Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Collections:
10DaysExchange
Stats:
Published:
2021-07-31
Words:
2,103
Chapters:
1/1
Comments:
1
Kudos:
7
Hits:
87

malachite;

Summary:

Seratus dua puluh detik setelah dimulainya tarian, Kiyomi melihatnya. Kilauan permata malasit yang menangkap perhatiannya. Kiyoomi tercekat. Bukan, tepatnya bukan batu malasit, tetapi sepasang manik mata dengan warna hijau gelap yang indah bagai malasit.

Notes:

Hello! Fanfiksi ini adalah bagian dari #10DaysExchange, sebuah event kecil-kecilan yang aku kerjakan bersama teman-temanku. Ada sebuah fanart yang menyertai cerita ini, akan aku taruh linknya di akhir.

Disclaimer: Seluruh karakter Haikyuu!! adalah milik Furudate Haruichi.
Pengetahuanku mengenai tari tradisional Jepang sangat minimal, mohon maaf jika terdapat kesalahan teknis dalam penulisan cerita ini.

Happy reading!

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

 

Sakusa Kiyoomi adalah seseorang yang indah menawan.

 

Jika kamu tidak sengaja berpapasan dengannya di jalan, atau mungkin di rumah makan, atau mungkin di griya kediaman keluarga Sakusa, yang akan kamu pikirkan pertama kali adalah Sakusa Kiyoomi itu seseorang yang indah. Tampan. Rupawan. Mata yang tajam menatapmu. Bibir yang sewarna ceri ranum meski tipis. Tulang pipi yang tinggi dan garis rahang yang tegas, dibingkai oleh rambut ikal yang legam mengkilap. Tak lupa tahi lalat kembar di atas alis yang menghiasi dahinya bagai garnis hidangan mewah. Sakusa Kiyoomi bagaikan kayu jati, atau kayu eboni yang kokoh, rupawan tanpa cela. Sakusa Kiyoomi adalah karya Tuhan yang Dia banggakan.

Jika kamu ingin menyaksikan rupa tampan Sakusa Kiyoomi di sore hari ini, kamu tidak akan menemukannya jalan, di rumah makan, atau mungkin di griya kediaman keluarga Sakusa, karena saat ini sang pemilik wajah rupawan itu sedang berada di Balai Pertemuan Universitas Kyuugaku. Di sana, kamu dapat temukan seorang Sakusa Kiyoomi yang tampannya dihiasi air muka datar. Dari luar terlihat Kiyoomi tidak berekspresi, tapi di dalam, Kiyoomi sedang berteriak karena bosan setengah mati. Bagaimana tidak, ia saat ini dipaksa duduk mendengarkan rapalan rakugo dari seniman yang walau profesional, terlihat jelas bahwa dia masih pemula. Kiyoomi yang sudah terbiasa menikmati rakugo berkualitas tinggi dapat melihat kesalahan-kesalahan kecil yang tidak dapat dilihat penonton lainnya di balai ini. Kiyoomi menghela napas panjang (yang ia lakukan pelan-pelan, tentunya), berusaha menahan rasa suntuk yang melingkupinya bagaikan kucing malas yang enggan bangun dari tidurnya. Sabar, Kiyoomi, ucapnya pada diri sendiri, satu acara lagi dan kamu bisa pulang.

Mungkin muncul pertanyaan di benakmu, apa yang sedang dilakukan Kiyoomi, dan mengapa ia tidak bisa kabur saja dari tempat itu? Jawaban ringkasnya adalah, Festival Kebudayaan Universitas Kyuugaku. Jawaban panjangnya adalah, Festival Kebudayaan Universitas Kyuugaku yang sedang dihadiri Kiyoomi merupakan acara dies natalis universitas. Namun, berkat reputasi Universitas Kyuugaku sebagai universitas prestise, acara ini dilangsungkan beberapa hari. Oleh karena itu, disebutlah acara itu dengan istilah semegah Festival Kebudayaan. Acara ini diisi dengan berbagai penampilan budaya tradisional Jepang selama dua hari penuh. Mengundang mulai dari bangsawan kelas menengah hingga sang Kaisar sendiri, acara ini merupakan acara bergengsi yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh para keturunan ningrat karena mereka dapat menikmati sajian penampilan seni sambil bersosialisasi, bahkan mencuri lihat rupa Kaisar yang terhormat. Kakak lelaki Kiyoomi tidak dapat menghadiri acara ini, maka Kiyoomi sebagai anak lelaki kedua keluarga Sakusa perlu ikut menemani ayahnya untuk memberi salam kepada para bangsawan yang berada di sana.

