Actions

Work Header

and they said time will heal...

Summary:

Sewaktu Mike bilang ia melihat Metawin di sebuah kafe di bilangan Antapani, Bright pikir barangkali semesta sedang berbaik hati pada ia dan sesal yang Bright pelihara selama bertahun-tahun. Bright pikir, mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk bersujud di depan Metawin dan memohon ampun. Lalu, (kalau Bright beruntung), ia bisa meminta Metawin kembali.

Sebab mereka bilang, waktu bisa menyembuhkan segala sesuatu.

Notes:

For prompter No. #103.

Pertama kali menulis Brightwin dan memutuskan untuk menggaet genre yang aku suka: angst.
Entah apakah sesuai dengan request prompter atau tidak. Tapi terima kasih sudah mempercayakan endingnya padaku.
Semoga suka!
Salam sayang,
Penulis.

Work Text:

 

tatkala matahari membakar nadi

pergilah ke utara

kukubur untukmu sebuah peti berisi bual;

"nanti aku kembali"

 

di malam yang makin tua

kuselipkan untukmu sebaris mimpi

kupintal tangismu yang tumpah tiap pagi

untuk kelak kau pakai menyiram luka,

yang pernah kutoreh dulu sekali

 

18.3

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

“Bri, turun dulu sini, Nak. Sarapan dulu!”

Suara lembut ibunya menjadi sinyal bagi Bright Danadyaksa untuk melangkah gontai keluar dari kamar. Suhu di Sukajadi cukup menjadi dalih baginya untuk sembunyi di balik selimut sepanjang pagi, tapi Bright cukup bijak untuk tidak memasang alasan itu sebab Ibu selalu punya argumen yang lebih baik untuk menyeretnya keluar dan makan pagi. Ini hari keduanya di Bandung, Bright menghitung di dalam hati. Ibu berkali-kali memintanya keluar, antusias mengajak Bright berkeliling Bandung yang sepanjang ingatannya bisa menggali masih sama saja seperti terakhir kali ia tinggalkan. Masih ramai, masih sejuk, masih penuh memori.

“Hari ini kamu ke mana?”

Ibu membuka percakapan pagi mereka dengan tanya penuh keingintahuan. Bright menangkap sinyal itu sebagai sebuah pertanda bahwa Ibu sudah siap menendangnya keluar andai kata Bright tidak memberi jawaban yang memuaskan. Di sisi lain, ia malas menjelaskan pada Ibu kenapa Bandung tidak lagi menyulut antusiasme dalam dirinya seperti dulu. Ia malas mengulang-ulang kembali kebodohannya di masa lalu. Ia malas menyebut nama laki-laki itu lagi sebab ada aliran listrik yang menjalari bagian bawah epidermis kulitnya sewaktu bibirnya mengeja nama itu kata demi kata. Seolah berusaha mengingatkan pada Bright bahwa sesal yang susah payah ia sangkal selama bertahun-tahun tidak pernah tanggal. Tidak pernah dan tidak akan pernah.

“Paling ketemuan sama Mike, Bu,” Bright menjawab, menjadikan satu nama temannya sebagai tumbal di hadapan piring sang ibunda. Ia bahkan tak tahu apakah Mike masih bekerja di Bandung atau entah pergi ke belahan bumi bagian mana. Ia hanya perlu menyebut satu orang untuk melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan Ibu yang tidak pernah usai.

Ibu mengangguk-angguk. Raut wajahnya tampak terlihat puas pada jawaban yang Bright berikan. “Mike masih di Bandung, gitu? Ibu jarang danger kabarnya.”

Bright hanya memberi anggukan sebagai jawaban.

“Berangkat jam berapa?”

“Jam sepuluh, mungkin. Bri masih mau lanjut tidur dulu sebentar. Lagian ketemuan di rumah Mike aja, kok, jadi telat dikit nggak masalah.”

Ibunya tidak bertanya lagi, meninggalkan meja makan mereka lesap dalam senyap yang kental. Percakapan-percakapan yang datang selanjutnya adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupannya di Jakarta, kesulitan-kesulitannya selama bekerja, dan hal-hal lain yang Ibu lewatkan selama Bright tinggal jauh dari rumah. Pagi itu habis bersama cerita Bright yang tidak pernah terdengar menarik. Lelaki itu melangkah menaiki tangga dengan lambat. Ia harus menghubungi Mike segera.




 

 

Bandung, 2020

 

Rumah Mike di bilangan Antapani masih terasa hangat; masih akrab di dalam ingatan Bright. Bagian dalamnya sedikit diperbaharui seperti kusen pintu, cat dinding, teralis jendela, dan susunan furnitur yang sudah berubah. Taman depannya masih diisi oleh berbagai tanaman herbal; temu kunci, serai wangi, sambiloto, dan tanaman-tanaman lain yang Bright lupa namanya.

Mike membuka pintu dengan wajah semringah sewaktu Bright mengabari bahwa ia akan bertamu. Bright menerka barangkali rasa senang itu datang dari kehadirannya setelah bertahun-tahun ia coba menghindari Bandung. Sahabatnya itu menyambut Bright dengan tangan terbuka, berkali-kali menawarinya berbagai kudapan, minuman dingin, bahkan dengan keras kepala meminta Bright tinggal untuk makan siang bersama. Mereka bicara soal hampir segala hal di hidup masing-masing yang keduanya lewati tanpa satu sama lain. Soal Gunsmile yang terdampar di Kalimantan Barat, soal teman-teman sekolah yang sudah menikah, soal pekerjaan, keluarga, dan bibit-bibit beban pikiran yang mendera belakangan.

“Kemarin pas nikahan Gigie, pas lo udah balik, gue ketemu sama Milk. Nanyain lo tuh, dia. Katanya Bright kok nggak pernah keliatan.”

Bright mendengus. “Basa-basi busuk doang, dia.”

Mike tergelak. “Anak-anak banyak kali, Bri, yang nanyain lo. Masih single apa nggak, katanya. Di angkatan kita ‘kan bisa dibilang lo ini most eligible bachelor-nya Arsi angkatan dua ribu delapan. Mereka bilang ‘Bright itu udah tajir, kerjaan bagus, cakep, anaknya juga kalem nggak neko-neko. Siapa yang nggak mau?’”

Bright tidak membalas.

“Kemarin gue ketemu Metawin, Bri.”

Untuk sepersekian detik yang amat singkat, Bright merasa bahwa jantungnya berhenti bekerja. Tangannya gagal mempertahankan gelas dalam genggaman, memberi celah bagi benda berbahan porselen itu meluncur jatuh ke atas karpet. Nama itu kembali lagi, seperti pemantik bagi ingatan-ingatan menyakitkan yang Bright coba kubur dalam-dalam. Matanya bergetar sewaktu ia menatap pada Mike, yang membuang wajah dan mengambil kukis di atas meja sambil berpura-pura tidak sadang kalau Bright baru saja menumpahkan segelas teh hijau dingin ke atas karpet rumahnya.

