Chapter Text
(Jangan pesimis dulu. Belum tentu skenarionya sesuai yang bayanganmu, apalagi pas sekembalinya kamu dari proses penyucian.)
Akutagawa ingat kata-kata itu. Setelah keduanya mencapai kesepakatan, Touson memapahnya keluar dari penjara bawah tanah. Akutagawa berulang kali menuntut maksudnya, tapi Touson selalu menampik dan meminta rekannya melihat hasil akhirnya di waktu mendatang.
“Gimana kalau topeng pura-pura baiknya dicopot aja, Kume Masao-kun?”
Tidak. Bukan jawaban ini yang ia harapkan. Bagaimana bisa Kume, orang yang selama ini bersamanya, adalah dalang semua kasus?
“Tu-tunggu,” pinta Akutagawa lirih. “Bicara apa kamu, Shimaza—“
“Akutagawa-san.” Genggaman Hori semakin menguat; tangan Akutagawa tidak dibiarkan lepas barang sedikitpun. “Tolong dengarkan penjelasan Shimazaki-san terlebih dahulu. Kumohon.”
Bahkan Tacchanko seserius ini ….
“Kikuchi-kun, kusarankan kamu menjaga jarak dari-nya.” Mata Touson tidak berhenti mengawasi Kume. Ia memastikan orang yang ia tuduh tidak melancarkan hal-hal mencurigakan.
Posisi Akutagawa tidak di antara Kan dan Kume; ia hanya bisa mengawasi dari ‘sisi’ Touson tanpa dapat menengahi atau membela tudingan yang diarahkan ke temannya.
Kira-kira apa yang Kan lakukan? Jika satu-satunya orang yang ada di dekatnya juga menganggapnya ‘jahat’, Akutagawa tidak bisa membayangkan bagaimana terpuruknya Kume. Coba pikirkan, ia baru saja mengalahkan Shinshokusha demi membantu Dan Kazuo keluar dari bukunya sendiri dan menyelamatkan Dazai, lalu sekembalinya ke perpustakaan … seseorang menuduhnya mau menyerang ‘mental’ Akutagawa dan orang-orang di sekitarnya pun tidak terlihat menolak atas peryataan tersebut.
Apa mereka lupa buku Kume baru disucikan beberapa hari lalu?
“Tergantung cerita kalian.” Kan tidak bergeming. “Aku menolak pergi dari temanku hanya karena segelintir orang menuduhnya tanpa alasan jelas.”
.
.
.
Rust-colored Gear
Reauvafs
Chapter 13: No Longer Human 2
.
.
.
Kegelisahan Akutagawa sirna dalam sekejap. Tentu saja Kan yang ia kenal akan berkata begitu. Picik sekali Akutagawa terbesit pikiran temannya yang bijaksana itu menelan mentah-mentah tuduhan dan memusuhi Kume.
Aku selalu beraspirasi belajar darinya.
Kume belum membalas. Meski semua tatapan tertuju padanya, Kume tetap mengunci mulutnya. Posturnya yang menunduk mempersulit orang-orang mengetahui raut wajahnya. Namun, setelah Kan memberikan afirmasi bahwa ia tidak bergeming setidaknya sampai Touson menerangkan tuduhannya, Akutagawa rasa temannya menemukan sedikit kepercayaan diri.
“Kan …” Kume menoleh ke arah temannya. “Terima kasih.”
Yang terpantul di wajah Kume adalah keraguan, kebingungan, dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Ia menatap satu persatu orang yang berlawanan arah dengannya—Akutagawa bahkan sedikit menyadari kala mereka saling berpandangan mungkin mata Kume berkata ‘apa kau menganggapku begitu, Akutagawa-kun?’—hingga ia berhenti dan memusatkan tatapannya ke Touson.
“Apa maksudnya topeng pura-pura baik?”
“Tidak ada maksud khusus,” jawab Touson. “Toh itu memang hal yang kau lakukan sampai sekarang.”
“Aku nggak merasa begitu.”
“Berpura-pura melindungi literatur dan rekan seperjuanganmu di saat kamu berusaha melimpahkan semua kejahatan pada Akutagawa-kun kupikir termasuk sikap pura-pura baik.”
Eh?
Aku?
Touson beranggapan Kume yang dibangkitkan bersama Kan dan melaksanakan tugasnya sebagai orang yang membuat Akutagawa tertuduh pembunuh oleh Saku dan anggota delving buku Kan?
“Oi, Shimazaki.” Jarak mereka yang berdekatan mampu menyampaikan kekesalan Akutagawa. “Memangnya enak apa baru datang langsung main tuduh?”
“Kalau kau mempersilakanku bicara tanpa sedikit-sedikit menginterupsi, aku akan dengan senang hati menjelaskannya.” Touson menanggapinya se-tenang mungkin. “Kamu siap mendengarnya?”
Entah siapa yang ia maksud. Akutagawa menelan amarahnya dalam diam, Kan tetap mengawasi sekitar sembari berdiri di sebelah temannya, dan Kume menunggu di seberang Touson.
“Kecurigaanku bukan bermula dari kasus Shuusei.” Merasa ketiganya siap, Touson memulai ceritanya. “Konklusi Kume-kun dalang di balik semuanya didapat setelah aku mengawasimu hingga kamu kembali ke sini.”
Tidak ada yang bersuara. Touson melanjutkan, “Sejak Shuusei diserang, aku mulai mengkategorikan setiap orang, bahkan diriku sendiri, berdasarkan tingkat kecurigaan.”
“Kecurigaan?” ulang Akutagawa. “Atas dasar apa?”
“Minimnya pembuktian alibi, alasan yang berusaha diciptakan, bagaimana ekpresi saat menjelaskan, semuanya kuperhatikan.” Touson mengeluarkan buku catatannya. “Aku mencatat semuanya di sini, kalau kalian ingat.”