 

Kiyoomi lebih menikmati kesusastraan sebagai cabang seni favoritnya alih-alih seni rupa, musik atau tari. Dia hanya berlatih dan mengonsumsi produk-produk seni untuk menanggalkan kewajibannya sebagai anak bangsawan terpandang yang harus menguasai bidang apapun termasuk seni. Singkat kata, Kiyoomi tidak peduli sama sekali dengan seluruh sajian yang ditampilkan di Festival Kebudayaan Universitas Kyuugaku. Kiyoomi menghela napasnya. Setelah ini, jika acara mengikuti jadwal, adalah waktunya penampilan tarian yang akan dibawakan oleh para mahasiswa laki-laki Kyuugaku. Penampilan ini adalah program baru tahun ini. Entah apa yang merasuki jajaran rektor universitas, mereka setuju untuk menampilkan mahasiswanya alih-alih mengundang penari profesional. Tolonglah, apa yang bisa diharapkan dari sekelompok mahasiswa? Memangnya mereka punya waktu untuk berlatih tari? Punya keterampilan untuk berdandan? Kiyoomi tidak berharap muluk bisa melihat tari sekelas profesional secara gratis di aula universitas ini. Ia hanya tidak ingin waktunya terbuang untuk menonton sekumpulan badut yang tersandung-sandung dengan dalih “menari”.

 

Para penari secara perlahan memasuki panggung dari sisi kanan dan kiri. Kostum mereka yang didominasi warna merah putih melambai mengikuti gerakan empunya. Kiyoomi mengangkat sebelah alisnya. Setidaknya kostum yang mereka sewa tidak murahan. Mereka meluncur dengan ayu menuju tengah panggung, membentuk dua baris dengan tiga orang di depan dan empat orang di belakang.

 

Tapi, detik berikutnya, Kiyoomi terpaksa menelan caciannya yang sudah di ujung lidah.

Gerakan mereka sangat lihai, mengalir bagai ayunan pedang seorang samurai yang telah puluhan tahun menggeluti profesinya. Mereka mengayunkan kipas dan tungkai mereka dengan tenaga ke atas, ke depan, dan ke kiri. Gerakan yang harmonis dan seragam, ibarat alunan musik untuk mata.

Napas Kiyoomi tercekat di kerongkongannya. Bagi Kiyoomi sang putra bangsawan ningrat, penampilan seni bermutu tinggi sudah bagaikan makanan sehari-hari. Penampilan tari ini, meskipun bagus, sama sekali bukan tandingan tari yang biasa dia nikmati (dengan terpaksa) di teater-teater besar bergengsi. Namun, namun, ada sesuatu yang tidak bisa Kiyoomi jelaskan, tidak bisa Kiyoomi beri nama, yang menarik Kiyoomi ke dalam pusaran badai perasaan.

Para penari itu melenggok, membentuk lingkaran, berputar dan menghentak. Gerakan kipasnya mengembuskan udara yang menyapa kulit wajah Kiyoomi dengan gemulai. Mengguncangkan sesuatu di dalam Kiyoomi. Kiyoomi hanya bisa terpaku di tempatnya, memasrahkan seluruh panca indranya di bawah belas kasih gerakan tari yang disuguhkan di depan matanya.

 

Seratus dua puluh detik setelah dimulainya tarian, Kiyomi melihatnya. Kilauan permata malasit yang menangkap perhatiannya. Kiyoomi tercekat. Bukan, tepatnya bukan batu malasit, tetapi sepasang manik mata dengan warna hijau gelap yang indah bagai malasit.