“Nggak sengaja ketemu waktu pulang kerja, Bri. Dia buka kafe gitu di Jalan Terusan Jakarta. Gue kaget pas dia berdiri di depan counter, nanyain pesenen gue. Setau gue dia pulang ke Yogyakarta setelah kalian… you know…”

Suara Mike terdengar gugup, seperti sedang mencari alasan. Bright enggan menggali maksud dari nada laki-laki itu sewaktu ia sendiri kesulitan menemukan ritme jantungnya yang mulai meliar.

“Bri?” Mike memanggil. Suaranya terdengar kecil seperti cicit seekor tikus. “Bright?”

Mata Bright mengerjap. Sekali. Dua kali. Sambil sedikit terbata ia menimpal singkat, “Dia gimana, Mike?”

Selalu begitu. Respon dari Bright tidak pernah sedikit pun mengalami perubahan sejak mereka terakhir kali bertemu. Ada kecamuk emosi kompleks yang berkabut di matanya sewaktu nama Metawin muncul ke permukaan. Metawin Aksara. Cinta dalam hidup Brian Danadyaksa. Laki-laki yang barangkali baginya Bright hanyalah mimpi buruk. Dan seperti segala mimpi buruk yang pernah ada, berharap bisa Metawin lupakan sepenuhnya. Mike seharusnya sudah tahu respon ini lah yang akan ia dapat andai ia bawa ucap nama Metawin dalam percakapan mereka. Laki-laki itu sempat pergi, hilang tanpa jejak setelah perpisahannya dengan Bright yang tidak bisa dibilang baik. Lantas segala hal tentang dirinya seperti menjadi pemantik bagi Bright yang penuh sesal; Bright yang diselimuti rasa bersalah. Empat tahun berlalu dan Mike terus berpikir bahwa di belahan dunia lain, Metawin mungkin sedang berjalan dengan dagu terangkat dan dada tegap menyusul pagi-pagi yang penuh kesempatan. Sedang sahabatnya di sini terus terbangun dini hari dari mimpi-mimpi menyedihkan dimana ia terus memandangi punggung Metawin menghilang ditelan kegelapan.

“Dia sehat. Lebih fresh dan lebih banyak senyum dibanding terakhir kali gue liat dia. Dia juga nyapa gue dan ngajakin gue ngobrol-ngobrol ringan soal anak-anak. Soal Gunsmile, soal Tay… dan soal lo,” Bright sedikit tersentak, tapi Mike memutuskan untuk melanjutkan. “Dia nanya lo sekarang apa kabar, kerja di mana, terus sehat apa nggak. Gue jawab seadanya aja, karena lo juga jarang catch-up sama kita-kita. Dia keliatan baik-baik aja, Bri.”

Bright tidak menjawab. Ia gagal menemukan kata yang tepat untuk dilayangkan pada Mike seolah huruf-huruf itu terhenti di ujung lidahnya lantas rontok seperti tak pernah ada sebelumnya. Ada sebersit rasa lega menelusup di dadanya sewaktu ia teringat kembali tawa Metawin, hidungnya yang mengerut lucu, matanya yang menyipit membentuk bulan sabit, dan suaranya yang merdu. Lantas hasrat untuk kembali melihat tawa itu langsung di depan matanya, menangkap suara itu langsung oleh kedua telinganya menguasai Bright.

“Kafenya di mana, Mike?” Bright bertanya. Suaranya tercekat. “Gue mau ketemu dia. Gue mau ketemu Metawin.”

 

 


 

 

Bandung, 2011

 

Bright pikir, jatuh cinta pada pandangan pertama itu mustahil. Ada tahap-tahap yang harus dilalui manusia sebelum jatuh cinta. Mulai dari saling mengenal, lalu menjadi saling tertarik, saling menyukai, dan jatuh cinta. Ada langkah-langkah dan proses yang jelas dalam perkembangan emosi itu, yang Bright tidak percaya bisa diringkas hanya lewat satu kali pandang. Gunsmile bilang kalau Bright terlalu idealis soal perasaan yang abstrak. Tidak praktikal, katanya, yang Bright balas dengan: ‘Gue harus ngerasain sendiri dulu, love at first sight itu gimana rasanya’.

Karma Bright datang di tahun ketiga kuliah, sewaktu festival musik kampus membawanya pada Metawin Aksara. Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa dari Efek Rumah Kaca sedang dimainkan di atas panggung sewaktu kaki Bright terinjak oleh Metawin yang sedang melompat. Itu adalah kali pertama Bright melihat Metawin, kali pertama ia terpukau oleh tawa dari laki-laki yang tidak ia kenali.

Sorry, sakit, nggak?” Suara merdu itu terdengar jelas sekali di telinga Bright di tengah ingar bingar konser. Seolah suara laki-laki yang nantinya Bright kenali sebagai Metawin Aksara adalah satu-satunya gelombang yang dapat ditangkap telinganya.

Bright menggeleng. Suaranya tersangkut di tenggorokan. Malam itu, Gunsmile dan Mike mengejek Bright habis-habisan. Berkata bahwa dunia selalu punya cara yang elegan untuk menamparnya dengan karma. Malam itu Bright mati-matian memohon pada kedua temannya yang tidak bisa berhenti tertawa untuk mencari Metawin Aksara. Masa bodoh soal harga diri. Laki-laki dengan senyum cerah dan gigi kelinci itu harus bisa ia temui lagi.

Sejujurnya menemukan Metawin bukan perkara yang rumit. Laki-laki yang tergabung dalam Paduan Suara kampus itu rupanya terdaftar di fakultas yang sama, jurusan Desain Interior. Metawin Aksara. Metawin Aksara. Bright mengulang-ulang nama itu seolah sedang membaca mantra. Bisa-bisanya ia melewatkan Metawin selama hampir tiga tahun ini?

“Ngelamunin apa, Bri?” Metawin bertanya halus. Jemarinya menelusup di antara helai-helai rambut Bright, memberi pijatan-pijatan lembut pada kepalanya yang terasa pening. Ada wangi vanili lembut yang menguar dari gerakan-gerakan kecil yang Metawin buat, wangi yang membuat Bright kecanduan.

“Ngelamunin dulu waktu pertama kali liat kamu,” kata Bright, dibubuhi senyuman simpul di ujung kalimat. “Kamu dulu cantik banget, Ta. Tapi juga gagah. Sewaktu liat kamu, aku pikir, gimana caranya bisa ada orang yang cute dan manly sekaligus? Nggak adil. You made me feel things.”

Like love at first sight?” Metawin menggoda.

“Mhm. Like love at first sight.”

Metawin terkekeh. “Tidur dulu, Bri? Kamu semalem bergadang bikin maket sampai subuh, kan?”

Suara Metawin terdengar seperti seruling di telinga Bright. Merdu dan halus. Sewaktu laki-laki itu bicara, Bright bisa merasakan segala jenis bunyi di dunia ini berubah menjadi sunyi. Mungkin itu hanya perasaannya saja. Atau telinga Bright memang diciptakan hanya untuk mendengarkan Metawin dan hanya Metawin seorang. Bright menarik jari-jemari panjang milik Metawin-nya, membawanya ke depan wajah untuk kemudian Bright hadiahi kecupan-kecupan mesra pada punggung dan telapak tangan.

“Bangunin jam tiga sore ya, Sayang? Ada latihan sepakbola.”

