada di dadanya sendiri, Junho kembali mengernyit bingung.
“Iya Pa? Gimana? Sorry Junho belum paham”
“Ini, ga keluar-keluar” suara Jeno semakin lirih di setiap katanya. Bibir Jeno sudah bergetar lalu ia menggigit bibirnya sendiri.
“Udah susah keluar dari kemarin, sampai sakit. Udah pakai pumping masih belum bisa. Nanti a-adek gimana” isakan Jeno kembali terdengar di telinga Junho. Sang menantu kini paham maksud dari Papanya itu, pantas ia melihat botol dan pumping tergeletak di meja. Kenapa ia tidak sadar sedari tadi.
“ Oh, God. Junho feels so sorry . Papa udah cerita ke Papi?” Jeno menggeleng dan masih terisak
“N-nanti kalau Mas Dongwook marah gimana?”
“Marah? Marah kenapa? Ga mungkin Papi marah sama Papa”
“Ya, marah ga bisa jadi Papa yang becus buat adek”
“Papa…Ccoba dulu ya cerita ke Papi. Selama Junho kenal sama Papi, Papi bukan orang yang judgmental, biar Papa juga ga kepikiran kaya gini” kata-kata Junho tidak membuat Jeno menghentikan isakannya, membuat Junho kebingungan sendiri bagaimana membuat Papanya ini menjadi lebih baik
“Pa….” Jeno menoleh ketika namanya dipanggil oleh Junho, sedangkan Junho bisa melihat linangan air mata sang Papa
“Sebenernya Junho pernah baca sih, kalau dengan dipijat sama bantuan orang lain bisa membantu agar lancar keluarnya. Hmm… Papa mau Junho bantu ga?” tawar Junho ragu, ia juga bisa melihat mata Jeno terbelalak akibat terkejut dengan tawaran Junho
“Ah! Lupakan pa, maaf. Anggap aja Junho tadi nga —”
“J-junho mau bantu?” kini suara Jeno memotong racauan Junho
“Gimana?” tanya Junho bingung, ia ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau Jeno tidak menyetujui tawarannya
“Junho mau bantu Papa?”
“Y-ya, Junho bakal bantu kalau Papa ga keberatan” jawab Junho kikuk
“Y-yaudah kalau gitu Papa bersedia” ujar Jeno terbata karena malu, meminta bantuan seperti ini kepada menantunya
“O-oke, kalau gitu Junho ambil oil dulu di kamar Eunsang bi-biar ga sakit” Junho yang juga merasa malu dan canggung segera berlari ke kamar Eunsang untuk mengambil minyak oles.
Sembari Junho mengambil oil untuk Jeno, sekarang Jeno sedang membuka seluruh kemeja yang mana menampakkan bagian atasnya tanpa sehelai benang pun kemudia ia bersandar pada sandaran sofa.
Junho telah kembali dengan oil di genggaman tangan kanannya, ia melihat mertuanya memejamkan mata dengan tubuh polosnya. Junho merasa gerah hingga mukanya ikut memerah melihat pemandangan yang tak biasa di depannya. Tubuh mulus dan molek Jeno terpampang jelas, kulit putih Jeno menambah kesempurnaan tubuh milik mertuanya. Selain itu, yang jadi pusat perhatian Jeno berada di dada berisi milik Jeno. Junho melihatnya agak sedikit ngilu ketika dada Jeno kini membesar dibanding ukuran dada lelaki pada umumnya, lalu sedikit keras karena cairan yang tidak bisa keluar itu. Bagian noktahnya yang terlihat membengkak karena hisapan pumping yang tidak membantu
“Junho?” panggil Jeno ketika melihat Junho hanya terdiam melihatnya, ia pun merasa malu saat menunjukkan tubuhnya seterbuka ini kepada menantunya
“Ah iya pa? Maaf, ini Junho gimana ya mau ngolesnya? Kalau dari samping keliatannya agak susah” ujar Junho mengambil duduk di sebelah Jeno
“Ah iya ya, aneh ya kalau mijat miring. Gimana dong?”