“Sesi … wawancara dulu.”
“Aku senang kamu ingat, Akutagawa-kun.” Tak ada niatan menjahili Akutagawa. Touson merasa terbantu karena penjelasannya. “Kume-kun tidak semata-mata menjadi fokus utamaku. Kikuchi-kun, Hagiwara-kun, bahkan Dazai-kun dan yang lain yang bersaksi main kartu sampai tengah malam pun tetap kuperhatikan satu-persatu tanpa mengutamakan siapapun.
“Lalu kasus dua buku bermasalah datang dan ruang lingkup penyelidikanku mengecil. Aku mulai menyadari situasi sedikit menyimpang dari biasanya. Apa itu berarti kasus Shuusei dan kasus baru bersinggungan? Tidak juga. Aku, sama halnya kalian, masih menerka-nerka apa yang terjadi di tempat ini.”
“Bisakah ceritamu dipercepat?” Kan menginterupsi. Ia tampak tidak senang. “Hal yang kau jelaskan tidak cukup jadi bukti Kume pantas dituduh.”
“Tenang, Kikuchi-kun,” pinta Touson. “Aku yakin kamu bakal lebih tidak terima jika ceritanya langsung ke inti tanpa kuceritakan asal-muasal penyelidikanku.”
Akutagawa memberikan Kan sebuah tatapan yang menyiratkan agar dirinya tetap tenang dan mengontrol emosi. Senyumnya tidak tulus—Kan tahu ia tertekan—namun ia menuruti ucapan Touson.
“Aku anggap aku bisa melanjutkannya.” Touson mengembalikan topik pembicaraan. “Sampai mana aku tadi? Oh, kasus buku kalian berdua yang diserang Shinshokusha ditambah kondisi Kume terjebak di dalam dan Kikuchi-kun sehat-sehat saja di luar semakin meningkatkan keanehan dari keseluruhan kasus. Sebelumnya tidak ada yang diserang di dalam perpustakaan, sebelumnya tidak pernah dua buku ternodai di satu waktu … aku mulai menganggap dua kasus tersebut saling bersinggungan meski belum ada benang merah yang jelas.
“Sepulangnya kami dari buku Kume-kun lah katalis yang menentukan titik terangnya.” Ia sudah tak sabar menerangkan bagian ini. “Muroo-kun dan Oda-kun diserang, perbedaan prinsip antar kami dan Akutagawa-kun menyebabkan kami pisah jalan dan tidak mengetahui keberadaannya beberapa waktu, ditambah Hagiwara-kun dan Sakaguchi-kun menjadi saksi hidup melihat sosok yang hadir di buku Kikuchi-kun. Ketiga hal yang terjadi sekaligus saling terkait dan mengarah ke satu orang.”
Touson melirik orang yang ia maksud. “Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, semua kekacauan diarahkan padamu, Akutagawa-kun. Momennya terlalu pas, kamu bahkan tidak punya waktu berkelit pas Hagiwara-kun mengeluarkan sumpah serapahnya.”
“Tentu saja aku tidak membalasnya. Aku percaya Saku-kun tidak berbohong.”
Benar. Akutagawa yang ia kenal adalah Akutagawa yang mempercayainya, tidak peduli meskipun mereka berdua memiliki pendekatan yang berbeda. Seharusnya Saku lebih memegang teguh pemikiran tersebut dan bukannya tenggelam dalam emosi dan membuat Akutagawa menanggung beban yang sejak awal bukan miliknya.
“Ryuu-kun …” gumam Saku. “Maaf.”
“Jangan minta maaf. Yang kamu lihat benar, ‘kan?”
Saku mengangguk. Ia yang sekarang tidak perlu bicara lagi. Ia cukup percaya Akutagawa karena pelaku sesungguhnya telah berada di depan mereka.
“Akutagawa-kun orang yang paling memungkinkan dari berbagai sisi, sehingga aku meletakkan namanya di posisi teratas,” lanjutnya. “Aku mengawasinya, mencari-cari celah yang bisa menegaskan statusnya, namun yang kutemukan malah celah lain yang menyanggahnya.”
“Kau … berhenti menguntitku.”
“Di tengah penyelidikanku, aku mencoba mempertanyakan hal-hal sederhana.” Touson tidak meladeninya. "Kenapa semua kebetulan berpusat ke Akutagawa-kun? Jika ada seseorang yang bertanggung jawab atas semua kasus, apa alasannya melemparkan semua kesalahan pada Akutagawa-kun? Dendam masa lalu? Atau semata-mata karena ingin menghancurkan perpustakaan ini? Shinshokusha tidak pernah lupa kutekankan sebagai penyebab terbesar semua masalah, bahkan dugaan mentahku bisa jadi Shinshokusha merasuki Akutagawa-kun.”
“Dan karena aku punya masalah di masa lalu dengan Akutagawa-kun, kamu langsung menyimpulkan aku pelakunya?”
Kali ini Kume yang menimpali.
“Dugaan sementaraku menganggap itu salah satu faktornya.” Touson mengakuinya. “Di sisi berlawanan aku juga menyadari situasi di bukumu sudah kondusif dan kalian berhasil rekonsiliasi. Aneh rasanya kamu perlu melakukan hal se-merepotkan itu hanya demi mengelabui kami.”
“Hmm … benar juga.”
“Analisisku sempat buntu dan tidak menemukan jalan keluar. Aku menganggap Akutagawa-kun tersangka utama tanpa menurunkan kewaspadaanku pada kalian semua.” Kata akhir yang diucapkan Touson menarik perhatian orang-orang. “Ada proses eliminasi yang kulakukan seiring berjalannya kasus. Hori-kun, Mushanokouji-kun, Ango-kun, dan Oda-kun terbukti aman sejak kasus Shuusei dan kesaksian mereka terus solid. Nakahara-kun dan Dazai-kun selalu berada di tempat ramai dan banyak orang mampu membuktikannya. Tentu saja Muroo-kun berada di luar lingkup, Shuusei juga.