Metawin menunduk. Ia menggeser pahanya, mengganti bantalan kepala Bright dengan bantal yang sebelumnya sempat ia bawa dari kamar tidur. Dikecupnya pelipis Bright sebelum ikut berbaring, memberi kesempatan pada kekasihnya untuk melingkarkan lengan pada pinggang Metawin; menariknya mendekat. Tubuh mereka tidak lagi berjarak. Metawin bisa mendengar debar jantung Bright yang bertambah keras, sebelum kembali pada ritmenya yang pelan dan stagnan.

“Selamat tidur,” ucap Metawin, yang dibalas Bright dengan gumaman pendek sebelum kantuk benar-benar menariknya masuk.

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

Bel berdenting sewaktu Bright mendorong pintu kaca besar di hadapannya. Tangannya yang menggenggam tuas pintu berbahan aluminium sedikit berkeringat. Ralat, amat berkeringat. Lagu When You Love Someone dari Endah N Rhesa terdengar sayup-sayup datang dari sebuah speaker bluetooth di belakang meja konter. Hatinya mendadak sesak oleh ketakutan yang tiba-tiba datang menyergap. Bright merasa limbung. Kenangan-kenangan antara ia dan Metawin mendadak menderanya seperti gelombang pasang. Ada Endah N Rhesa bersama mereka di atas motor dalam perjalanan menuju Dago Pakar. Ada Endah N Rhesa sewaktu Bright mengajak Metawin menghabiskan subuh menunggu matahari pagi di Batu Kuda Manglayang. Ada Endah N Rhesa bersama malam-malam kelaparan dan Ayam Goreng SPG.

Bright detik itu merasa bahwa hidup ternyata amat menarik. Cara elemen-elemen kecil di dunia ini kemudian menjadi sebuah kunci bagi ingatan-ingatan tertentu terasa menarik baginya. Menarik sekaligus ironis.

Ada wangi kayu manis, kopi, dan coklat yang bercampur kompleks di udara. Kurang lebih empat orang mengisi kafe berukuran tujuh kali sepuluh itu. Seorang laki-laki bertubuh tinggi sedang mengelap meja. Seorang perempuan berpakaian pelayan sedang menata roti-roti pada showcase kue. Sisanya adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang duduk dekat meja konter, tenggelam dalam layar laptop masing-masing. Tampak terlalu sibuk untuk mengurusi sekitar.

“Selamat siang. Mau pesan apa?” Tontawan, nama yang Bright baca pada name tag perempuan itu, menyapa.

Best menu di sini apa?” Bright balik bertanya. Tatapannya mengedar ke berbagai sudut, mencari siluet yang ia kenal—atau mungkin sempat dikenalnya. Nihil.

Iced Chocolate kami yang terbaik di sini,” kata Tontawan. “Menu yang lain juga enak, sih. Tapi Iced Chocolate paling populer.”

“Oke. Itu satu. Dan satu croissant.”

“Baik. Satu Iced Chocolate dan satu croissant. Atas nama siapa?”

Bright menelan ludah. Upaya sia-sia membasahi tenggorokannya yang mulai kering. “Bright.”

Tontawan mengangguk. “Baik, Kak Bright. Mohon ditunggu sebentar, ya?”

“Metawin di mana, ya?” Bright menyela sewaktu Tontawan baru saja mengatupkan mulut. Matanya memandang perempuan yang ia taksir berusia sekitar dua puluhan tahun itu dengan was-was. Kentara sekali sedang tergesa-gesar. Mungkin alam bawah sadar Bright merasa takut pada kemungkinan bahwa Metawin bisa saja lepas dari genggaman tangannya seperti bagaimana laki-laki itu lenyap seperti asap lebih dari tujuh tahun yang lalu.

Tontawan mengangkat kedua alisnya. “Kak Bright kenal Mas Meta?”

Bright mengangguk cepat. “Metawin, ada?”

Tontawan menggigit bibir, tidak begitu yakin apakah memberitahukan keberadaan bosnya saat ini kepada seorang lelaki asing yang baru ia temui lima belas detik yang lalu adalah sebuah keputusan bijak. Ia melirik pada rekan kerjanya, si laki-laki yang tadi sedang mengelap meja, dengan sorot meminta bantuan.

“Saya panggilkan Mas Meta dulu ya, Kak,” kata laki-laki itu, menyela. Bright melihat ‘Dew’ terukir pada name tag yang dipakainya. “Boleh tahu namanya siapa?”

Bright menelan ludah. “Bright. Bright Danadyaksa.”

Detik demi detik yang berlalu tidak membantu Bright berdamai dengan rasa gugupnya. Kakinya tidak berhenti bergerak sejak tadi, bergoyang-goyang di bawah meja. Sesekali Bright bisa merasakan tatapan penuh tanya yang dilempar Tontawan di sela-sela kegiatannya membuat Iced Chocolate, tapi Bright tidak mau ambil pusing. Ia nyaris tidak bisa tidur semalam, memikirkan permohonan maaf yang paling tepat untuk disuguhkan kepada Metawin siang ini.

“Hai, Bri!” Suara Metawin yang lembut terdengar memecah sunyi yang diproduksi kepada Bright sendiri. Buru-buru laki-laki itu mengangkat kepala, mencari sumber dari suara yang barusan menyapa.

Metawin berjalan ke arahnya dalam setelan santai. Sebuah kemeja pendek putih dengan motif dots coklat susu, vest warna coklat dan celana panjang berwarna hitam. Kacamatanya sedikit melorot ke ujung hidung, yang langsung Metawin dorong dengan jari telunjuk agar kembali pada posisi semula. Laki-laki itu tersenyum. Begitu tulus dan hangat, seolah segala histori tentang kebusukan Bright di masa lalu tidak pernah ada; lenyap begitu saja ditelan cerita.

Bright membuka mulut, berusaha mengingat kembali rangkaian permohonan maaf yang ia susun semalam suntuk. Hanya untuk menemukan bahwa kata-kata yang susah payah ia rajut sudah menguap bersama gugup. Bright menelan ludah seiring dengan makin terpangkasnya jarak di antara mereka, menyisakan hanya lima puluh sentimeter sebelum Metawin berhenti melangkah ke arahnya.

“Baik, Ta. Maaf kalau tiba-tiba datang,” kata Bright setelah susah payah ia coba menekan dorongan untuk menghambur pada pelukan Metawin sewaktu mereka baru bertemu pandang.

Kepala Bright rasanya pening sewaktu wangi Metawin memaksa masuk pada indera penciumannya. Tidak ada satu pun manusia di dunia bisa memberi Bright efek serupa. Ah, ini Metawin Aksara yang sedang kita bicarakan sekarang. Laki-laki itu adalah satu-satunya entitas yang bisa membuat Bright jatuh cinta dan menyesal sama gilanya.

 

 


 

 

Bandung, 2012

 

“Gue udah bilang, cowok lo tuh ada apa-apa sama si Gigie!”

