Work Text:
Sinar rembulan berpendar lantang di tengah kelamnya petang. Hanya keheningan bising yang penuhi indra pendengaran, serta sepoi angin malam yang membelai helai rambut. Geto Suguru berjalan tak jauh dari lelaki bertubuh jangkung yang berada di depannya. Langkah kaki yang bergesekan dengan aspal itu menjadi suara yang menemani kebisuan ini.
Pandangan Suguru melekat pada figur sahabat di hadapannya itu. Rambut seputih kepingan saljunya itu bergerak mengikuti angin, tubuh menjulangnya yang selalu tampak kokoh dan kuat, kali ini terlihat malang. Bahunya turun, jalannya tertatih-tatih. Seragam yang ia kenakan sudah tidak layak pakai; banyak bagian yang robek dan penuh noda darah.
“Yaga-sensei minta kita balik ke sekolah,” Suguru berujar.
Satoru berhenti melangkah sejenak untuk mengendikkan bahu. “Nggak peduli. Buat apa kesana? Dikasih tau kalo kita gagal jalanin misi kali ini?”
Gagal. Iya, mereka baru saja gagal menjalankan misi untuk melindungi Amanai Riko.
Padahal rencana mereka nyaris sempurna. Dirinya dan Satoru sudah sepakat untuk melepaskan Riko, biarkan gadis belia itu jalankan hidupnya dengan bebas tanpa harus menjalani tuntutan takdir konyol untuk menjadi wadah untuk Tengen. Seharusnya tiap manusia punya kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka, maka dari itu baik Satoru dan Suguru memberi pilihan pada gadis itu untuk bebas.
Naasnya, pria bertubuh kekar dengan peliharaan aneh melingkar di bahunya yang tiba-tiba muncul itu kacaukan segala hal.
Keduanya tetap berjalan sampai akhirnya tiba di asrama mereka. Suguru hendak membuka mulut untuk berbicara dengan Satoru, namun lelaki itu justru membanting pintu kamarnya tepat di depan Suguru.
Perasaan kalut mulai hantui Suguru, namun si surai raven itu memilih untuk berdiri di bawah guyuran air dingin. Ia paham, pasti Satoru butuh waktu. Namun tetap saja ia rasakan perasaan mengganjal di dada. Ia tidak bisa diam dan biarkan Satoru sendirian, terlebih di tengah keadaan seperti ini.
Usai mandi, Suguru melangkah cepat keluar kamarnya, mengetuk pintu kamar Satoru berulang kali. Saat terbuka, Suguru disambut dengan Satoru yang menatapnya dengan jengkel. Rambutnya setengah basah, bulir air menetes dari anak rambutnya.
“Apa?” nadanya sedikit ketus, mungkin karena kejadian beberapa jam yang lalu masih mengusik batinnya.
“Lo nggak papa, ‘kan?”
Satoru bersandar di kusen pintu, tangannya dilipat ke depan dada. “Iya. Gue cuma butuh waktu sendiri aja, Sug,”
Bohong. Suguru bisa melihat jelas sembab di bawah matanya. Ia yakin sahabatnya itu habiskan waktu untuk menangis, pendam isakannya kuat-kuat karena tak ingin disangka lemah, pasang topeng acuh tak acuh karena ingin disangka kuat. Suguru mengenal Satoru, sisi terkuatnya hingga sisi terlemahnya. Dan yang di hadapannya sekarang adalah Satoru di titik terlemahnya.
“Satoru, gue masuk, ya?”
“Ck, ngapain, sih?”
Namun Suguru tak mengindahkan rutukan Satoru, berjalan lurus memasuki kamar yang lebih tinggi, biarkan Satoru mendecak sambil mengacak rambutnya frustasi.
“Sug, balik ke kamar lo.”
“Lo butuh gue, Sat.” Balas Suguru yang dibalas guliran bola mata jengah oleh Satoru.