“Hmm, kalau Papa duduk disini gimana….” tanya Junho lirih sambil menepuk pahanya. Lagi-lagi tawaran sembrono Junho berhasil membuat Jeno terkejut
“Hm— tapi Papa berat”
“Ah, engga kok Pa. Junho masih bisa nahan”
“Okey kalau itu buat Junho lebih mudah” kini Jeno beranjak untuk duduk di pangkuan Junho. Jarak mereka yang bisa terbilang intim dan dekat membuat Junho meneguk ludahnya. Dada sang mertuanya kini sudah berada tepat di depan matanya dan hanya berjarak beberapa centi saja. Nafas Junho juga terkesan tertahan dan keluar terbata
“Is it okay?” tanya Jeno
“Harusnya Junho yang tanya gitu pa. Papa nyaman ga duduknya? Nanti capek ga?”
“Papa gapapa sih, mungkin kalau kelamaan Papa bakal capek soalnya ga ada sandaran” mendengar ucapan Jeno, Junho segera mengangkat pahanya tiba-tiba. Jeno terkejut dengan aksi Junho barusan. Ia semakin terdorong maju menduduki bagian privat Junho dengan kedua paha Junho yang bersentuhan dengan punggung polosnya
“Kalau gini Papa bisa sandaran di paha aku, duduknya agak majuan gini gapapa kan?”
“G-gapapa” jawab Jeno terbata.
Posisi mereka saat ini, Junho duduk bersandar di sofa dengan Jeno yang menduduki Junho di atas area privatnya kemudian Jeno juga bersandar di paha Junho yang berada di belakangnya.
“Okay Junho mulai ya, Pa. Kalau misal ga nyaman, capek atau sakit bilang aja. Nanti Junho berhenti” Jeno mengangguk, sepakat dengan usulan Junho.
Junho mulai melumuri telapak tangan dengan oil yang ia bawa tadi, terasa licin namun sedikit lengket tertinggal di tangannya. Ia meneguk ludah sebentar sebelum menyentuh gundukan milik mertuanya itu. Pelan Junho meraih bagian bawah gundukan milik Jeno dengan sela ibu jari dengan telunjuk seolah mengukur seberapa besar gundukan itu.
“Ssssh”
“K-kenapa Pa?” tanya Junho takut-takut
“Ehmmm lanjutkan, Papa hanya terkejut saja”
“O-okay Junho lanjutkan ya Pa” tangan Junho yang suda sempurna menangkup gundukkan itu namun dari bawah, menggoyang-goyangkan kedua gundukan itu membuatnya bergerak saling bertemu satu sama lain.
Junho benturkan kedua gundukkan itu berulang kali dengan menggoyangkanya, gundukkan itu terus bergerak seirama. Setelah Junho merasa cukup, Junho memberikan gerakan memutar di bagian luarnya, di mulai dari lipatan bawahnya memutar hingga ke atas, masih setia menggunakan perpotongan ibu jari dan telunjuknya.
Tangan Jeno yang awalnya menggantung kini meremat celananya sendiri akibat pijatan Junho. Matanya mulai memejam menikmati pijatan dari tangan Junho yang kasar. Junho yang merasa tangannya kembali kering, ia menuangkan minyak di telapak nya lagi dengan jumlah banyak. Telapak yang penuh dengan minyak itu, mulai berani meraup gundukan milik Jeno. Junho meraup gundukan itu dari depan, kemudian memutarkan telapak tangannya
“AHH — HMP” tanpa sadar Jeno mengeluarkan desahan keras yang kemudian ia bekap mulutnya dengan punggung tangannya.
Sial .
Jeno sangat malu, mengeluarkan suara tak pantas hanya karena menantunya menyetuh dadanya secara utuh dengan menggunakan telapak tangan Junho. Ia bisa merasakan dadanya diberikan gerakan memutar, membuat perutnya juga serasa berputar. Sensasi geli dan nikmat Jeno rasakan. Telapak tangan Junho yang kasar bersentuhan dengan noktahnya yang membengkak, membuat friksi itu menghantarkan kenikmatan.