”Tapi bagaimana denganmu dan Kikuchi-kun? Kalian berdua selalu terlibat di semua kasus. Sama-sama kekurangan alibi di malam Shuusei diserang, sama-sama bukunya ternodai Shinshokusha, dan sama-sama berada di dekat Akutagawa-kun, yang notabene tersangka utama.”
Proses eliminasi yang dijabarkan Touson sungguh meyakinkan. Tidak ada seorang pun yang membantahnya. Saku dan Musha sudah mengetahui semuanya jauh sebelum ia mengemukakannya, namun mereka, seperti yang lain, belum mendapatkan kepingan puzzle seutuhnya dari analisis Touson.
“Meski aku mengikuti kemanapun kalian pergi, aku masih belum yakin sepenuhnya.” Touson melirik catatannya lagi. “Apa yang kurang dari pengamatanku? Kenapa perkembangan dari kasus satu ke kasus lain sulit disambungkan? Bagaimana Kikuchi-kun dan Kume-kun menyembunyikan siasat mereka? Aku selalu mempertanyakannya setiap malam hingga kuputuskan berhenti berasumsi pola akan muncul jika dilihat dari titik mula ke akhir.”
Akutagawa ternganga. “Maksudmu, kamu mulai dari nol?”
“Lebih tepatnya, melakukan pendekatan sebaliknya; melihat pola kondisi sekarang dan mundur ke belakang.” Touson mengoreksi. “Pas Kume-kun membawa buku Dan-kun di tangannya, pola yang semula buram langsung terbentuk sempurna.”
“Buku Dan-kun?” Kume memastikan pendengarannya tidak salah. “Bukannya kamu yang mencetuskan idenya?”
“Cara mendatangkannya bukan hanya dipanggil Alkemis.” Touson mengoreksi sedikit. “Menciptakan situasi di mana dia harus ‘diselamatkan’ juga bisa.”
Tidak butuh waktu lama bagi semuanya menyadari maksud Touson. Kehadiran Akutagawa, lemah dan bergantung padanya, serta petunjuk yang tidak jauh dari kondisi buku Dazai … Touson benar-benar cerdik.
“Kita semua sepakat kalau Akutagawa-kun penyebab Dazai-kun terjebak di bukunya, ‘kan?” Bukti Akutagawa ditahan dan tak seorang pun menolak (bahkan sahabatnya sekalipun) adalah hal yang tak terelakkan. “Mumpung dia mau diajak kerja sama, kita harus menggunakannya sebaik mungkin.”
“Oh, aku memang yang menyarankannya,” ungkap Touson. “Tapi aku lebih penasaran kenapa buku itu ada di tanganmu.”
“Oi, aku kira pertunjukan analisismu lebih baik dari novel detektif picisan.” Kontrol diri Kan nyaris lepas. “Jangan karena kamu buntu, kamu memaksakan analisismu yang setengah matang. Aku yang mengajaknya, tapi yang mendapatkan buku Dan duluan itu dia!”
Kan tidak menutupi apapun. Sejak dibangkitkan di perpustakaan ini, ia selalu berada di sekitar Kume, mengetahui hal-hal yang menjadi beban pikirannya yang tidak jauh-jauh tentang Akutagawa. Mereka mempertimbangkan banyak hal, termasuk bagaimana mempertahankan teman mereka yang sekarang masih melupakan masa lalunya.
Kume tidak bersalah. Aku akan membuktikannya!
“Benarkah begitu?”
Pertanyaan Touson tidak panjang, hanya sebatas dua kata yang umumnya digunakan agar kepercayaan seseorang rapuh dan mudah diputarbalikkan.
Kan tersenyum sinis. “Kamu anggap aku bohong?”
“Tidak. Aku percaya kesaksianmu benar.” Touson berhenti sejenak. Kelegaan yang tersirat di wajah Kan sudah diperkirakan Touson sebelum ia menyerang kembali. “Yang mau kutanyakan, benarkah proses kegiatan mengambil buku Dan-kun berjalan lancar tanpa hambatan?”
Tidak ada … ‘kan? Yang mereka lakukan hanya berlari sekencang mungkin, berbagi area pencarian, memeriksa rak rak buku, kemudian buku fraksi Buraiha terlihat dan—
“Dari perubahan sedikit ekspresimu, sepertinya terjadi sesuatu.”
“Diam!” Kan mati-matian menyanggahnya. “Aku … kami cuma ….”
“Kalian?”
Ini bukan pertanda buruk. Kan meyakini dirinya sendiri. Semakin ia menutup-nutupinya, semakin gencar Touson menekannya. Ia cukup mengakui seperlunya sembari menolak apapun yang Touson simpulkan dari kesaksiannya.
“… kami bertubrukan pas bukunya ketemu.” Kan mengakuinya. “Karena posisiku ditiban Kume, aku memintanya mengambil buku itu dan membawanya ke tempat kalian.”
“Hoo ….”
“Tapi dia bukan orang yang berinisiatif pergi! Aku yang—”
“Mau kamu bicara duluan atau tidak, dia pasti akan tetap pergi mengambilnya. Aku yakin Kume-kun sudah memperkirakan emosimu dan tingkat kedekatan kalian berdua maupun dirinya dan Akutagawa-kun sehingga tanpa perlu menawari diri, kamu pasti semangat duluan ingin pergi dan membuktikan temanmu tidak bersalah.”
“Shimazaki!”