“Sok tau.”
Satoru mendudukkan dirinya di atas ranjang, masih pasang raut wajah menyebalkannya itu. Suguru tidak tahan, sampai kapan si bodoh ini bersikeras memasang topengnya dan bertingkah kalau dirinya baik-baik saja? Maka dari itu Suguru berjalan mendekat, menangkup wajah Satoru, pertemukan lembayungnya dengan biru langit si surai putih.
“Satoru, please, berhenti pura-pura di depan gue,” Suguru menatap sepasang netra langit itu, mencari-cari kebenaran di balik topeng palsu itu. Pada akhirnya juga sorot mata tajam Satoru melembut, berganti dengan mata yang dipenuhi duka, buat hati Suguru mencelos.
Tangan Satoru bergerak meraih tangan Suguru, digenggam sebelum dielus perlahan. Suguru bisa melihat bagaimana bibirnya gemetar, namun ia tahan dengan gigitan kuat. Air mata kembali mengepul di pelupuk mata, siap terjun kapan saja.
Satoru adalah orang terkuat yang pernah Suguru kenal, sosok yang sama sekali tidak ingin dipandang lemah. Digadang-gadang sebagai jujutsu-shi paling kuat, Satoru selalu angkat kepalanya tinggi-tinggi, panggil dirinya ‘yang terkuat’ demi pakani egonya. Namun di bawah sorot teduh Suguru, pertahanan kokohnya menjadi luluh lantak.
“Suguru, gue gagal,” bisiknya lemah. Setetes air mata lolos dari ujung matanya, buat Suguru berkeinginan untuk mengecupnya agar tangisan itu berhenti. “Amanai—gue gagal lindungin dia, Sug. Padahal gue, kita, udah janji buat bebasin dia, biarin dia hidup semaunya.”
Ibu jari Suguru bergerak mengusap air mata yang leleh di pipi Satoru, berujar, “dan itu bukan salah lo, Sat. Bukan dan nggak pernah jadi salah lo,”
Satoru menggeleng cepat, tangannya bergerak menyingkirkan tangan Suguru yang menangkup wajahnya. Ada pilu mendalam di matanya yang secerah langit itu, dan jujur saja, pemandangan ini buat hati Suguru senantiasa rasakan pilu juga.
“Gue kalah. Gue dikalahin sama orang yang nggak punya energi terkutuk sama sekali, orang yang nyerang pake senjata doang!” tukas Satoru dengan frustasi terpampang di wajahnya.
Suguru mengangguk, mengiyakan Satoru, kali ini tangannya bergerak mengelus surai putihnya. “Dia licik, Satoru. Lo tau, ‘kan?”
Satoru mendesah gusar. Matanya tak berhenti keluarkan cairan bening. Entah, mungkin karena lelaki di depannya ini terlalu banyak memendam rasa untuk dirinya sendiri.
“Suguru, gue benci semua orang yang pingin Amanai meninggal. Gue benci, gue mau bunuh semua orang yang tepuk tangan di sana. Gue benci mereka. Gue mau bunuh mereka. Mereka yang layak buat mati, bukan Amanai. Kenapa lo berhentiin gue, Sug?”
Menggigit bibir bawahnya, Suguru membawa Satoru ke pelukannya, dekap kepala lelaki itu sampai bersandar di perutnya. “Sshh, nggak ada untungnya, Satoru. Lo bakal nyesel kalo lo ngelakuin itu.”
Satoru langsung mendorong Suguru, tatapannya nyalang sedangkan yang surai hitam itu nampak kebingungan dengan reaksi tiba-tiba sahabatnya itu.
“Nyesel? Sug, yang gue sesalin sekarang karena nggak bisa ngapa-ngapain selain gendong mayatnya Amanai ketika orang di sana ketawa-tawa! Lo mana tau rasanya?!”