“P-papa kalau mau bersuara gapapa. Maksud Junho, itu wajar. Junho bakal menulikan telinga Junho. Gausah malu ya Pa” Junho yang masih terbata, fokus dengan gundukan di depan matanya yang bergerak sesuai gerakan tangannya
Junho menggesekkan telapak tangannya dengan noktah coklat Jeno secara cepat, naik dan turun membuat gundukan itu juga ikut bergerak
“Sssh J-junho j-jangan seperti itu. Geli. P-punya Papa gatal Jun —” racauan Jeno membuat Junho berinisiatif memberikan remasan kuat secara tiba tiba
“HOO-OOUH”
“Sebentar ya, Pa. Ini dipijat dulu seperti ini” Junho mulai meremat dan meremas gundukkan itu. Awalnya gerakan Junho terasa berpola dengan rematan halus dan lama. Namun, berjalannya waktu Junho gemas dengan gundukkan mertuanya itu sendiri, sehingga ia mulai meremat dada Jeno sesuka hatinya.
Junho mulai menggoyangkan keduanya membiarkan gundukkan besar itu bertemu, kemudian merematnya kembali dari depan beberapa kali hingga gundukan itu muncul di sela-sela jari Junho karena kuatnya rematan Junho. Kemudian Junho lanjutkan meremasnya dari samping membuat gundukan itu mengerucut dan semakin membesar ke depan karena ia meremas dari samping.
“OOHH—” desah Jeno kembali, tangannya Jeno berubah meremat celana yang masih ia kenakan
Dada Jeno kini terlihat mengkilap dan memerah karena oil dan hasil rematan Junho.
“Tahan ya Pa” ujar Junho sebelum jarinya memncet noktah bengkak Jeno
“AH— sa-sakit”
Fuuh
Junho meniup noktah itu bergantian agar mengurangi rasa sakitnya
“Noooo, jangan ditiup” tubuh Jeno semakin menggeliat di pangkuan Junho, menggesek area privat milik Junho dengan bongkahannya.
“Sshhh” Junho mendesis ketika merasakan friksi di bagian bawahnya.
Junho melanjutkan aksinya dengan mencapit noktah itu berulang kali, berusaha untuk mengeluarkan cairan yang tidak bisa keluar. Usaha Junho itu terkesan tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Junho kembali mengulangi remasan dari samping, kemudian mengurutnya seolah Junho sedang memerah susu.
Junho remas dan urut berkali-kali sesekali diselingi jepitan kedua jari Junho di noktahnya, berharap cairan putih akan keluar dari lubang kecil noktah milik Jeno.
“J-junho s-sebentar lagi” ucap Jeno terbata disela desahannya
Junho berfikir ia akan fokus kepada satu gundukan dulu agar lebih cepat keluar.
Tangan kanan Junho meremas gundukan dari samping dan menariknya, sedangkan tangan kirinya ia buat mencapit noktah bengkak Jeno. Butuh lima kali remasan, kemudian cairan putih yang encer itu bisa keluar dari lubang kecil milik Jeno.
“K-keluarrrr AHHHH—” bulir demi bulir terus mengucur deras tanpa henti memang awalnya hanya sedikit, seketika Junho meremas lagi gundukkan itu, cairan putih milik Jeno semakin deras keluar
Junho yang baru pertama kali menyaksikan cairan encer itu sepanjang hidupnya keluar dari gundukan yang ia remas, ia merasa terpana. Junho yang terpaku menatap cairan itu, menggerakkan tangan nya tanpa sadar, seolah tangannya sudah di atur untuk meremas gundukkan milik Jeno.