 

Malasit itu bertuan seorang lelaki yang lebih cantik dari matanya. Ekspresi wajah selembut beludru, rambut sehitam malam, dan jemari lentik bagai kembang yang baru saja mekar. Lelaki itu cantik. Cantik sekali. Indah. Jelita. Iris sewarna malasit milik lelaki itu bagaikan sekeping batu pipih yang membuat riak di danau tenang yang adalah jiwa Kiyoomi. Tatapannya sayu nan teduh ibarat rembulan, namun pada saat yang sama bagaikan kilat yang menusuk sukma. Gerakannya sehalus sutra, namun di waktu yang sama seakan mencekik Kiyoomi dan meninggalkan dia tanpa udara tersisa dalam bilik paru-parunya. Kiyoomi terpana.

Jika dapat menggambarkan situasi yang Kiyoomi alami saat ini dengan suatu istilah, maka istilah itu dapat dipinjam dari novel roman kepunyaan kakak perempuan Kiyoomi. Kiyoomi benci sekali dengan plot novel roman picisan yang biasa dibaca kakak perempuannya, selalu mencela jilidan buku-buku tersebut di setiap kesempatan yang ia punya. Namun saat ini Kiyoomi seperti terkena karma, karena merasakan dirinya terjebak dalam salah satu novel itu, menjadi salah satu karakternya yang bodoh tak terkira. Jantungnya berdegup kencang untuk lelaki itu. Istilahnya, Kiyoomi jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Tapi bukan hanya itu, dari dalam rongga peritoneumnya muncul sebuah perasaan, sebuah nafsu primordial. Hasrat untuk memburu, dambaan untuk memiliki. Kiyoomi tahu, kalau dirinya harus memiliki lelaki cantik bermanik malasit itu.

 

Kiyoomi yang sibuk terpesona tidak menyadari bahwa, tarian sudah selesai. Ketujuh penari membungkukkan badannya dalam-dalam. Lamat-lamat Kiyoomi dengar riuh rendah tepuk tangan, dibarengi gumaman kagum dan beberapa tawa. Sebagian memuji dan mendamba, sebagian iri dengan kecantikan mereka. Tetapi semuanya bagai angin lalu saja bagi Kiyoomi. Mata dan pikirannya, bahkan hatinya terfokus pada satu penari itu saja. Penari dengan bola mata malasit.

Kiyoomi menatap sosok si lelaki cantik berlalu, masuk ke belakang panggung. Debaran jantung Kiyoomi semakin keras, kali ini ditambah rasa takut tidak bisa bertemu lelaki itu lagi. Kiyoomi tidak bisa membiarkannya berlalu begitu saja. Kiyoomi harus berbuat sesuatu.

Maka dari itu dia bisikkan pada ayahnya, kalau dia perlu menggunakan kamar kecil. Ayahnya tidak merespon selama beberapa detik, matanya terfokus pada rektor Universitas Kyuugaku yang sedang membawakan pidato penutupan. “Kau tahu kalau kita tidak boleh bangun sebelum yang mulia Kaisar pergi, Kiyoomi.”

“Tapi ayah,” bisik Kiyoomi. “Aku benar-benar butuh ke kamar kecil. Kalau tidak, banjir bandang akan menenggelamkan Kyuugaku.” Muncul kerutan kesal di tengah alis ayah Kiyoomi mendengar lelucon itu. Namun, akhirnya, Kiyoomi diizinkan dengan gerakan kepala cepat ke samping dari Ayahnya.

Kiyoomi tidak membuang waktu setelah mendapat izin ayahnya, kakinya yang dibalut tabi menapak ringan di atas lantai kayu. Kiyoomi berbelok melewati lorong, berusaha mencari petunjuk apapun mengenai kelompok penari itu. Mereka menggunakan pakaian yang kontras dengan warna bangunan kayu ini, seharusnya tidak sulit menemukannya.

 

Kiyoomi berjalan cepat menyusuri lorong, tiap ruangan dia pastikan tidak berpenghuni sebelum melewatinya. Telah belasan ruangan ia periksa namun tiada yang bisa Kiyoomi temukan di sana. Sudah begitu, Kiyoomi tidak tahu sekarang dia berada di mana. Kalau saja dia tidak begitu terfokus pada misinya, pasti Kiyoomi akan menyadari bahwa matahari sudah beranjak ke peraduannya, mengizinkan gelap malam untuk mewarnai cakrawala. Apabila dia tidak kembali hingga waktu pulang tiba, ayahnya akan curiga.