“Terserah dia bilang apa.” Apapun yang Touson ucapkan rupanya tidak mempengaruhi Kume. “Aku harap Shimazaki-san bisa mempertanggungjawabkan tuduhannya yang dia bilang pakai pendekatan mundur ke belakang.”
“Tenang saja, Kume-kun, aku baru mau bahas.” Touson mengapresiasi dukungannya. “Sejak Kume-kun datang membawa buku dan Akutagawa-kun berhasil menciptakan serangan Shinshokusha di buku Dan-kun, aku kembali ke masa kalian bergantian mengunjungi kamar Akutagawa-kun membawa ide masing-masing. Apa kalian ingat?”
“Kikuchi-san membawakan makan pagi, aku memberikan bunga matahari,” terang Hori. “Kume-san meramu cocktail, Dazai-san ….”
“Dazai-kun mengajakku baca buku Ningen Shikkaku-nya.”
“Dari kunjungan mereka, mana yang paling memungkinkan berhubungan sama Akutagawa yang mampu membawa Shinshokusha ke buku Dan-kun hanya berbekal sentuhannya?”
Di antara mereka yang terdiam, Musha angkat bicara. “Kurasa hanya ide Kume-kun paling mendekati.”
“Karena disentuh?” Kume menanggapi sahutannya. “Mushanokouji-san, memangnya yang lain tidak?"
“Sebagai orang yang hadir di tempat, aku hapal rencana kalian. Kikuchi-kun mengantar makanan pakai nampan, Hori-kun menenteng vas bunga dan langsung meletakkannya di atas meja, dan kamu membawa dua gelas cocktail di tangan ... yang bisa kuasumsikan kamu serahkan langsung ke tangan Akutagawa-kun.” Musha tetap teguh pendiriannya. “Dazai-kun yang membagi bacaan novelnya bisa jadi mencurigakan, hanya saja berdasarkan analisis Shimazaki-san dan dirinya yang berstatus korban, kurasa Dazai-kun bukan orang yang sepatutnya dicurigai.”
“Apakah kenyataannya benar, Akutagawa-kun?” Touson berbalik ke Akutagawa. “Kamu yang menemui mereka, kamu pasti hapal apa yang mereka lakukan di kamarmu.”
“… seperti kata Mushanokouji-san.”
“Dazai-kun,” sahut Touson. “Kurasa kamu sedang memikirkan sesuatu. Boleh beritahu kami?”
Terlalu aneh bagi seorang Dazai diam-diam saja selama dirinya jadi objek pembicaraan. Banyak hal yang ia pertimbangkan sejak ia kembali. Hubungan Kume dan Akutagawa baik—Dazai masih ingat perkara Kan dan Kume menginap di kamar guru idolanya—lantas untuk apa ia melimpahkan semua kejahatannya agar Akutagawa yang memikulnya?
Dazai termasuk orang yang menolak penjelasan Touson, itu benar, namun ketika Musha menerangkan kesaksiannya, kenapa ia tidak tergerak melindungi orang yang dihargai Akutagawa?
“Aku … tidak menganggap Kume-sensei bersalah.” Dazai mengutarakan isi hatinya. “Aku mau percaya apa yang Akutagawa-sensei yakini, tapi ….”
“Hm?”
“Sebelum aku datang ke tempat Akutagawa-sensei, aku ….”
Buntu. Dazai sedang mengalami kebuntuan. Apa yang harus ia berikan ke Akutagawa? Ia benar-benar bodoh. Lagaknya pede sekali pas menentukan cara menghibur Akutagawa, kenyataannya ia plonga-plongo penuh kebingungan.
Makanan bukanlah opsi terbaik baginya. Kan, yang susah payah mengingat makanan kesukaan Akutagawa menempati posisi teratas dalam hal menyenangkannya. Dazai tidak terbayangkan menenteng makanan lain—kare buatan Odasaku misalnya—dapat melawan makanan pemberian teman lama.
Hori mengambil posisi aman, menyiapkan bunga matahari supaya kamar Akutagawa lebih ‘bercahaya’. Entah bagaimana isi kamar Akutagawa, yang jelas Dazai setuju sekaligus iri terhadap kecerdikan Hori menentukan ide. Bunga dan Akutagawa sangat cocok disatukan!
Kontestan selanjutnya … Dazai tidak menyangka Kume menemukan tujuannya sebelum dirinya. Apa yang dia siapkan? Miras? Ke Akutagawa yang tidak kuat minum? Bukankah malah menyebabkan efek berkebalikan dari yang diharapkan semuanya?
Dazai tidak tahu detailnya rencana Kume. Yang jelas, hal ini sungguh mengkhawatirkan. Ia tidak boleh membiarkan Akutagawa semakin terpuruk (terutama karena teman dekatnya tidak cukup sensitif memahami ketidaksukaannya terhadap sake). Dengan langkah percaya diri, Dazai mencari-cari sosok Kume yang semula berkata ingin mempersiapkan minumannya.
Baru memasuki dapur, gelak tawa Chuuya mengagetkan Dazai. Bukan karena bayangan perangaian Chuuya yang bakal mengganggunya, Dazai lebih terkejut karena ia tidak melihat sosok penyair itu di dapur meski suaranya sangat jelas.
Suara tawanya berganti obrolan-obrolan kecil. Pastilah Chuuya sedang mengobrol. Berdasarkan penilaian situasi sederhana Dazai, dapat dipastikan peluang Kume adalah teman bicara Chuuya tidaklah kecil. Yang jadi permasalahannya … di mana mereka berada?
Lorong Dazai berjalan hingga mencapai dapur tidak menampakkan satupun ruangan, dan bukankah di sebelah hanya dinding dan tanaman hias di sepanjang sisa lorong?