“J-junho b-berhenti dulu. Udah banyak banget” Junho terkisap dan tersadar dari lamunannya
“O-okay kalau gitu yang sebelahnya ya, Pa”
“Ini gimana keluar terus”
“Gapapa, Pa. Nanti juga berhenti sendiri kan”
“Tapi i-itu m-muka Junho. B-bajunya juga” Junho tidak sadar, jika cairan Jeno keluar deras hingga mengenaik muka dan bajunya. Ia bisa merasakan tetesan itu mengalir ke bawah sampai ke mulutnya, rasanya hambar namun Junho ingin merasakan lagi
“Ahhh. It’s okay, Pa ”
Junho kembali melanjutkan aksinya, ia raup gundukkan sebelah kiri terlebih dahulu kemudian ia remas dengan agak kuat. Tidak lupa kedua jarinya mencapit dan sesekali ia tarik noktah bengkak itu
“Ahhh— jangan ditarik seperti itu” Junho tidak menghiraukan ucapan Jeno, ia masih setia meremas dengan kuat berulang kali hingga cairan milik Jeno sedikit demi sedikit keluar di lubang kecil noktah Jeno.
Junho yang melihat cairan itu mulai keluar sedikit, ia remas semakin kuat agar aliran itu menjadi deras.
“Yeees” desah Jeno saat merasa cairan di gundukannya keluar dengan deras
Junho yang merasa puas, terbesit di pikirannya untuk meremas kedua gundukan Jeno. Ia ingin melihat cairan Jeno keluar dengan deras secara bersamaan, karena Junho merasa harusnya sekarang lebih mudah untuk mengeluarkan cairan Jeno.
Junho meremat kuat kedua gundukan secara bersamaan, menghasilkan desahan keras dari Jeno dan cairan yang tidak berhenti keluar dengan keras.
“U-udah J-jun. Stop . Nanti abis. S-sayang. B-buat a-adek” mata Jeno sudah menutup dan membuka akibat remasan Junho disela desahan yang tidak bisa ia tahan lagi. Permintaan Jeno sebagai tanda berakhirnya pijatan dari Junho.
Deru nafas keras dan berat dari Jeno terdengar sangat jelas di telinga Junho. Junho bisa melihat Jeno yang sudah bersandar lemas di pahanya dengan noktah yang terus mengeluarkan cairannya, kepala Jeno juga sudah mendongak ke atas dengan mata yang terpejam.
Shit
Posisi Jeno saat ini terlihat begitu menggoda bagi Junho, ia juga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari cairan yang sudah tidak sederas saat di remas itu. Junho berfikir bagaimana rasanya kalau ia diberi kesempatan untuk merasakan cairan itu langsung dari milik Jeno. Pikiran tidak pantas Junho itu tanpa sadar membuatnya melamun sehingga mendapat perhatian dari Jeno sendiri
“K-kenapa diliatin kaya g-gitu?” tanya Jeno yang sekarang sudah sadar dari kenikmatanya
“Ah, sorry Pa. T-tugas Junho udah selesai. N-nanti Pa—”
“Junho pengen?” potong Jeno kembali, ia tahu Junho melihat gundukkan dengan tatapan lapar, seolah-olah Junho bisa kapan saja melahapnya.
“A—”
“J-junho boleh kok, t-tapi kalau Junho mau saja” ucap Jeno terbata. Ia malu memberikan penawaran itu kepada Junho. Entah apa yang merasukinya sampai ia bisa mempunyai pikiran tidak pantas itu pada menantunya sendiri.
Tanpa butuh waktu lama, Junho mendekatkan wajahnya di gundukkan itu kemudian ia mengusakkan wajahnya diantara kedua gundukkan Jeno. Sial . Empuk dan lembut sekali dada milik Jeno. Setelah puas mengusak mukanya, ia arahkan mulutnya ke noktah Jeno yang sudah mengeras itu. Awal noktah itu memasuki rongga mulut Junho, Jeno sudah berteriak. Rasanya sangat luar biasa, ini bukan pertama kali bagi Jeno merasakan dadanya dikulum, namun sensasi berbeda diberikan oleh Junho membuatnya hilang akal.
Junho yang awalnya hanya mengulum noktah kanan milik Jeno, sekarang sudah bulai menghisap noktah itu dengan kuat sampai pipi dari Junho cekung ke dalam.
“Ahh— k-keluar sebentar lagi” betul kata Jeno, tidak lama memang cairan Jeno keluar deras memasuki mulut Junho hanya dengan tiga kali hisapan kuat dari Junho. Jeno fikir ia mulai sensitif sehingga cairannya bisa keluar dengan cepat.