Suguru mengangguk, mengiyakan pertanyaan Satoru barusan guna melegakan hatinya. Percuma kalau Suguru ikut emosi, yang ada akan meningkatkan rasa cemas Satoru sekarang.
“Gue ini katanya ‘yang paling kuat’, tapi apa? Gue gagal ngelindungin anak sekecil Amanai, bahkan sempat kalah sama si pembunuh bayaran itu. Gue nggak pantes dibilang ‘yang terkuat’!”
Netra lembayung itu menatap Satoru iba. Ia tahu jelas pasti perasaan ini yang menggerogoti relung hatinya sedari tadi, mengikis pikiran demi pikiran, buat tidak nyaman hati dan pikirannya akibat dihantui hal tersebut. Memang beban yang dipikul Satoru sebagai jujutsu-shi terkuat sangatlah berat, Suguru sendiri terkadang ingin mengingatkan kalau lelaki itu tak perlu menanggung semua beban itu seorang diri karena ada dia yang sanggup membagi beban tersebut.
“Satoru, denger, ‘yang terkuat’ itu juga manusia. Lo itu manusia, bukan Tuhan, jadi nggak harus jadi sempurna.”
Air mata Satoru kembali menetes, kali ini diusap kasar oleh lelaki itu. “Lo nggak akan tau, Sug, gu—”
“Berhenti bilang gue nggak tau, Sat! Udah berapa kali gue bilang kalo ‘yang terkuat’ bukan cuma lo, tapi gue juga! Ini misi juga misi kita berdua, bukan lo aja! Berhenti mikir semua ini salah lo!” Suguru naikkan suaranya, buat Satoru bungkam dan tatap dirinya lekat-lekat.
Suguru menarik nafas dalam-dalam, melanjutkan perkataannya, “dan tolong, perhatiin gue juga, Sat. Gue juga nggak baik-baik aja,”
Satoru mendongak, dahinya berkerut, alisnya menukik. Kedua tangannya menggenggam lengan Suguru, sorot matanya gambarkan rasa khawatir.
“Kenapa? Ada yang sakit? Perlu ketemu Shoko?”
Gelengan kepala Suguru yang didapat Satoru sebagai jawaban.
Langitnya Satoru berusaha mencari-cari di senjanya Suguru, berusaha menebak apa yang salah dengan sahabatnya ini. Namun si surai putih itu kesulitan temukan jawaban, terlebih Suguru itu ahlinya dalam berdalih perihal perasaannya.
“Terus apa, hm?” tanya Satoru perlahan. Ia perlahan lupakan semua perasaan buruk yang dirasa dan alihkan atensi sepenuhnya kepada Suguru.
Tanpa disangka, air mata justru lolos dari netra lembayung Suguru, buat mata Satoru membelalak lantaran panik; baru kali ini dia melihat Suguru menangis.
“Kenap—”
“Lo, Sat. Gue nggak baik-baik aja karena nyaris kehilangan lo,”
Nafas Satoru berhenti sesaat—tertegun dengan pernyataan Suguru barusan. Terlebih bagaimana dia bisa melihat air mata berlinang indah di pipinya. Satoru hanya bisa lingkarkan tangan di pinggul Suguru, mendekapnya erat, berusaha menenangkan sahabatnya itu.
“Bayangin gue liat sendiri lo dibunuh di depan mata gue. Badan lo tergeletak di tanah gitu aja, kayak gak bernyawa. Gue bahkan nggak sempat nyamperin lo karena harus fokus ke Amanai dulu. Lo tau, nggak, apa yang gue takutin?”
Satoru menggeleng, hanya bungkam, rasakan tubuh Suguru yang bergetar hebat.
“Gue takut gue nggak bisa berada di sisi lo saat detik terakhir lo,” Suguru berdeham, berusaha stabilkan suaranya agar tidak bergetar. “Dan gue takut kehilangan lo, Satoru. Masih banyak yang belum gue omongin ke lo,”
Satoru melepas dekapannya, namun tangannya masih menggenggam lengan Suguru. Kepalanya mendongak, menatap si surai hitam bermata violet itu dengan penuh kasih.