Lantaran tak punya pilihan lain, Dazai keluar dan mengikuti arah suaranya. Benar saja, tak jauh dari dapur, sebuah pintu yang awalnya tidak pernah ada mendadak muncul. Mengambil lima langkah dan berhenti tepat di depan, Dazai terpesona kala matanya melihat sebuah bar penuh minuman-minuman keras.
“Oh, momo no hana yarou!” teriakan Chuuya meretakkan sedikit pesona bar. “Ngapain bengong? Sini!”
“Tempat ini ….”
“Alkemis baru menciptakannya.” Tebakan Dazai benar. Kume yang menemani Chuuya di bar ini. “Masuk, Dazai-kun. Nakahara-kun bilang kamu termasuk yang suka minum-minum.”
“Dia jago ngeracik, lho!” Chuuya memamerkan gelas yang menyisakan sedikit cairan. “Buat permulaan emang paling enak minum cocktail!”
Aroma jeruk yang segar ditambah bau khas galliano menghinggapi hidung Dazai. “Kok kayaknya enak?”
“’Kan tadi aku bilang!”
“Sebentar, Dazai-kun, biar kubikinin.”
“Eh tunggu dulu!” sebuah alarm bawah sadar ‘menyadarkan’ Dazai. “Aku ke sini bukan mau icip-icip—yah sedikit boleh, sih—aku mau nanya sesuatu ke Kume-sensei!”
“Nanya apa? Kok aku deg-degan, ya ….”
“Anu …” Dazai mencari-cari kata yang tepat. “Soal ide sensei kasih minuman ke Akutagawa-sensei … apa … apa sensei sudah pertimbangkan kondisi Akutagawa-sensei yang—”
“Nggak suka minuman keras dan memilih menghindarinya?” Kume melengkapi sebelum Dazai selesai. “Aku udah memperkirakannya. Sebaiknya kamu coba dulu cocktail racikanku ini.”
Kume memeras jeruk nipis dan mencampurkannya dengan cairan yang sejak awal tersedia di alat pengocok. Setelah mengocok isinya beberapa detik, ia menyaring minuman berwarna kuning tersebut dan menghidangkan tiga gelas yellow bird cocktail. Kume menyerahkan satu gelas ke Dazai.
Tanpa membuang waktu, Dazai menyesapnya. Manis dan asam, menyatu dalam kesegaran kombinasi jeruk dan jeruk nipis. Sentuhan galliano dan rum yang tidak terlalu kuat memberikan sensasi minuman musim panas yang baru dimulai.
“Enak!”
“Oke ‘kan?” Kume lega melihat kepuasan Dazai. “Minum-minum adalah dasar segala dasar merilekskan diri. ”Makanan Kan dan bunga Hori-kun punya sisi pendukungnya masing-masing, aku cuma mau menambahkan ‘ketenangan’ baginya.”
“Hmm, masuk akal.” Dazai meminum habis cocktailnya. “Maaf ya Kume-sensei, kupikir sensei bakal lupa kondisi Akutagawa-sensei.”
“Kamu lakuin yang bener, kok. Jangan salahin dirimu.”
“Kalau aku boleh merepotkan sensei lagi … ah, Chuuya juga boleh kasih pencerahan … kira-kira selain makanan, bunga, dan minuman, aku sebaiknya kasih apa ya buat Akutagawa-sensei?”
“Lho, belum mutusin?”
“Ma-masih bingung, nih, sensei.” Dazai cengengesan. “Bantuin dong, Kume-sensei, Chuuya! Dikit lagi Hori-sensei keluar, Kume-sensei ngasih minuman, masa’ aku diem-diem aja?!”
“Bodoh sih nggak dipikiring mateng-mateng dari lama.”
“Nentuin sesuatu buat Akutagawa-sensei tuh nggak bisa langsung plek-plek jadi, Chuuya!”
Di antara keributan Dazai dan Chuuya, Kume menimbang-nimbang saran terbaik. “Akutagawa-kun … belakangan ini bahas soal kamu.”
“Ih, Chuuya nggak bantu—APA?!”
“Pertama kali ngobrol di kamarnya, dia cerita banyak tentang pertuan pertama kalian, tentang keseharian kalian sampai aku dan Kan datang.” Dua gelas cocktail yang belum tersentuh menjadi objek yang diperhatikan Kume. “Dia bilang Dazai-kun anak yang penuh semangat, siapapun yang berada di dekatnya bisa ketularan keceriaannya, dan dia senang kalian bertemu di sini.”
“I-ini beneran, sensei?!
“Ngapain aku bohong?” Kume membalasnya agak judes. “Salah satu cerita yang paling berkesan … soal kamu yang menawarinya baca Ningen Shikkaku. Dia bilang kepribadian penulis dapat dilihat dari caranya menuliskan cerita, dan sejujurnya Akutagawa-kun menganggap karya itu memberikan sudut pandang lain tentangmu yang baru dipelajarinya. Aku nggak tahu ini cocok atau tidak, tapi setelah mengamati ketertarikannya terhadap karyamu, bagaimana kalau kamu mengajaknya membaca karyamu lagi? Kebetulan Akutagawa-kun belum selesai membacanya, ‘kan?”
“Hoo, penggagas ide membaca Ningen Shikkaku Kume-kun?”
Dazai melirik Kume. Ia tak berhasil mengetahui bagaimana raut wajahnya selepas ia menerangkan kejadian. “… benar.”
“Memangnya aneh?” protes Kan. “Wajar Kume mengatakannya. Ryuu beneran cerita ke kita. Jika aku yang ditanyai Dazai, aku palingan nyaranin hal sama.”
“Justru aneh. Dari pernyataan Dazai-kun, kita mulai sadar Kume-kun yang mengatur semua skenario yang menyebabkan Dazai-kun terjebak di bukunya.”