Jeno menunduk melihat Junho dengan tekun menghisap noktahnya seolah ia seperti bayi yang sedang kelaparan. Tangan Jeno hanya bisa meremat rambut Junho untuk menyalurkan kenikmatannya, sedangkan matanya sudah sekuat tenaga untuk terbuka.
“Ssshh— kaya bayi. J-junho kaya adik pas nyusu”
Suara srup yang kuat terdengar di penjuru ruang tengah, mereka berdua tidak sadar melakukannya di ruangan terbuka. Cairan yang terus keluar dari gundukkan Jeno membuat pipi Junho menggembung.
“H-hisap terushhh—” saat Junho rasa mulutnya penuh, ia akan menelan cairan itu. Kemudian ia menghisap kuat dan mengumpulkannya hingga menggembung lalu menelannya kembali, begitu seterusnya.
Ketika Junho merasa puas dengan gundukkan sebelah kanan, ia berikan jilatan kecil seperti kucing untuk membersihkan sisa cairan di lubang kecil lalu beralih ke gundukan sebelah kiri.
Junho mengerjai bagian kiri itu sama seperti sebelumnya, ia berikan hisapan kuat sesekali diselingi oleh gigitan pelan dan lidahnya yang memutar di noktah keras milih Jeno guna membuat Jeno mendesah semakin keras. Namun kini tangan kanannya tidak tinggal diam, tangannya bergerak meremas gundukan kanan yang sudah selesai ia kerjai di awal tadi. Aksi Junho sekarang menambah nikmat Jeno sehingga bukan lagi desahan melainkan teriakan nikmat yang Jeno keluarkan.
Makin lama hisapan Junho memelan, karena ia merasa perutnya kenyang dengan meminum semua cairan Jeno. Akhirnya Junho memutuskan untuk berikan hisapan terakhir namun paling kuat hingga hisapan itu tidak hanya membuat noktah Jeno tapi sedikit gundukannya ikut tertarik seolah Junho ingin melepas noktah Jeno dari tempatnya.
“T-tidak! Jangan ditarik seperti itu n-nanti papa—” suara srup akhir membuat Jeno meracau tidak jelas
“KELUAR! KELUAR! JUNHO, PAPA KELUAR DARI ATAS SAMA BAWAH AH—
!”
Hisapan itu berhasil menghantarkan Jeno mendapatkan pelepasannya, kini tidak hanya cairan dari noktahnya saja melainkan cairan di bagian bawahnya juga ikut keluar dengan deras. Sekarang giliran mata Junho yang terbelalak saat melihat tubuh Jeno bergetar keras di atas pangkuannya menikmati pelepasannya pertama. Junho juga bisa melihat cairan encer keluar di kedua gundukkan dan juga celana Jeno yang basah akibat cairan kentalnya sendiri
Kini gundukan itu terlihat naik ke atas dan ke bawah saat Jeno meraup oksigen kuat akibat kenikmatan luar biasa yang ia rasa. Ketika Jeno sudah mendapatkan kesadarannya, ia merasa ada yang mengganjal di bawah, sesuatu yang keras. Jeno melihat ke arah bawah dan ia baru menyadari bahwa ia sedang menduduki milik Junho yang sudah keras
“Ngggh—” tanpa sadar Jeno mendesah dan menggerakkan bongkahannya
“ Shit ! Jangan seperti itu Pa. Junho ga bisa nahan”
“Jangan di-ditahan k-kalau begitu” Jeno sebenarnya terkejut dengan ucapannya dia sendiri, bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan sekotor itu. Namun pikirannya sudah dibuat tidak waras dengan segala perlakuan Junho tadi, kabut sudah menyelimuti otaknya, yang ia butuhkan sekarang hanya nikmat dan nikmat
“Jangan menyesal” peringat Junho di akhir sebelum menanggalkan seluruh pakaian milik Jeno dan miliknya sendiri.