Khao nyaris saja menggebrak meja andai Mixxiw tidak mencegah. Metawin terlihat santai mengaduk lontong karinya di dalam mangkuk, sepenuhnya abai pada letupan emosi Khao yang masih belum mereda. Topik siang ini masih sama seperti hari-hari kemarin, masih membahas Bright dan Gigie yang secara tidak sengaja bertemu Khao akhir pekan lalu di Bandung Indah Plaza. Intim, kata Khao, sembari menggambarkan soal bagaimana Bright mengusak rambut Gigie penuh afeksi, bagaimana tautan tangan mereka tidak pernah terlepas sepanjang jalan, juga bagaimana Bright memandang Gigie seolah perempuan itu adalah makhluk tuhan paling cantik di dunia.

“Lo yakin lo beneran nggak ada masalah apa-apa sama Bright, Ta?” Khao masih keras kepala, masih bersikukuh bahwa ia betul-betul melihat Bright dan Gigie sore itu. “Gue nggak ada masalah apa-apa sama Bright, ya. Tapi gue yakin banget hari itu gue nggak salah liat, Ta.”

“Udah, udah. Bisa jadi emang Meta bener, lo tuh salah liat,” Mixxiw menengahi, lantas buru-buru melanjutkan setelah Khao hendak memotong. “Tapi nggak ada salahnya nanya ke Bright, Ta. Bilang aja kalau temen lo ini nggak sengaja liat dia siang itu sama Gigie. Biar clear semuanya.”

Metawin menghentikan sejenak kegiatannya menyuap lontong ke dalam mulut. Ia melirik Mixxiw dari balik bulu matanya yang panjang, melihat bagaimana sahabatnya itu memandang pada Metawin dengan sorot mata paling serius yang pernah ia lihat sejak mereka saling mengenal. Metawin bukannya tidak mempertimbangkan saran Mixxiw. Percayalah, ia betul-betul ingin meminta klarifikasi. Tapi sikap Bright belakangan ini membuat kepercayaan diri Metawin sedikit luruh. Bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi? Bagaimana kalau Bright dan Gigie sungguh-sungguh punya hubungan lain di belakangnya?

“Ta?” Mixxiw memanggil namanya. Tangannya yang hangat menyentuh lengan Metawin dengan lembut. “Obrolin, ya?”

Metawin mengangguk. Semata berusaha memberi ketenangan pada kedua sahabatnya yang nampak khawatir. “Iya, nanti gue obrolin,” kata Metawin sekenanya.

Metawin menyuapkan kembali lontong karinya yang masih tersisa seolah kalimat-kalimat dari Khao dan Mixxiw tidak menyedot isi kepalanya seperti lintah kepada darah. Pikirannya melanglang-buana pada dugaan-dugaan menyeramkan. Pada wajah malas Bright setiap kali Metawin mengajaknya bicara, pada sikap acuh tak acuh lelaki itu setiap kali mereka bertemu, dan pada kesan malas yang belakangan selalu Bright tunjukkan. Metawin tidak pernah percaya bahwa setiap hubungan punya tanggal kadaluwarsa, tapi entah mengapa, hubungannya dan Bright belakangan ini terasa begitu.

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

Bagi Bright Danadyaksa, Metawin Aksara yang duduk dengan memangku wajah di depannya tampak lebih menarik daripada segelas Iced Chocolate yang sudah lumer di atas meja. Rambut Metawin sedikit berantakan, berwarna coklat tua yang sudah hampir pudar. Tubuhnya sudah jauh lebih berotot dan lebih segar ketimbang terakhir kali mereka bertemu. Mata Metawin terlihat berbinar dan hidup, tidak mati dan kuyu seperti saat ia masih bersama Bright dulu. Bright tentu saja mengharapkan ini, kebahagiaan Metawin, setelah berulang kali ia buat patah dan remuk hati laki-laki baik itu. Tapi melihat Metawin hidup dengan baik-baik saja tanpa Bright di sisinya membuat ego Bright sedikit tercubit. Ia merasa kalah sekaligus berterima kasih pada waktu.

"Kamu pasti tau aku di sini dari Mike, ya?" Metawin angkat bicara setelah hening panjang menguasai mereka berdua. Ibu jarinya mengusap cangkir porselen putih berisi single origin yang diseduh Dew lima menit lalu. Nada suaranya terdengar tenang. Memberi tanda pada Bright bahwa pertemuan mereka bukan hal yang mengejutkan.

Bright menggigit bibir. "Maaf kalau bikin kamu nggak nyaman," tukasnya.

Metawin tertawa. Tawanya terdengar tulus. Bright tahu ia baru saja berkata omong kosong. Tapi kepalanya mendadak tidak mampu bekerja dengan baik di hadapan laki-laki ini. "Kamu kayak sama siapa aja, sih, Bri. Santai aja. Aku juga nggak bermaksud sembunyi dari kamu," kata Metawin di sela-sela tawanya yang masih terdengar.

"How's life, Ta? Aku udah lewatin banyak hal kayaknya mengingat udah tujuh tahun lebih kita nggak ketemu."

Yang ditanya mengangkat bahu. "Nggak banyak. Aku pulang ke Yogyakarta, terus bantu-bantu Bapak di rumah sebelum kerja jadi desainer grafis di perusahaan mainan. Terus ternyata mimpi lamaku belum bisa aku lepas, jadi aku mohon-mohon ke Bapak buat pinjam uang dan bikin Magic Shop."

"Kedengaran simple, padahal aku yakin berat, ya?"

Metawin tidak menampik, meski tidak juga merasa terganggu. Fakta bahwa hidup yang ia jalani tidak mudah adalah sesuatu yang tidak ingin ia sembunyikan, apalagi di hadapan penyebab dari sebagian besar kesulitannya di masa lalu. Tidak, ia bukannya mendendam pada Bright. Kedatangan Bright di sini memperkuat dugaan Metawin bahwa mungkin saja yang melalui kesulitan selama tujuh tahun perpisahan mereka bukan hanya dirinya seorang.

 

 


 

 

Bandung, 2012

 

Hubungan Metawin dengan Bright memburuk setelah anniversary pertama. Kalau ditanya dari mana datangnya perbedaan itu, Metawin sendiri tidak mengerti. Yang ia tahu, Bright tidak lagi jadi sosok yang menawarkan kehangatan seperti dulu. Pertemuan mereka berangsur-angsur berkurang, intensitas komunikasi mereka menurun. Lalu pada suatu pagi sewaktu Metawin berhasil membujuk Bright untuk meluangkan waktu mencari sarapan bersama, Bright tidak lagi menjadi Bright yang ia kenal sebelumnya. Laki-laki itu bersikap acuh, kurang responsif, dan memandang Metawin dengan sorot malas seolah ia adalah pengganggu paling tidak penting di seluruh permukaan bumi.

“Bright, weekend ini kita ke museum Barli, yuk? Aku kayaknya butuh refreshing buat rehat dulu dari skripsi. Stres banget, soalnya. Yuk?”

Bright melirik, memandang ke arah Metawin dengan tatapan dingin. “Sibuk, Ta. Kamu jalan sendiri aja, atau sama Mixxiw sama Khao aja.”

Please, Bri? Nanti aku bantuin kamu bikin maket, deh. Gimana?”

Bright menghela napas kasar. Metawin merasa hatinya sedikit tercubit sewaktu wajah Bright terlihat jengah. “Kemana-mana harus sama aku terus, emangnya? Nggak bisa sendiri?”