Dari ujung lorong, terdengar suara sekelompok orang. Kiyoomi tersentak, segera mengalihkan pandangannya ke asal suara. Kiyoomi bersorak dalam hati. Akhirnya! Dia menemukan apa yang dia cari. Lelaki cantik bermanik malasit, serta teman-teman penarinya. Kiyoomi melangkahkan mendekati kelompok tersebut, sambil menjaga jarak aman. Mereka tampak tidak menyadari kehadiran Kiyoomi karena asyik mengobrol sesamanya. Kiyomi bersyukur dalam hati.

Mereka masuk ke dalam suatu ruangan, entah ruangan apa. Kiyoomi berdiri di balik tembok, menunggu. Satu, dua , tiga penari meninggalkan ruangan dengan baju yang berbeda dari kostum tari mereka. Empat, lima penari berjalan pergi, namun Kiyoomi belum melihat lelaki cantik pujaannya.

Akhirnya penari keenam keluar. Tandanya, lelakinya sudah sendirian di dalam ruangan. Kiyoomi menelan ludah, lalu beranjak mendekati ruangan. Dia menggeser pintu dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang ditimbulkan.

 

Hal pertama yang Kiyoomi sadari adalah, ruangan itu gelap. Tidak ada cahaya kecuali satu batang lilin yang meneranginya. Kiyoomi menahan napas. Itu dia, tak salah lagi. Lelaki bermata malasitnya. Kiyoomi hanya butuh tujuh menit regimen tarian untuk membakar tiap ciri fisik lelaki bermata malasit ke dalam benaknya.

Lelaki itu tidak menyadari kehadiran sosok lain dalam ruangan. Pertahanannya lemah sekali, pasti bukan orang yang terlatih dalam bela diri. Baguslah, pikir Kiyoomi. Bakal repot kalau lelaki ini membuat kegaduhan.

Kiyoomi menyadari, kalau lelaki itu belum mengganti kostumnya. Lalu, di detik berikutnya, tangannya menarik sebuah tali dari bagian samping kostumnya, dan begitu saja, kostumnya mulai terlepas. Segalanya bergerak sangat lambat untuk Kiyoomi. Detik terasa meregang menjadi menit. Kain yang membungkus tubuhnya perlahan meluncur turun, menampilkan leher jenjang lelaki itu. Kemudian turun lagi, menunjukkan bahu indah serta punggung sehalus porselen. Kemudian turun lagi, mengekspos pinggang rampingnya, dan lagi, lagi, hingga kain putih itu terjatuh ke lantai tatami, menimbulkan bunyi debuk ringan yang menarik Kiyoomi dari menyadarkan Kiyoomi dari keadaan hipnosisnya. Kiyoomi terkesiap. Suaranya mengejutkan lelaki itu dan dalam satu gerakan, lilin di samping si lelaki tersenggol dan jatuh ke lantai, menyisakan mereka berdua dalam kegelapan total.

 

Kiyoomi salah langkah.

 

“Siapa di sana?!” seru lelaki itu dengan lantang, namun Kiyoomi dapat merasakan panik dalam suaranya. Dengan gerakan secepat kilat Kiyoomi berpindah ke tempat lelaki itu, membekap mulutnya. Lelaki itu menggeliat dan bersuara protes, sehingga Kiyoomi menekan mulutnya lebih keras. Kemudian Kiyoomi berbisik, “Jangan bersuara. Aku tidak akan menyakitimu.” Barulah lelaki bermata malasit itu berhenti memberontak.

Kiyoomi pelan-pelan melepaskan tangannya, dan laki-laki itu berbalik menghadap Kiyoomi. Perbedaan tinggi mereka menyebabkan lelaki itu sedikit mendongak. Tatapannya nyalang, menatap Kiyoomi dengan marah. Bibirnya melengkung ke bawah, membentuk kata-kata, “Kenapa kamu ada di sini, hai orang-yang-akan-menyakitiku? Apa maumu?” Kiyoomi terpana. Cantik, lelaki ini bahkan lebih cantik ketika dipandang dari dekat. Saat ini matanya benar-benar mirip batu malasit, batu yang dipoles hingga berkilau saat ditimpa cahaya bulan. “Halo?” lelaki ini melambaikan tangannya di depan wajah Kiyoomi, mengembalikan Kiyoomi ke alam sadar. Ah. Entah sudah berapa kali dia membuat Kiyoomi terpesona hari ini. Salahnya karena terlalu sempurna.