Jeno yang masih setia di pangkuan Junho, mulai meraba otot perut milik Junho dari bawah kemudian ke atas menuju dada bidang Junho. Tak lupa Jeno sengaja memposisikan dirinya dengan menjepit milik Junho diantara belahan bongkahan miliknya.
“ Like what you see? ” seringai Junho sembari kembali melumuri tangan dan jari-jarinya dengan oil
“Bergoyanglah, tunjukkan kemampuanmu” Jeno bergoyang diatas Junho ke depan dan ke belakang mencari friksi antara belahannya dengan milik Junho yang sudah keras sedari tadi
“ So good. Memang sudah berpengalaman” ujar Junho yang tengah meremat bongkahan milik Jeno sesekali memberikan tepukan pelan agar bongkahan sintal itu bergetar karenanya.
Goyangan itu tidak lama karena Junho sudah mendorong Jeno untuk merebahkan dirinya seutuhnya di atas sofa, sedangkan tubuh Junho sekarang ada di atasnya. Junho berikan jilatan lebar ke arah noktah Jeno sebelum ia bergerak ke bawah, membuka lebar paha dan kaki milik Jeno. Ia letakkan kaki kiri Jeno di sandaran sofa sedangkan kaki kanan Jeno dibiarkan menggantung kebawah, menampakkan jelas lubang berkedut Jeno
“ Excited eoh? Lihat lubang Papa sudah berkedut” ucap Junho masih menikmati pemandangan di depannya. Junho ambil oil dan ia oleskan di belahan hingga ke lubang milik Jeno agar Jeno tidak kesakitan apabila bermain kering.
Junho mengangkat kembali kedua kaki Jeno ke atas dan membukanya semakin lebar sehingga tubuh Jeno hampir menekuk dua dengan sempurna.
“Selamat makan” seringai Junho sebelum melahap lubang Jeno
Junho hisap lubang Jeno, sesekali ia mainkan lidahnya ke area pinggiran lubang Jeno. Permukaan lidah Junho yang kasar menggesek permukaan lubang Jeno, friksi yang dihantarkan semakin mengeraskan desahan Jeno. Bunyi decitan akibat hisapan kuat Junho itu terdengar kotor bagi semua yang mendengarkannya
“Gila. Enak banget kamu, Pa” aku Junho sembari menatap ke arah Jeno, sedangkan Jeno sendiri sudah menutup mukanya dengan lengannya sendiri. Terakhir Jeno berikan gigitan di kerutan lubang Jeno sebelum memasukkan jarinya ke dalam lubang Jeno
“Ah—” aneh, sangat aneh bagi Jeno. Ia sudah sering berhubungan dengan suaminya tapi semua anatomi milik Junho terasa berbeda saat bertemu dengannya. Junho memutar telunjuknya itu sekali sebelum memasukkan digit keduanya ke dalam milik Jeno dengan mudah.
Dua jari milik Junho mulai mengorek lubang Jeno, gerakan menggunting dan hujaman cepat Jeno rasakan di area bawahnya. Jari ramping namun panjang milik Junho dapat menjangkau lubang Jeno sampai dalam. Saat Junho menambahkan digit ketiga dan keempat, Junho mulai kesusahan untuk menggerakkan jarinya perihal lubang Jeno yang masih belum selonggar itu. Tetapi Junho dengan sabar terus menggerakkan keempat jarinya hingga lubang itu terasa longgar hingga mempermudahkan akses Junho untuk menghujam Jeno
“OH!” teriak Jeno keras kala titik paling sensitifnya tersentuh oleh salah satu jari Junho dimana sentuhan itu hanya sebentar karena setelahnya jemari Junho tidak tepat mengenai titik tersebut kembali.
Junho yang merasa Jeno akan mendapatkan pelepasan keduanya, segera ia tari keempat jarinya hingga menimbulkan suara pop dan rengekan dari mulut Jeno karena kenikmatannya hilang dan lubangnya kini kosong. Junho mengganti posisinya menjadi berada di atas Jeno lebih tepatnya di atas gundukan milik Jeno. Ia mengarahkan miliknya di belahan dada Jeno dan meraup gundukan tersebut dan menjepit miliknya dengannya.