Metawin bungkam, membiarkan Bright kembali memakan buburnya dalam diam. Selera makannya mendadak hilang, dan ia diterpa keinginan kuat untuk meledak dalam tangis. Bright tidak lagi menjadi sosok hangat yang bisa Metawin jadikan tempat berkeluh kesah. Ia bukan lagi Bright yang datang membawa sekotak martabak telur ke kosan Metawin demi menghiburnya. Bukan lagi Bright yang tahu-tahu menunggunya di depan kelas dan menyeret Metawin berkendara ke Sumedang tanpa persiapan.

Metawin pagi itu berpikir, laki-laki di depannya ini… siapa?

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

“Mas Meta, tadi Nani telpon katanya bakal agak sorean ke sininya. Masih ada urusan di NuArt. Tugas kampus.” Tubuh jangkung Dew tahu-tahu muncul di sisi meja. Laki-laki yang Bright tebak masih berada di bangku kuliah itu sejenak melirik padanya, sebelum kembali memandang Metawin.

Metawin mengangguk. “Oke. Bilang santai aja, nggak usah buru-buru. Kalau mau izin pun sebenernya gue bolehin.”

Bright melihat interaksi itu dengan penuh keingintahuan, seolah alam bawah sadarnya tidak membiarkan ia kehilangan sedikitpun gestur yang Metawin tunjukkan. Bright sudah melewatkan terlalu banyak. Ia rasa-rasanya tak rela kembali melewatkan lebih banyak lagi saat Metawin ada di sini, berada dalam jarak pandangnya.

Dew mengangguk mengerti, lantas kembali ke belakang konter untuk bicara pada Tontawan tentang apapun yang Bright tak ingin ketahui. Salah satu dari sepasang remaja yang tadi sibuk dengan gawai masing-masing kini berjalan ke arah konter. Barangkali hendak menambah pesanan, melihat mereka masih belum memperlihatkan tanda akan pergi. Bright memutuskan untuk tidak memperhatikan lebih jauh.

“Kamu masih suka jalan-jalan ke museum, Ta?” tanyanya berbasa-basi. Bertahun-tahun berpisah membuat Bright kesulitan menemukan topik untuk dibicarakan. Sejujurnya ia tidak keberatan menghabiskan waktu dalam diam bersama Metawin, sungguh. Memandangi Metawin jelas bukan ide yang buruk untuk membunuh waktu. Namun membuat Metawin bosan juga adalah resiko yang tidak sanggup Bright tanggung.

Seulas senyum mampir di wajah Metawin. Senyuman tipis yang tidak mencapai matanya. "Udah lama nggak, Bri."

Bright tidak mampu menahan lidahnya untuk tidak bertanya. "Kenapa?"

Senyum masih terpasang di bawah Metawin. Namun Bright tidak bisa berhenti menyayangkan bagaimana binar di mata laki-laki itu redup sebelum lenyap sepenuhnya.

"Keinget-inget terus hal buruk, jadi tanpa sadar aku mulai menghindari aja, gitu. Nggak ada alasan khusus."

 

 


 

 

Bandung, 2012

 

“Gue liat-liat lo belakangan ini bener-bener jarang barengan sama si Bright. Kalian beneran udah ngobrolin masalah Gigie waktu itu, kan?”

Ah, masalah ini lagi. Kalau boleh jujur, Metawin tidak terlalu senang membahas perihal keadaan hubungannya dengan Bright Danadyaksa. Tidak sekarang. Tidak di depan kedua sahabatnya yang ia tahu akan melakukan apa saja untuk membuat Metawin terlindungi dari potensi-potensi terluka. Ia sendiri kesulitan menemukan definisi dari hubungannya dengan Bright kini. Lantas bagaimana caranya ia menjelaskan keadaan ini kepada orang lain sewaktu ia sendiri gagal paham?

“Belum,” jawab Metawin jujur. “Gue susah nemu timing yang pas buat ngobrol sama dia. Bright lagi banyak pikiran, mostly soal skripsi. Gue nggak mau ganggu dulu.”

Khao menggeram pendek. Dibanding Mixxiw, Khao terlihat lebih mudah terpancing apabila mereka bicara soal Bright. Mungkin karena sahabatnya yang satu itu pernah secara langsung melihat Bright dan Gigie, dan tahu betul bahwa Metawin bukan orang yang senang memancing konflik jenis apapun dengan siapapun yang ia kenal.

“Biarin lah, Khao. Hubungan gue sama dia emang belakangan ini lagi nggak bagus. Tapi gue yakin Bright nggak macem-macem sama Gigie. Mereka ‘kan emang udah kenal lama.”

Itu bukan bualan. Metawin kenal Bright. Bright yang ia kenal bukan laki-laki yang bisa merusak kepercayaan orang lain. Bright yang ia kenal adalah laki-laki yang hangat dan penuh kasih sayang. Tapi bukankah belakangan ini, Bright tidak lagi menjadi sosok yang familiar di mata Metawin?

Menolak menerima kenyataan pahit yang disodorkan semesta di depan hidungnya, Metawin menggelengkan kepala. Upaya sia-sia mengusir pikiran-pikiran buruk yang bercokol di dalam kepalanya belakangan ini. “Udah selesai belom nasehatin guenya? Balik, yuk? Skripsi gue udah melolong minta diberesin, nih!”

Khao dan Mixxiw bertukar pandang, bicara dalam bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh mereka sendiri. Keduanya lebih dari mengerti bahwa Metawin sedang berupaya menghindari bahasan soal Bright dan hubungan mereka yang makin runyam, jadi baik Khao dan Mixxiw tidak memperpanjang bahasan lantas menjawab dengan anggukan kepala. Mereka bertiga bangkit, membereskan sisa-sisa makanan, lalu melangkah beriringan keluar dari restoran. Membiarkan percakapan mereka mati di atas meja, sebab tidak ada lagi yang bisa mereka percakapkan. 

Metawin pikir, sedih tidak bisa dipercakapkan lebih panjang. Atau begitulah yang pernah ia baca pada sebuah cerita pendek milik penulis Puthut EA. Baru kini ia betul-betul mengerti arti dari kalimat itu. Sewaktu ia lihat bagaimana telapak tangan Bright beristirahat pada pinggang laki-laki yang bukan dirinya. Senyum yang semula selalu tampak dilayangkan ke arahnya, tatapan teduh penuh kasih yang semula hanya menjadi miliknya, sosok yang familiar baginya tapi tidak lagi menjadi miliknya. Siang itu, di elevator Bandung Indah Plaza, Metawin menangkap sosok itu, masuk ke dalam salah satu toko dengan laki-laki lain yang tidak dikenalinya. Tampak mesra, tampak serasi, sempurna menyakiti hati.

"Itu Bright, kan?" Mixxiw memecah sepi yang terasa mencekik kerongkongan Metawin. Memberi penegasan pada situasi yang enggan ia perjelas. Memberi alasan bagi Khao untuk menoleh cepat ke arah dimana pandang kedua kawannya berhenti.

"Anjing!" Khao terdengar marah. Tapi Metawin tidak lagi punya cukup tenaga untuk mencegah laki-laki itu menghambur turun, tidak sabar menunggu elevator yang mendadak bergerak amat lambat. Yang Metawin rasakan kemudian adalah tarikan Mixxiw yang terasa tergesa-gesa, tidak memberi waktu lebih bagi otaknya untuk memproses situasi.