“Sini, duduk,” dan Suguru duduk di atas pangkuan Satoru. Tangannya melingkar di leher Satoru, kepalanya dibenamkan di ceruk leher si surai putih itu. Sedangkan jemari Satoru menyisiri helai rambut raven Suguru, sesekali menghirup dalam-dalam aroma floral dan kecup singkat leher sahabatnya itu.
Sahabat, sebenarnya mana bisa disebut sahabat ketika mereka habiskan waktu itu saling berbagi sentuhan intim di balik tirai? Saling rapalkan nama satu sama lain dalam desah, saling bermain lidah dan bertukar ludah, jelasnya persahabatan mereka bukan hanya sekadar itu. Dan keduanya pun tahu akan kebenaran ini, namun tak satu pun dari mereka yang meluruskan hal ini, dibiarkan seolah-olah ini adalah hal lumrah bagi mereka.
“Mau ngomong apa emang?” tanya Satoru, jemarinya kini memilin ujung rambut panjang Suguru.
Suguru jauhkan dirinya dari Satoru, buat jarak agar bisa saling bertukar pandang. Air mata masih penuhi pelupuk mata Suguru, kali ini lelaki itu kembali menangis sambil beri kecupan di pipi Satoru.
“Gue nggak bisa bayangin hidup tanpa lo, Sat. Gue nggak tau gue bakal gimana kalau lo nggak ada. Gue bener-bener takut kehilangan lo,”
Melihat Suguru menangis seperti ini buat hati Satoru terasa nyeri, tangannya bergerak menangkup wajah Suguru, dipandanglah netra lembayung yang redup itu, begitu indah sampai lelaki itu tak tahan untuk tidak layangkan kecupan manis di kelopak mata itu. Kecupan itu menjalar turun, hingga akhirnya tiba di bibir manis Suguru. Cumbu sederhana itu berubah menjadi penuh tuntutan, tangan Suguru semakin memeluk erat leher Satoru, perdalam ciuman mereka. Lidah saling bertaut dengan rasa yang nampaknya takkan surut, membuat nafas saling memburu.
Sementara fokus rasakan daun mint pada bibir Suguru, tangan Satoru bergerak lincah menyusup ke dalam kaos yang dikenakan sahabatnya itu. Jarinya merambat naik, temukan puting Suguru dan memainkannya dengan gerak memutar. Cumbuan mereka terhenti sesaat karena Suguru tak tahan untuk loloskan lenguhan kecil, pinggulnya pun kini bergerak untuk ciptakan friksi antara kelamin mereka yang masih terbalut celana kain tipis.
Tiba-tiba saja Satoru kembali teringat bagaimana dia nyaris mati dan tubuh Amanai yang tergolek lemah dalam gendongannya, mual. Lelaki itu langsung menyudahi pagutan lidah mereka, buang muka dengan sekujur tangannya gemetar hebat.
Melihat ini, Suguru menatap Satoru khawatir, kembali beri kecupan di sepanjang garis di wajahnya, berbisik, “hei, udah, Satoru, it’s over,”
“G-gue nggak bisa, Suguru. Gue, Amanai, orang-orang bajingan itu…”
Suguru kembali mengecup bibir Satoru, paksa indra penglihatan si surai putih untuk hanya penuh akan dirinya. “Liat gue, Satoru. Malem ini, kita lupain semuanya, ok? Lo boleh nangis, boleh sedih, tapi semua perhatian lo tujuin ke gue, ya?”
Satoru mengangguk, pejamkan mata ketika Suguru kembali mencumbunya, lumat bibirnya sampai ciptakan suara kecipak yang menggema di seluruh ruangan. Rasa gelisah itu tetap hadir, namun rasa diburu nafsu menjadi fokus utamanya sekarang. Satoru mendorong tubuh Suguru untuk berbaring di atas ranjang, lucuti atasan dan celana hingga tak sehelai kain pun halangi matanya untuk kagumi tubuh molek sang tercinta.