“ Shit . Enak banget, Pa” Junho menggerakkan miliknya yang keras diantara dua gundukan dengan cepat, urat-urat milik Junho terasa bergesekkan dengan kulit putih yang mulus milik Jeno. Sembari Junho menggerakkan miliknya, tangannya meremas gundukkan Jeno dan merapatkan agar miliknya terasa semakin terjepit. Sesekali ujung kepemilikan Junho yang memerah itu ia tusukkan dan gesek-gesekkan ke noktah milik Jeno seolah ingin memasuki lubang kecil disana.
“J-jangan. G-gatal”
“Gatal, hm? Junho bantu garuk kalau gitu, Pa” kini Junho mengganti remasannya dengan menggaruk ujung noktah Jeno dengan ujunng kukunya.
“Nooo” Jeno yang tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya hanya bisa mendesah, bagaimana gundukannya digagahi oleh orang lain dan noktahnya digaruk sedemikian rupa. Bahkan suaminya tidak pernah melakukan gaya ini sebelumnya, sungguh pengalaman baru yang luar biasa
“Asshhh—” Junho turun dari atas Jeno lalu memposisikan diri kembali di bagian bawah milik Jeno. Ia menaikkan kembali kaki Jeno yang sudah menggantung lemas, sehingga posisi Junho saat ini benar-benar seperti menaiki Jeno siap untuk memompa Jeno kapan saja.
Junho genggam kepemilikannya lalu ia tepuk-tepuk di lubang Jeno yang sudah longgar akibat foreplay sebelumnya. Junho mendorong miliknya sedikit demi sedikit lantaran lubang yang ia kira longgar itu masih sempit untuk ukuran kepemilikannya yang sudah membesar karena tegang.
“Nggh—” Jeno mendesah tertahan kala sesuatu yang besar dan keras menerobos bagian bawahnya, melebihi dari keempat jari milik Junho
“Argh— R-rileks, Pa. Kalau tegang kaya gini Junho susah masuk” ujar Junho sembari berusaha mendorong miliknya semakin dalam, sedangkan Jeno mencoba melebarkan bagian bawahnya.
“Good shhh—” racau Junho saat miliknya dengan mudah menerobos lubang Jeno, hingga akhirnya kepemilikan Junho tertanam sempurna di goa hangat Jeno. Sang lawan mendesah keras kemudian menggoyangkan pinggulnya guna beradaptasi dengan ukuran Junho
“Junho gerak” izin Junho sebelum menggerakkan pinggulnya pelan, sangat pelan hingga ia bisa merasakan setiap dagingnya dipijat di setiap kedutan lubang Jeno dan diurut oleh hisapan goa sempit dan hangat itu.
Gerakan lambat Junho tidak berlangsung lama. Kedutan dan desahan Jeno membuatnya ingin menghancurkan lubang hangat Jeno. Segera Junho mulai percepat pompaannya membuat tubuh Jeno semakin terhimpit antara tubuh besar Junho dan sofa yang ia tiduri
“Junho buat agar lebih menjepit” ujar Junho ketika Junho meletakkan tangannya diatas perut berisi Jeno dan menekannya.
“AKH—” jerit Jeno tertahan kala perutnya benar ditekan, ia merasa sesak dan tertekan sehingga hanya jeritan yang bisa ia keluarkan.
Junho tidak mendengarkan jeritan Jeno, terus menggempur dan memompa lubang Jeno tanpa henti, yang Junho pikirkan adalah mengejar kenikmatan dengan kepemilikannya yang secara tidak langsung dikocok oleh sesuatu yang sempit, basah dan hangat. Junho terus menghujam semakin cepat dan keras, menimbulkan suara tepukan antar kulit mereka menggema di seluruh ruangan. Suara tepukan dan basah itu membuat Jeno semakin memanas alhasil teriakan Jeno tidak berhenti bersahutan dengan suara kotor penyatuan mereka berdua.