“Hah?”
“Sejak kalian selesai mengunjungi Akutagawa-kun, siapa yang mencetuskan ide awal masuk sendiri-sendiri? Siapa yang memberi petunjuk ikan kesukaan Akutagawa-kun? Siapa yang mengaku belum terpikirkan rencana sehingga menciptakan situasi dirinya bertemu Dazai-kun dan menyarankan buku bacaan yang bisa memicu emosi negatif?” Touson melemparkan pertanyaan bertubi-tubi. “Coba perhatikan pola yang terjalin dan efek yang didapat Akutagawa-kun setelahnya.”
Memberikan sesuatu yang menangkan dan perlahan-lahan dipaksa terjatuh. Itukah yang dimaksud Touson?
“Ini cuma tebakanku …” Saku sedikit segan mengungkapkannya. “Orang yang merencanakan keseluruhan pola mengingatkanku soal Haguruma.”
“Haguruma?”
“Protagonis yang diburu kecemasan karena hal-hal yang mengganggunya. Penekanan soal sesuatu yang dilihatnya, pada warna-warna yang mencolok, sepanjang cerita Ryuu-kun menyelipkannya.” Kepercayaan diri tentang karya temannya membuat Saku tidak ragu menerangkan. “Orang itu pasti memahami karya-nya secara mendalam, sama sepertiku.”
Kebetulan demi kebetulan mulai bermunculan. Perkembangan titik terang kasus sampai sejelas ini adalah sesuatu yang Touson harapkan sejak ia menyatakan Kume pelakunya. Akutagawa maupun Kan tidak mengeluarkan sanggahannya; mereka memilih diam hingga semua hal berhasil dibuktikan.
Demi memenuhi harapan mereka, Touson siap melanjutkan. “Kalian paham implikasi yang Dazai-kun sampaikan. Kita langsung teruskan ke kasus Shuusei. Semua detail sudah Hori-kun bahas tempo hari jadi aku hanya menekankan hal yang belum disimpulkan.
“Shuusei diserang seseorang. Abaikan alibi semua yang sendirian di malam itu, yang kita perhatikan cukup lokasinya ditemukan.”
Yang dimaksud Touson adalah tempat mereka semua berdiri saat ini.
“Ruang baca … kenapa ruang baca? Hanya kumpulan buku yang tersedia di sini, sebuah outlet yang paling vital jika ada yang mau menyerang para penulis.” Touson yakin segelintir orang paham implikasi ucapannya. “Lokasi Shuusei tidak jauh dari dua buku yang nantinya mengalami korosi. Kume-kun mungkin lebih paham keseluruhan skenarionya. Kira-kira proses penodaan hampir selesai atau bahkan sudah selesai, namun sayang, belum sempat kabur, Shuusei keburu memergokimu.”
Touson berusaha memanasinya lagi. “Mencari dua buku di ruangan gelap bukan perkara mudah, ‘kan? Pasti kamu seenggaknya bawa senter. Waktumu nggak banyak, kamu sadar masih ada yang berkumpul di ruang makan, makanya kamu mengambil risiko memanfaatkan waktu singkat usai makan, membawa senter yang kamu harapkan membantumu secepatnya, tapi sayang, justru benda itu yang membawa Shuusei menemukanmu. Lalu bukan hanya itu, bahkan setelah sosokmu diketahui Shuusei, rombongan Sakaguchi-kun membuatmu harus pergi supaya alibi tercipta.”
“Shimazaki!”
“Boleh aku kasih masukkan?” Touson mengabaikan Akutagawa. “Kamu yang blak-blakan melemparkan semuanya ke Akutagawa-kun itu justru membuka identitasmu sendiri, lho. Kalau aku jadi kamu, aku nggak bakal menargetkan satu orang. Semua kena bagian, termasuk diriku sendiri, tanpa membiarkan satu enigma tampak. Yah, kurasa versi pelaku kamu dan aku berbeda; aku melihat dari sudut Shinshokusha yang memendam kebencian ke semua penulis, sedangkan kamu … cocoknya apa, ya?”
“Jika mereka memang diliputi kebencian, apa mungkin alasan mereka menyerang justru karena rasa cinta?”
“ Menarik juga. Cinta berlebihan yang membawa petaka ... aku rasa itu bahan novel yang bagus.”
Gelas di atas meja tidak pernah menumpahkan setetes pun air di dalamnya. Ia berdiri kokoh, menahan getaran demi getaran yang diberikan dunia luar, bagaikan sekat tak kasat mata melindungi dari segala risiko membasahi taplak putih di bawahnya.
Keangkuhan sang gelas akan keandalannya seharusnya abadi, andai saja jika sebuah tangan tidak mendorongnya sehingga air yang berusaha ia pertahankan tidak jatuh dan tumpah ruah, mengeluarkan cairan hitam yang membusuk entah sejak kapan.
Perumpamaan tersebut, ironisnya, menggambarkan kondisi seseorang yang belum mengeluarkan penolakan atas penjabaran Touson. Seseorang yang sepenuhnya terbukti paling mencurigakan.
“Kume, lupakan omong kosong Shimazaki.” Akutagawa menatap sengit Touson. “Bagian akhir analisisnya dipenuhi bias nggak masuk akal.”
“Shimazaki-san, dibanding penulis naturalis, kurasa kamu cocok banting setir jadi penulis misteri.”
Kume tak lagi diam. Pertanyaannya menimbulkan senyum antusias di bibir Touson. “Kuasumsikan analisisku tepat sasaran?”