Kini Satoru bergerak untuk memberi kecupan kupu-kupu dari bagian leher Suguru, kemudian turun ke leher, dada, perut, sampai akhirnya tiba di ujung penis Suguru yang sudah berdiri tegak dan keluarkan cairan praejakulasi. Selama tubuhnya dibubuhi kecupan, Suguru hanya bisa menggeliat, keluarkan desis dan desah sambil tangannya meremat surai putih Satoru.
“Cantik, Suguru paling cantik,” itu yang digumamkan Satoru saat melihat Suguru sekarang.
Di hadapannya kini adalah sesosok Geto Suguru, sahabat terbaiknya sekaligus tercintanya, terbaring di atas ranjang dengan surai segelap malamnya yang berantakan. Batuan kecubung di matanya itu nampak sayu, sesekali mengerjap perlahan sembari tatap Satoru dalam-dalam, menjeratnya dalam asmara yang bergejolak.
Sugurunya sangat cantik, dan Satoru tidak bisa untuk berdiam diri saja. Bawa bibir Suguru ke cumbuan baru yang lebih erotis, tangannya yang lain bergerak ke bawah, kocok batang penis yang surai hitam dengan tempo stagnan.
Tangan Satoru bergerak semakin cepat kala nafas Suguru makin menggebu. Merasa hampir capai pelepasan, Suguru merengek, “mau keluaar…”
Sialannya, Satoru alih-alih semakin cepatkan gerakannya, ia justru hentikan gerakannya. Nyaris buat Suguru berseru frustasi. Hendak protes, Satoru sudah meraih botol lubrikan dari nakas mejanya, lumuri dua jarinya dengan likuid bening tak berperisa itu, kemudian diarahkan ke cincin liang senggama Suguru.
Lagi-lagi yang di bawah hanya bisa mendesis, terlebih saat dua digit itu terobos masuk ke dalamnya. Jemari Satoru selalu lebih panjang darinya, terbukti dengan bagaimana lelaki itu bisa raih titik-titik yang belum ia jamah sebelumnya. Dua digit itu bergerak keluar-masuk, terkadang juga gerak menggunting guna lebarkan lubangnya. Bantalan jarinya juga sesekali menekan prostatnya, buat desah kotor tak ayal keluar dari mulut Suguru.
“S-satoru, haahh, pelaanh,” racaunya. Satoru hanya anggukkan kepala untuk mengiyakan, fokus pada jarinya yang bergerak makin cepat di dalamnya.
Tubuh Suguru dibuat meliuk, ujung kakinya menekuk, bibirnya hanya bisa terbuka lebar, nama Satoru pun dirapalkan bak doa. Saat hendak keluar, lagi-lagi Satoru hentikan kegiatannya, undang dengus kecewa dari Suguru. Ia tahu jelas kalau Satoru mempermainkannya, sengaja menunda-nunda pelepasannya demi kepuasannya sendiri.
“Satoru, mau keluaar…”
Satoru apit bungkus kondom di antara belah bibirnya, kemudian ia robek dengan bantuan gigi dan tangannya. Lelaki itu tidak mengindahkan rengekan Suguru, fokus memasangkan benda karet itu pada batang penis besarnya.
Di saat ini, Satoru terlihat tergesa-gesa. Terbukti dengan bagaimana lelaki itu kesusahan untuk sekadar memasang kondom pada barangnya. Saat berhasil, lelaki itu sama sekali tidak berkata sepatah kata apapun dan langsung hujamkan penisnya ke dalam Suguru dengan satu hentakan.