 

Kiyoomi meneguk ludah. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kepada lelaki ini bahwa dirinya hanya mengikuti impuls belaka. Bahwa Kiyoomi datang ke sini karena menginginkannya. Maka, alih-alih menyuarakan hasrat terdalamnya, Kiyoomi berkata, “Aku ingin tahu namamu.”

Alis lelaki itu berkerut marah. Wajahnya maju beberapa senti mendekati Kiyoomi. “Tidak sopan,” Lelaki itu menusukkan jari telunjuknya ke dada Kiyoomi dan dengan suara berapi-api dia melanjutkan, “Pertama kau mengikutiku ke sini, mengintipku sedang ganti baju,” lalu sekarang kau ingin tahu namaku? Sebutkan dulu namamu.”

Gila. lelakinya ini tidak ada takut-takutnya. Kiyoomi jadi semakin suka padanya. “Aku Kiyoomi, anak ketiga keluarga Sakusa.” Lalu, seperti yang sudah diperkirakan Kiyoomi, air muka lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Siapa yang tidak mengenal keluarga Sakusa? Bangsawan kaya raya nan terpandang, dengan koneksi yang kuat ke Istana. Semua orang menghormati mereka.

“Maafkan saya! Saya tidak tahu…” Lelaki itu hendak membungkukkan badannya, namun Kiyoomi menahannya. “Tidak masalah. Seperti katamu, aku yang tidak sopan mengikutimu dan tidak memperkenalkan diri lebih dulu.”

Lelaki itu perlahan mengangkat kepalanya, namun manik mata indahnya masih memancarkan gugup. Dia menempelkan telapak tangannya di dadanya, lalu dengan sedikit membungkuk dia memperkenalkan dirinya. “Saya Akaashi Keiji. Murid tahun terakhir Universitas Kyuugaku.”

Akaashi. Akaashi Keiji. Akhirnya Kiyoomi mendapatkan nama lelaki cantik ini. “Akaashi,” ucap Kiyoomi, mencicip bagaimana rasa nama indahnya ketika diucapkan oleh lidahnya, “Tarianmu indah sekali. Aku terpana melihatnya. Kau indah sekali.”

Lelaki itu membungkuk makin dalam. “Terima kasih, Tuan.”

 

“Akaashi,” panggil Kiyoomi pada Akaashi yang masih menundukkan kepalanya. “Aku punya firasat kita akan bertemu lagi.” Mendengar itu, barulah Akaashi mengangkat wajahnya. Bulu mata lentiknya mengerjap heran, menutupi manik matanya untuk sekejap dua. Kiyoomi hanya tersenyum simpul melihatnya. “Sudah larut. Segera ganti bajumu, atau kau akan masuk angin. Aku permisi dulu,” untuk ketiga kalinya Kiyoomi menyebut namanya, “Akaashi.”

 

Lalu Kiyoomi bergerak pergi, meninggalkan Akaashi yang kebingungan dalam ruangan itu sendiri.

 

Firasat, katanya. Kalaupun firasatnya salah, Kiyoomi akan mengusahakan dayanya agar firasatnya menjadi benar. Kiyoomi akan membelokkan takdir hingga bagaimanapun caranya, dia dan Akaashi dapat bertemu kembali.

 

 

fin.

Notes:

Thank you for reading! Semoga kalian suka ya. Fanfiksi ini adalah perwujudan ide dari Jun, she has this enormous and beautiful sakuaka historical au. I can't thank her enough for letting me take a glimpse of her galaxy brain and I feel honored to write a part of it. Jangan lupa untuk membaca entri lainnya dari exchange ini!

 

fanart dari jun!

 

Catatan: Malasit adalah jenis batu mineral yang sewarna dengan iris mata Akaashi, oleh karena itu Sakusa menggunakan batu ini untuk menggambarkan betapa indah mata seorang Akaashi.

 

batu malasit