“Aku nggak memperkirakan kau mampu menurunkan ego-mu dan bekerja sama dengan mereka.” Secara tak langsung, ucapannya merujuk ke dua rekan Touson; Musha dan Saku. “Dalam cerita misteri pun, pemeran utama dibantu kawan-kawannya memecahkan kasus. Sebagai mantan penulis genre misteri, harga diriku hancur gara-gara melupakannya.”
“Dari dulu aku selalu terima masukkan, kok.”
Caranya berbicara sungguh janggal di mata Akutagawa. “Kume … apa maksudmu?”
“Mau diterangin seberapa jelas?” ekspresi penuh tekanan dan kebingungan seolah lenyap dari wajahnya. Kume meninggikan kepalanya. Matanya memandang rendah mereka yang berdiri dihadapannya. “Kupikir kau lebih pintar, Akutagawa-kun.”
Sulit bagi Akutagawa menerima kenyataan bahwa sahabatnya adalah orang yang menyebabkan semua malapetaka. Di tempat yang tak jauh, terdapat seseorang yang juga—bahkan melebihi Akutagawa—tidak menyangka teman yang dibangkitkan di waktu yang sama adalah kawanan Shinshokusha.
“Kenapa kamu memihak mereka?!” jerit Kan. “Bukannya tujuan kita sejalan? Bukannya selama ini kamu menolong Ryuu menulis dan bertarung bersama? Apa semuanya pura-pura?!”
“Aku nggak pernah bilang mau ikut sesi wawancara.” Kume mengabaikan kemarahan Kan bagai angin lalu. “Semua kulakukan demi memuluskan rencanaku. Yah, kamu sendiri juga sih yang menghancurkannya secara nggak langsung.”
Kan berusaha mencerna pesan dibalik kata-katanya namun tak berhasil. Touson mengangkat satu tangannya dan melandaskannya ke dagu. “Aku belum memetakan analisis pasca menyimpulkan Kume-kun pelakunya, tapi sepertinya nggak perlu banyak mengira-ngira kalau kamu kemungkinan besar berhubungan dengan Shinshokusha jauh sebelum dipanggil ke sini.”
“Apa jawabanku berguna menyelesaikan semuanya?”
“Nggak, aku cuma penasaran keuntungan apa yang ditawarkan mereka supaya kamu bersedia memerankan tokoh ‘jahat’.”
Gerakan tangan Touson barusan merupakan pesan tersirat untuk beberapa orang. Sebelum tim Akutagawa kembali, ia sudah memperkirakan terjadinya pertarugan di tengah aksi pengungkapan pelaku. Lawan mereka adalah penulis yang berafiliasi dengan Shinshokusha, seseorang yang mampu menciptakan noda bagi buku dan orang yang dikehendakinya.
(Kita nggak bisa bersikap naif, berharap si pelaku menyerah dan masalah teratasi. Kita harus menyiapkan rencana jika situasi mendesak.)
Biar tubuhnya kecil, Hori orang pertama lah yang siap menangkap terduga pelaku. Orang yang mereka konfrontasi adalah orang yang tidak segan-segan mencuri roda gigi Shuusei, menodai banyak buku, melukai Oda, dan paling parahnya lagi, menciptakan kondisi sosok berwujud ‘Akutagawa’ membunuh Saisei.
Aku nggak boleh ragu.
“Pastinya sesuatu bernilai yang tidak kalian pahami.” Kume memberikan tanggapan yang sebagian besar diliputi makna terselubung. “Justru aku yang seharusnya bertanya; keuntungan apa yang kalian dapat dengan bertarung setelah dipaksa hidup kedua kalinya?”
“Padahal sejak dibangkitkan, Kanchoudairi ngulang kalimat ini mulu, lho.” Touson memasang sikap pasif-agresif. “Melindungi sastra, melindungi buku-buku yang kita buat.”
“Meskipun sastra itu sendiri membunuh orang?”
Pernyataannya, ditambah matanya yang menyipit dan tampak muak meninggalkan impresi aneh pada diri Akutagawa.
“Jangan memutarbalikkan kenyataan,” tanggap Saku. “Yang melukai dan membunuh orang di sini kamu dan Shinshokusha, ‘kan?”
“Ini yang orang bilang demi kebaikan yang lebih besar. Tujuan kami sama meski prinsipnya berbeda.”
“Tujuan apa sampai kau mau menghancurkan sastra yang semuanya—bahkan kau sendiri—buat?!” Kan masih belum selesai mengeluarkan emosinya. “Kume, yang kau ikuti selama ini kesesatan emosi negatif. Mereka memanipulasimu!”
Apa yang berusaha Kan sampaikan tidak salah. Berdasarkan pengalaman mereka berhadapan dengan Shinshokusha, semua penulis yang terjebak mengalami distorsi ingatan dan emosi, menyebabkan arus korosi semakin menyebar di setiap halaman buku dan mempersulit poses penyucian.
“… memangnya kalian tahu apa?”
Gumaman Kume tidak terdengar, hanya saja gerak mulutnya diketahui sebagian orang. Tidak ada yang memastikan ucapannya.
“Rencanamu sudah terbongkar. Melawan pun sia-sia karena posisimu berada di perpustakaan yang menghalau energi negatif masuk.” Secara tidak langsung Touson menyatakan kekalahan Kume. “Aku nggak mendukung persekusi, tapi kau punya sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan.”
Menangkap Kume dapat meningkatkan peluang mereka mempelajari Shinshokusha lebih jauh. Kume berbeda dengan Saku yang sempat berpihak ke Shinshokusha; meski buku dan dirinya sudah diselamatkan, secara sadar ia tetap melanjutkannya meskipun monster tersebut tidak berada di sebelahnya memberi komando. Hal ini membuktikan Kume mempunyai ikatan kuat dengan mereka.
“Kau bisa mulai menjelaskan siapa dan rencana apa yang kau sepakati dengan mereka.” Keputusan akhir di benak Touson adalah mengorek informasi agar mereka bisa membasmi mereka sepenuhnya.