Seolah tuli, Satoru hanya benamkan wajah di ceruk leher Suguru, sedangkan pinggulnya bergerak maju dan mundur dengan tempo berantakan. Meski Suguru merasa enak, tetap saja tempo ini buat dirinya tidak nyaman. Maka lelaki itu coba pukul perlahan bahu lebar Satoru, tarik atensinya untuk segera menatapnya.
“Hm?” gumam Satoru, pandangannya sedikit kosong.
“Satoru, gue bilang apa? Fokus ke gue. Satoru, liat gue,” Suguru kembali tangkup wajah Satoru, tatap langit yang berada di mata si surai putih itu. Langit yang biasanya nampak agung nan cerah, sekarang nampak bermuram durja. Ingin rasanya Suguru kembalikan langit penuh saturasi itu ke dalam bola mata Satoru, bukan yang semu seperti ini.
Sisiri surai putih Satoru, Suguru tersenyum kecil, “Sayang, liat gue, ya, jangan yang lain,”
Satoru mengangguk, namun air matanya malah memberontak keluar, menetes tepat di atas pipi Suguru.
“Suguru… Gue…”
“Sshh, Satoru sayangnya Suguru yang paling kuat. Beneran, lo orang terkuat yang pernah gue temuin, dan gue beruntung bisa jatuh cinta sama lo,” tuturnya, masih tersenyum lembut menatapnya.
Dengan air mata yang masih basahi pipi, Satoru kembali gerakkan pinggulnya. Kali ini temponya jauh lebih pelan, namun buat Suguru hilang akal. Bagaimana sensasi milik Satoru membelah dirinya dengan penuh hati-hati, bagaimana lubang berkedut memijat batang itu, gila. Suguru takkan pernah bosan dibuatnya.
“Suguru, lo kenapa makin sempit?” erang Satoru tiba-tiba.
“Ngghh, hhah, terusin aja, dalemin lagi,”
Suguru meminta, tentu saja akan Satoru kabulkan. Gerakannya dipercepat, ujung penisnya yang panjang itu meraih titik terdalamnya, buat Suguru terkesiap—dadanya membusung, matanya berair lalu bergulir ke belakang karena sensasi nikmat tiada tara yang diciptakan oleh gerak piston Satoru.
Gempuran Satoru senantiasa mengiringi disaat keduanya saling bertukar pandang. Keduanya sama-sama berada di bawah kabut birahi, namun Suguru yang sedari tadi terisak karena genjotan Satoru kini buka suara.
“Satoru, j-janji, ya, jangan tinggalin gue lagi,” dan Satoru mengiyakan, anggukkan kepalanya, ciumi tiap air mata yang turun di paras eloknya. “Gue takut banget kehilangan lo…”
Bayangan Suguru sebatang kara di hadapannya juga buat dadanya nyeri. Cukup gambaran di kepala saja cukup buat air mata Satoru kembali leleh. Tidak akan bisa dirinya melihat sahabatnya, kekasih hatinya, meregang nyawa tepat di depan mata. Maka ia bisa merasakan apa yang dirasakan Suguru saat dirinya tergeletak tak bernyawa saat itu.
Satoru langsung layangkan ciuman panjang di kening Satoru, kemudian pipinya, lalu bibirnya.
“Nggak akan,” jawabnya lugas. “Tapi lo juga jangan tinggalin gue, ya, Sug? Gue juga nggak mampu…”
Suguru mengangguk cepat, kalungkan tangan di leher Satoru, kemudian kembali pertemukan bibir mereka. Ciuman mereka kali ini lebih melodramatis, diselingi air mata bercucuran dan isakan yang tertahan. Satoru angkat tubuh Suguru sampai terduduk di pangkuannya, tangan kekarnya peluk erat pinggang Suguru seolah-olah takut jika ada renggang sedikit, Suguru-nya akan menghilang. Dalam posisi duduk seperti ini, penis Satoru semakin berada di titik terdalam Suguru sampai-sampai lelaki itu bisa melihat tonjolan di perut berotot Suguru.