"Khao!" Mixxiw memanggil, memutuskan untuk abai terhadap tatapan penuh tanda tanya orang-orang di mall yang tidak mereka kenali. Kakinya melangkah lebar, berusaha menyusul tungkai Khao yang bergerak cepat dimotori amarah.  "Khao, tungguin!"

Lalu semua berjalan begitu cepat.

Khao menarik lengan baju Bright sewaktu lelaki itu berdiri pada barisan jaket-jaket denim. Mata Bright sedikit melebar sewaktu ia menangkap Khao dan wajahnya yang memerah menahan marah. Pukulan Khao melayang sebelum Bright sempat mencerna situasi dengan utuh, membuat yang disebut belakangan tersungkur ke lantai dibarengi teriakan pramuniaga perempuan dan riuh yang pecah tanpa sempat dicegah.

"Astaga!" Laki-laki yang Bright bawa buru-buru berlutut, memeriksa luka di bibir Bright pasca menerima pukulan yang tak bisa disebut pelan.

"Anjing. Udah gila, lo!?" Bright berseru berang. Metawin melihat bagaimana matanya menyala murka. "Datang-datang main pukul. Sinting!?"

"Khao," Metawin memanggil lirih. Bahunya mendadak tegang sewaktu ia sadar bahwa mereka sudah kepalang menjadi pusat perhatian. "Udah yuk, Khao? Jangan di sini…"

"Tapi dia ini harus dikasih pelajaran, Ta. Udah gue bilang, kan. Si Bangsat ini," Khao menunjuk Bright tepat di depan wajah, "selingkuh di belakang lo."

Bright melirik pada Metawin, melemparkan sebuah tatapan asing yang tidak Metawin kenali. Pada iris jelaga yang dulu pernah memberi Metawin ribuan kupu-kupu itu terdapat kemarahan dan penolakan. Bright lagi-lagi berubah menjadi sosok asing yang tidak Metawin kenali.

“Pulang aja yuk, Khao?” Suara Metawin lirih dan penuh permohonan.

Mixxiw, yang selalu pandai membaca situasi, menarik lengan Khao; menyeretnya keluar toko. Bisik-bisik di sekitar Metawin terdengar semakin nyaring. Suara-suara asing itu membuatnya tidak nyaman, tapi cara Bright memandangnya membuat Metawin merasa jauh lebih ketakutan. Ia mencuri lirik pada Bright yang sibuk menyeka darah di sudut bibirnya, dibantu si lelaki asing yang tidak Metawin kenali, sebelum mengekori dua temannya menjauh dari kerumunan. 

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

Enam puluh menit berlalu dalam sekejap mata. Iced Chocolate milik Bright sudah tandas sejak sepuluh menit yang lalu, menyusul single origin Java Pineapple milik Metawin yang sudah lebih dulu habis. Mereka masih duduk di kursi masing-masing. Disela oleh selentingan percakapan mengenai hal-hal random, selebihnya bungkam. Di dalam kepala, Bright sibuk membuka kembali memori-memori yang menyimpan ia dan Metawin dalam satu gambar; hanya untuk menemukan bahwa Bright tidak pernah menjadi sosok yang aktif dalam hubungan mereka sejak dulu.

Metawin selalu menjadi orang yang memulai.

“Kamu udah lama di Bandung?” Bright bertanya lagi. Dew berkali-kali melirik ke arahnya. Dari tatapan mata laki-laki muda itu, Bright bisa menangkap ketidaksukaan. Barangkali di mata Dew, Bright hanyalah laki-laki aneh yang mendadak muncul di hidup bosnya, lantas bersikap seperti sedang menanggung dosa seluruh dunia sewaktu ia dan Metawin bicara. Bright ingin mengamini keterangan terakhir seandainya saja ia bisa.

Metawin menggumam pendek, berusaha mengingat-ingat. “Kayaknya udah hampir enam bulanan. Kepotong sama masa renovasi dan dekor kafe, Magic Shop baru buka sekitar tiga bulan ini.”

Bright mengangguk-angguk. Lagi-lagi kepalanya buntu.

“Kamu sendiri di Bandung sampai kapan, Bri? Aku jujur kaget pas kamu datang. Aku pikir kamu udah nggak mau berhubungan sama aku lagi dalam konteks apapun.” Ada tawa yang Metawin selipkan di akhir kalimat. Tawa yang terdengar sedikit pilu.

Bright menelan ludah. “Aku ke sini karena aku butuh ketemu kamu,” tukasnya. “Aku mau minta maaf, Ta.”

Hening. Metawin menatap Bright tepat di mata. Iris coklat hangatnya memandang lurus pada netra jelaga milik laki-laki yang duduk tepat di hadapannya, seolah bisa menelanjangi setiap lapisan persona yang Bright coba pasang untuk menutupi dirinya yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Tenggorokan Bright lagi-lagi terasa kering, dan telapak tangannya dibanjiri keringat. Hatinya berbisik meminta Bright untuk kembali bicara, memberi penjelasan pada Metawin soal kenapa permintaan maaf itu datang begitu terlambat, atau bagaimana Bright berusaha melanjutkan hidup sambil membawa rasa bersalah itu pada kedua pundak. Tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya.

“Maaf karena aku--”

“Aku maafin.” Suara Metawin begitu tenang seperti sebuah danau tanpa riak. Ketenangan dalam nada suara itu memukul telak dada Bright, memberinya perasaan risau yang sukar ia jelaskan. Tapi ketimbang suara Metawin yang dingin dan asing, Bright lebih takut pada cara iris coklat hangat itu balas memandangnya.

 

 


 

 

Bandung, 2012

 

Puntung rokok milik Bright sudah habis dua pertiga, menyisakan hanya beberapa senti yang Bright pikir tidak berharga. Ia matikan ujung rokok yang masih menyala pada asbak yang setengah penuh, lantas menandaskan kopi hitam yang dibeli Gunsmile di depan gang sampai hanya menyisakan ampas di dasar gelas.

“Jadi, Metawin akhirnya gimana sama lo?” Mike membuka obrolan sensitif dengan tatapan awas. Berjaga-jaga jika saja Bright masih enggan ditanya perihal hubungannya dengan mahasiswa Desain Interior itu. Sejauh ini, raut wajah Bright masih bersahabat, jadi Mike memutuskan untuk melanjutkan. “Lo datang ke kosan dia terus minta maaf, kan?”

Bright mendengus. “Iya. Malemnya gue datengin kosan dia. Anaknya lagi nangis, tapi dia bilang dia maafin gue.” Tangannya kembali memantik korek, menyalakan satu lagi batang rokok. Kepalanya terasa sesak oleh ketidaknyamanan yang Bright gagal terjemahkan dari mana datangnya. 

“Terus gimana caranya lo ngejelasin si First? Gue kalau jadi Metawin sih nggak akan percaya kalau lo sama dia disebut temen biasa, ya, Bri. Pertama kali dia ikut ke tongkrongan aja gue bisa liat First anaknya agak clingy.” Itu Gunsmile yang baru saja bertanya.