“Ashh— gimana hm rasanya? Diisi oleh menantu sendiri? Hm?” tanya Junho memompa Jeno dengan staccato namun keras, membuat Jeno mendesah disetiap pompannya
“Hm? Kok diem aja pa? Gimana? Enak? Enak punya Jeno?”
“Ah— e-enak, g-gemuk”
“Gemuk, iya? Kerasa penuh ya? Sama papi ga pernah kaya gini hm? Lubang sempitnya suka diisi yang besar-besar ya? Yang gemuk sampai ujung juga” kala itu Junho menumbuk buntalan daging milik Jeno yang membuat dada Jeno membusung
“Disini? Enak ya ditumbuk disini? Gila, kamu Pa. Seneng ga? DItumbuk bagian ini terus menerus sama menantu tersayang huh?” Jeno menggeleng ribut kanan kiri bukan tanda tidak setuju, ia sudah tidak kuat dengan rasa nikmat yang tidak bisa ia sampaikan lagi selain dengan desahan
“Gimana kalau orang tau, mertua keenakan diisi sama menantunya sendiri?” ujar Junho dengan tawa diakhir sembari terus menumbuk titik itu berulang kali
“ Fuck , makin sempit, bentar lagi keluar” karena Junho sudah merasakan ujung pelepasannya hujamannya mulai berantakan, yang penting miliknya terus diurut. Ia tidak peduli dengan kenikmatan Jeno karena meninggalkan buntalan daging itu.
“Keluar di dalem ya, Pa? Biar nanti Papa hamil lagi. Iya? Hamil anak menantunya sendiri? Mau ya? Sshh—” Jeno sudah tidak bisa berfikir dengan benar, ia merasa dirinya sudah berada di ambang batas kesadarannya. Sedangkan, Junho terus menekan perut Jeno setelah berkata demikian
“ Shit. Shit. Take these loads, Pa” Junho benar menyemburkan cairan kental ke dalam lubang Jeno dengan jumlah yang banyak. Cairan itu turun langsung melewati lubang Jeno hingga sampai ke rahim milik Jeno. Jeno yang merasakan kehangatan di rahimnya semakin mengejang dan bergetar, tak lama ia juga mendapatkan pelepasannya keduanya dan menyemburkan cairannya kuat hingga mengenai dagu Junho yang di atasnya. Mata Jeno sudah berbalik hingga terlihat putihnya, suara racauannya tidak terdengar jelas karena mulutnya penuh dengan saliva yang selama ini sudah menetes menuruni leher mulusnya.
“Ah— ah—” desah Junho di setiap hujamannya guna mengendarai pelepasannya sampai selesai. Junho bisa melihat perut Jeno mulai menggembung kecil di perut bagian bawahnya akibat banyaknya cairan yang dikeluarkan Junho
Junho yang melihat tonjolan itu, tersenyum dan mengelusnya perlahan.
“Banyak juga, ga mungkin kalau kaya gini kamu ga hamil lagi, Pa” ejek Junho di akhir sebelum menari miliknya perlahan agar tidak ada cairan yang keluar. Saat ujung miliknya sudah keluar sempurna, segera ia tutup lubang Jeno dengan ibu jarinya sebelum ia menyumbat lubang itu dengan benda tumpul sembarang yang terletak di meja.
Jeno yang mendegar perkataan Junho saat itu bukannya takut dan menyesal namun membuat tubuhnya semakin panas dan excited secara bersamaan
“Waw lihat lubang Papa malah berkedut. Emang seneng ya dihamili menantu sendiri. Kapan-kapan lagi ya Pa” tawa renyah Junho menyusul ketika ia menyelesaikan kalimat kotor dan hina itu.
“Ayo aku bersihkan tubuh Papa sebelum mereka berdua datang dan mengetahui kalau mertuaku yang paling cantik ini so wasted karena permainan menantunya sendiri” Junho menggendong tubuh Jeno yang sudah lemas menuju master bedroom Jeno kemudian membersihkan kekacauan mereka di ruang tengah.
Ingatkan Junho untuk rutin melakukannya dengan mertuanya itu saat suami dan papi mertuanya tidak berada di tempat.