Satoru kembali gerakkan pinggulnya, Suguru yang terkejut langsung memeluk lehernya, tangannya bergerak menggerayangi punggung yang lebih tinggi, kuku jarinya tak sadar mencakar punggung mulus Satoru, tinggalkan bekas merah nyala. Sedangkan Satoru tak ada hentinya beri bekas cupang merah keunguan di sekitar leher dan dada Suguru.
“Suguru, lo enak banget, haah,” dipuji begitu buat Suguru makin menjepit penis Satoru, yang kemudian memperoleh geraman rendah dari si surai putih.
Gerakan Satoru makin cepat walaupun semakin tidak beritme. Namun persetan dengan itu, keduanya butuh raih pelepasan mereka sekarang juga. Terlebih saat Suguru sudah mencapai ambang batas dengan bagaimana matanya sudah juling dan mulutnya hanya bisa keluarkan nafas terengah-engah dengan lidah yang terjulur keluar.
Satoru mendecak kagum, bahkan saat wajah Suguru binal dan cabul dengan keringat basahi sekujur tubuhnya ini, si surai hitam itu masih saja terlihat luar biasa cantik. Bahkan racauan Suguru sudah tidak koheren lagi, yang berada di kepala lelaki itu adalah bagaimana lubangnya penuh dan sesak akan ukuran tebal Satoru.
“S-satoru! Keluar, g-gue mau, aahh, keluar!” racau Suguru.
“Ya, sana,” balas Satoru, sama sekali tidak mengurangi tempo kecepatannya. Yang ada, justru semakin dipercepat.
Suguru berakhir melepas cairan spermanya dan mengalami orgasme sampai sekujur badannya bergetar. Namun Satoru acuh tak acuh dengan bagaimana Suguru sekarang masih berada dalam euforia orgasme, dia tetap saja menyodok penisnya dalam-dalam, buat kepala Suguru pening bukan kepalang.
Padahal baru saja keluar, namun Suguru bisa merasa penisnya nyaris tegak lagi. Hanya saja dirinya kelelahan pasca misi hari ini, jadi tubuhnya begitu lemas, bahkan sekarang hanya Satoru yang pegang kendali penuh permainan panas mereka.
Saat Satoru akhirnya capai klimaksnya, ia baru sadar kalau Suguru terkapar lemas dalam dekapannya. Nafasnya tersengal-sengal, matanya tak lagi fokus. Satoru pun membaringkan tubuh tercintanya itu di atas ranjangnya, beri kecupan lagi di wajahnya, berbisik, “maaf, Suguru, udah bikin lo khawatir…”
“Mm, jangan tinggalin gue, ya, Satoru,”
Satoru tersenyum tipis, mengangguk, “nggak akan. Lo juga, ya, jangan tinggalin gue. Selamanya, kita ini ‘yang terkuat’, ya, ‘kan?”
Itu yang Satoru ucapkan malam itu, yang kemudian dibalas anggukan lemah dari Suguru sebelum keduanya pejamkan mata akibat kelelahan. Sebelum benar-benar pejamkan mata, Suguru sempat berbisik,
“Selamanya gue milik lo, Satoru.”
Namun, kata ‘selamanya’ itu hanyalah bualan semata.
Kata Suguru ‘jangan tinggalin gue’. Katanya juga, ‘takut kehilangan gue’, tapi apa?
“Nyatanya, lo yang pergi,” bisik Satoru.
Suguru mendongak, pertemukan batu kecubungnya dan batu topas milik Satoru. Tubuhnya yang sekarat itu hanya bisa terduduk lemah di sebuah gang kecil di sekolah mereka. Rasanya familiar dengan kehadiran Satoru di sini, pikirnya. Kemudian lelaki itu mengulas senyum manis,
“Seenggaknya, kutuk gue untuk terakhir kalinya, Satoru.”
Chasing Pavement — FIN