Bright menghembuskan asap rokoknya ke udara, membentuk bola-bola putih kecil yang kemudian lenyap. Ia tampak malas. Belakangan ini, segala sesuatu mengenai Metawin membuatnya malas luas biasa. Tidak lagi ada kupu-kupu, tidak ada lagi kembang api kecil yang meledak di dalam perutnya. The sparks have gone. Metawin tidak lagi terasa mengasyikkan baginya. Ia bukan lagi puzzle yang harus Bright pecahkan setiap hari. Bukan lagi labirin yang bisa dijelajahi. Metawin hanya buku yang sudah selesai Bright baca. Metawin tidak lagi menarik baginya.

“Metawin percaya aja,” Bright membalas singkat. Enggan mengungkit perihal tatapan kosong Metawin, atau soal tangis yang ia dengar datang dari kamar mandi beberapa menit setelah pengakuannya yang tidak jujur.

“Lo tuh kenapa sih, Bri, sama si Metawin? Gue liat-liat itu anak nggak ada macem-macemnya selama pacaran sama lo. Dulu juga, lo keliatan banget bucin sama dia. Kenapa sekarang mendadak jadi bajingan gini?” Mike terdengar tak habis pikir. Masih segar di ingatannya, tatapan penuh cinta Bright pada Metawin setahun yang lalu, sebelum Bright berubah menjadi orang yang tidak ia kenali lagi.

Cinta itu sudah mati.

“Dia udah nggak menarik lagi,” Bright berkata setelah jeda yang agak lama. Matanya terpaku pada ujung puntung rokok yang terbakar sedikit demi sedikit. “Ngebosenin, kalau gue boleh ngomong dengan lebih gamblang. Gue selalu ngerasa lagi pacaran sama pohon yang nggak punya emosi setiap ngeliat dia. Dia nggak pernah marah, nggak pernah ngeluh, nggak pernah minta apapun.”

Gunsmile memotong sedikit tak sabar. “Bukannya bersyukur lo punya pacar yang pengertian begitu.”

Bright berdecak. Ia mengusap wajahnya kasar. “Justru saking pengertiannya, Gun. Excitementnya udah nggak ada. Kalau besok gue datang ke dia dan bilang kalau gue beneran selingkuh sama First, atau sama Gigie, atau sama Milk, Mook, Gulf… dia cuma bakal ngangguk dan maafin gue.”

“Jahat banget lo, Bri,” Mike berkomentar. Dilihat dari raut wajahnya, nampak ia kehilangan kata-kata. “You love him.”

Bright mendengus. Ia hisap dalam-dalam rokoknya sampai hanya menyisakan beberapa senti sebelum menjawab. “I loved him. Sekarang udah beda aja.”

 

 

 

Speaker di sudut ruangan sudah sejak subuh berhenti memutar musik, tapi laki-laki yang duduk di lantai masih betah terjaga. Jika diperhatikan lebih teliti, ada warna merah yang perlahan menjalari sklera matanya. Dua potong cheesecake, dua porsi spaghetti bolognese yang sudah mendingin dan dua gelas yang masih kosong. Makan malam yang seharusnya Metawin lalui bersama pacar dua tahunnya berlalu begitu saja, meninggalkan ia duduk di tempat yang sama sejak matahari tenggelam sampai waktunya terbit kembali. Bright masih belum memberi kabar.

Metawin kesulitan mendeskripsikan kumpulan emosi di dalam dadanya. Ia merasa kebas, seolah hatinya adalah sebuah lubang hitam yang menghisap segala perasaan. Kemarahan, kesedihan, kekecewaan, rasa rindu, bahagia, penolakan, pertanyaan--Metawin bahkan tak lagi bisa membedakan mereka semua. Ia hanya merasa kosong, dan hampa, dan kebingungan.

Metawin sudah menghabiskan dua malam menangis sendirian, lalu kesulitan berfungsi. Terkadang Metawin merasa seluruh energinya meluruh meninggalkan tubuh. Terkadang ia hanya mampu melamun, seperti saat ini, sebelum kemudian mulai menangis lagi.

“Memang Bright itu nggak cocok buat lo. Terlalu bagus, terlalu sempurna.”

“Lo membosankan, Metawin.”

“Selama ini dia tuh cuma kasian sama lo. Sadar diri, lah.”

Tidur dan bangun dalam keadaan menyedihkan adalah hal yang seumur hidup tak ingin Metawin rasakan. Berulang-kali ia katakan pada dirinya sendiri untuk tetap percaya, untuk tetap tinggal, untuk mengingatkan dirinya bahwa ia cukup. Tapi setan di dalam kepalanya sedang enggan beristirahat. Kembali lagi dan lagi pikiran negatif itu terselip dalam mimpi-mimpinya, berbisik di telinganya. Metawin lelah, dan ia butuh Bright untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa lelaki itu masih mencintainya; masih belum menyerah akan dirinya.

Tapi harapnya tetaplah akan menjadi harap yang malang dan melankolis. Pada akhirnya Bright tidak pernah menemaninya melewati malam-malam penuh mimpi buruk. Pada akhirnya Bright tetap menjadi Bright yang tidak lagi akrab dalam ingatan Metawin Aksara.

Mix

Lo tau kosan gue kosan campur kan, Ta?

Gue liat Bright keluar dari kosan Neen jam lima pagi. Gue pikir lo harus tau.

Ta, gue tau lo sayang banget sama dia. Tapi ini udah kelewatan. Sekali ini aja, gue mohon, pikirin diri lo sendiri, ya?

Pesan itu datang pukul setengah enam. Beberapa menit sebelum matahari terbit. Metawin masih belum sedetik pun memejamkan mata. Masih keras kepala menunggu Bright yang seharusnya muncul pukul tujuh malam tadi. Masih bersikukuh menanti pesan dari Bright yang tidak pernah datang, seperti bagaimana si empunya tidak pernah lagi merasa perlu menghadirkan diri.

Metawin tahu Mixxiw bukan orang yang mudah tersulut seperti Khao. Bahkan sahabatnya yang disebut belakangan bukanlah tipe yang senang mencari-cari alasan dan konflik buatan. Metawin tahu seharusnya ia mundur dan berbalik badan sewaktu Khao berkata ia memergoki Bright dan Gigie jauh sebelum hari ini. Ia tahu ia seharusnya tidak menutup mata dan berpura-pura tidak apa-apa. Tapi salah satu sudut di hati Metawin berkata bahwa ia harus memberi Bright kesempatan. Ia harus memberi maaf, dan percaya bahwa Bright masih dan akan selalu memiliki cinta untuk dibagi bersamanya. Metawin tahu ia sudah menjadi lemah, tapi ia bersikeras akan bertahan.

Barangkali ini adalah cara semesta memberi tahu Metawin bahwa tidak peduli berapa lama ia coba menunggu, kapal yang sudah berlayar itu tidak akan pernah kembali padanya.

 

 


 

 

Bandung, 2020

 

Metawin Aksara pernah membaca dalam sebuah buku bahwa seorang manusia perlu merasa maklum pada masa lalunya andai ia tak mau mati tergulung di dalamnya. Hanya saja di sini letak permasalahan utama; apabila luka luar yang jelas memiliki bentuk saja sulit untuk dihilangkan bekasnya, lantas bagaimana nasib luka-luka Metawin yang datang dari peristiwa-peristiwa tak menyenangkan di masa lalu? Bagaimana caranya menghilangkan rasa sakit yang tinggal dalam lipatan ingatannya, mengendap pada sudut terdalam memorinya, abadi di sana bersama setiap peristiwa-peristiwa lain yang gagal menghapus lukanya.

Dulu, Metawin sempat mengutuk dunia dan seisinya. Hidupnya kala itu terasa seperti rangkaian peristiwa buruk yang tidak pernah mengenal jeda. Hari-harinya hanya berupa repetisi dari kesialan dan rasa sakit. Orang-orang bilang bahwa setiap manusia berjalan pada peta dari duka dan bahagianya sendiri. Lalu ke mana rasa sakit ini akan membawa Metawin kelak? Apakah akan ada akhir bagi hidup penuh nestapa yang dilakoninya?

Pada akhirnya, Metawin memutuskan untuk memaafkan.

“Awalnya aku sulit nerima, Bri. Aku terus-terusan mikir, salahku ada di mana? Aku kurang apa? Kenapa kamu tega sama aku? Apa aku bener-bener nggak layak lagi buat kamu? Puncaknya, aku mutusin buat pulang ke Yogyakarta, terus Ibu kasih tau kalau Pakde minta aku bantu-bantu usaha wisma beliau di Bali,” Metawin memandang pada pinggiran cangkirnya yang sudah kosong, menerawang lebih jauh dari sekadar porselen dan jejak bibirnya di pinggiran cangkir. “Pada akhirnya aku mulai paham keadaan kamu, keadaan aku, dan aku memutuskan kalau sekalipun akhir kita harus kayak gini, aku nggak akan benci sama kamu.”

Lidah Bright kelu. Gagal memproduksi balasan, meninggalkan mereka berdua terperangkap dalam hening yang berkepanjangan. Metawin di hadapannya masih sosok hangat yang sama, tapi tidak ada kasih sayang yang tersisa untuk Bright pada kedua netra coklat hangat itu. Metawin sudah selesai dengan dirinya sendiri, dengan apa-apa saja yang mereka bangun dahulu. Barangkali Bright adalah satu-satunya yang masih terperangkap di masa lalu. Berkubang pada kata ‘maaf’ dan ‘andai’ yang tidak pernah bisa tersampaikan pada sosok yang ia harap dapat kembali.

“Kalau aja aku nggak sebodoh itu dulu, Ta…” Bright melirik dari balik bulu matanya. 

Metawin terkekeh. Ah, betapa Bright rindu suara tawa halus yang datang dari laki-laki itu. “Udah nggak ada gunanya juga terus-terusan mikir ‘seandainya’ dan ‘kalau aja’, Bri. You have to carry on with your life, and I will do too with mine. Kita tutup buku aja, ya?”

Bright hendak menyangkal. Ia hendak memberi Metawin penjelasan bahwa tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk berkubang dalam sesal berkepanjangan. Ia ingin memberi tahu laki-laki itu bahwa Bright butuh Metawin dalam hidupnya, dulu, sekarang, dan selalu. Ia butuh menarik kembali Metawin ke dalam hidupnya, untuk menghujaninya dengan kasih sayang dan cinta yang gagal ia hadiahkan pada Metawin di masa lalu.

Tapi rangkai kalimat yang tersusun di kepalanya luluh lantak sewaktu Metawin berdiri dengan tawa yang lebar, senyuman yang cerah, dan binar yang mendadak menyala terang di kedua matanya. Bel berbunyi, dan Bright mau tak mau harus menoleh untuk menemukan apa atau siapa yang membuat Metawin tertawa selebar itu.

“Hai! Maaf, aku telat banget, ya? Tadi ada macet sedikit di lampu merah Samsat.”

Perempuan itu terlihat mungil, dengan sorot yang teduh dan senyum yang terlihat polos. Ia memakai overwashed jeans warna biru dengan blus putih dan rambut diikat tinggi. Wanita itu terlihat cantik, pikir Bright.

“Nggak apa-apa, kok. Aku juga nggak begitu banyak kerjaan,” Metawin berkata. Suaranya terdengar lembut. Ia menghampiri perempuan itu, mencium lembut pelipisnya sebelum kembali menatap Bright. Ada binar kebanggaan di matanya, dan Bright menolak untuk membaca kebahagiaan itu sebagai apapun di luar keterlibatannya.

Tapi Bright tahu ia tidak punya lagi celah untuk kembali sewaktu Metawin, dengan nada yang penuh oleh haru dan bahagia, memperkenalkan perempuan itu padanya.

“Kenalin, Bri. Ini Cinta, tunanganku.”

 

 


 

 

Bandung, 2012

 

Pukul delapan pagi dan Metawin masih belum terlelap. Kepalanya masih kosong, hatinya masih kebas, tapi tangannya bergerak tanpa komando meraih ponsel di atas meja. Ia mengetik nomor-nomor yang dihafalnya di luar kepala. Bunyi sambungan telepon terdengar bersahutan dengan debar jantung Metawin, pelan dan teratur.   

“Halo?” suara serak Bright terdengar jengkel di ujung sambungan. “Kenapa telepon pagi-pagi gini?”

“Aku denger, hari itu kamu ngobrol sama Mike dan Gunsmile di sekre football. Kamu bilang kamu bosen sama aku, Bright. You fucking said I was no longer interesting. Why didn’t you tell me?”

Ada hening pendek antara pertanyaan Metawin dan jawaban Bright. “Kenapa kamu nggak ngomong kalau denger?” suara Bright terdengar sedikit bergetar. Metawin bisa mendengar suara gemerisik di seberang telepon sewaktu Bright mencoba mengubah posisi; bangkit dari tidur singkatnya. “Kamu nguping?”

Metawin terkekeh. “Dari semua penjelasan yang bisa kamu kasih ke aku, kamu milih buat nanya aku nguping apa nggak? Seriously, Bright?”

Bright tidak menjawab.

“Kamu janji kamu bakal datang tadi malam, Bright. You promised. Tapi kamu malah nggak nepatin janji kamu sendiri. Kamu tidur sama Neen, kan? Harus banget ya, kamu ngelakuin itu di anniversary kita yang ke dua?”

“Mixxiw ngasih tau kamu?

Metawin terkekeh lagi. Ah, ia mulai bisa merasa sesak menghantam dadanya. “Nggak penting aku tau dari siapa. Aku cuma mau mastiin aja, kamu masih Bright yang aku kenal atau bukan.”

“Kamu ngomong apaan, sih, Ta?” Bright membentak. Metawin hampir bisa membayangkan laki-laki itu memandangnya dengan tatapan dingin, seperti tatapan-tatapan yang belakangan ini ia dapat dari Bright.

“Kita putus aja, ya, Bri?” Metawin berujar dalam satu tarikan napas. Ia menunggu Bright membalas sebelum memutuskan mengakhiri sambungan telepon; mengakhiri cerita mereka yang entah sejak kapan tidak lagi diwarnai cinta.

Bright tidak pernah memberi jawaban.





 

 

fin.