“Ditekan sana-sini ujung-ujungnya aku nggak punya pilihan.” Kume mengangkat kedua tangannya. “Tapi sebelumnya, mungkin sebagai bahan evaluasi kemudian hari, aku mau terima masukan Shimazaki-san dulu.”
“Masukan?”
Sesuatu terjatuh. Semua fokus beralih ke sosok yang merintih kesakitan. Touson tidak selengah itu untuk menengok, tapi ia tahu seseorang tumbang.
“Chuuya?!” “Odasaku?!” “Mushanokouji-san!”
Api biru yang selalu membakar Shinshokusha bermunculan di sekitar tubuh Chuuya, Oda dan Musha. Kesadaran mereka semakin memudar di saat api semakin berkobar. Setelah api sukses menutupi seluruh badan, wujud keduanya lenyap menjadi abu.
Kume tidak terkejut, tidak, ia tahu itu akan terjadi. “Karena gerak-gerik kalian belakangan mencurigakan, wajar aku menyiapkan rencana cadangan, ‘kan?”
“Nakahara-san, sake yang kamu ambil keluaran mana? Boleh aku lihat?”
“Terima kasih sudah mengambilkan topiku, Oda-kun.”
“Buku yang Mushanokouji-san baca sepertinya menarik.”
“Kume … kau—”
Selain mereka, Kan yang berdiri di dekat Kume juga mengalami hal yang sama.
“Kan!” Akutagawa ingin menolong temannya andai Hori tidak menahannya sekuat tenaga. “Tacchanko, aku—”
“Jangan gegabah, Akutagawa-san!” bantah Hori. “Seperti kata Shimazaki-san, ia punya kontrol menghadirkan reaksi negatif hanya berbekal sentuhannya. Berbahaya kalau kita ikut terpengaruh.”
“Lalu kamu mau mengabaikannya?!”
“Bukan, maksudku, utamanya kita harus—”
“Mundur, Hori-kun, Akutagawa-kun!”
Perdebatan keduanya terhenti akibat Kume berlari ke tempat mereka. Kecepatannya mendekat dibanding refleks Akutagawa dan Hori terlampau jauh. Tidak mungkin mereka berdua mampu menghindar tepat waktu. Dengan mempertimbangkan baik buruknya, ia mendorong Akutagawa.
“Hagiwara-san! Tolong tarik Akutagawa-san!”
Permintaan Hori berhasil dikabulkan Saku. Analisis Touson sudah terbukti. Satu sentuhan tangan Kume langsung melenyapkan murid Akutagawa.
“Tachhanko!!”
“Teman kalian udah mulai tumbang setengahnya.” Kume mengambil langkah di saat yang lain mundur dan berpencar. “Gimana kalau kalian mengikuti jejak mereka?”
“Kau pembunuh Sai?”
Saku menarik Akutagawa supaya posisinya berdekatan dengan grup Buraiha. Sulit menerka perasaannya yang bersembunyi dibalik sosoknya yang berdiri di paling depan.
“Bukannya kamu yang bersaksi pembunuhnya Akutagawa-kun?”
“Kau pembunuh Sai?”
“Dibilang pembunuh tidak benar. Aku hanya memberi instruksi dan dia yang mengeksekusinya.”
“Kata-kata waktu itu ….”
(Keberadaanku adalah bentuk pembalasan atas kesalahanmu memilih sisi yang seharusnya kau pilih)
“Oh, maksudmu tentang bisikan misterius yang dia ucapkan?” Kume mengangguk paham. “Sesuai, ‘kan? Orang tidak tahu malu yang kabur dari kesepakatan sepertimu sudah sepantasnya dihadiahkan pinalti pelanggaran.”
“Hanya karena aku … memilih mengikuti Sai … kalian ….”
“Benar.” Saku yang mudah mencerna makna tersebut sangat diapresiasi Kume. “Hanya karena itu Muroo Saisei mati konyol.”
Sesuatu di dalam diri Saku terputus. Ketenangannya buyar dan tergantikan amarah yang membuncah keluar. Ia berlari sekuat mungkin, tangan berbentuk kepalan, dan ia hendak menargetkan Kume yang masih diam di tempat.
“KUBUNUH KAU!”
“Saku—” “Hagiwara-kun!”
“Amarah bisa mengeluarkan kekuatan yang tidak disangka-sangka.” Kume menghindar ke samping. Tangannya menyentuh punggung Saku tanpa usaha berlebih. “Sayangnya, kamu harus menyeimbangkannya bersama logika agar kekuatanmu berguna.”
“Hentikan, Kume!”
Tak mempedulikan pinta Akutagawa, Kume berganti mengincar Touson. Berbekal bangku di dekatnya, Touson berupaya menghalau kecepatan Kume dengan melemparnya. Usahanya membuahkan hasil. Kume harus mundur selagi dirinya melebarkan jarak.
Sepintas pergerakan Kume terlihat seperti terkaman predator. Ia mengincar satu orang dibanding grup empat orang dan terdistraksi oleh bangku yang dilempar ke arahnya. Touson merasa janggal. Kume menyerang orang yang sendirian walau posisi Touson terlampau jauh dan tidak efisien baginya.
Aku dipaksa terpojok ke belakang. Tunggu, di sana—
Kume mengincar Alkemis. Touson menyadarinya terlalu lama. Belum sempat mengingatkan, sebuah benda kayu melayang melewati Kume, menghentikan langkahnya sementara.
“Untung aku persiapan nyimpen alat latihan ke dalam kantong.” Ango memegang pisau kayu cadangan di tangannya. “Dia mau ke tempat Neko, ‘kan?”
Anggota Buraiha rupanya tidak tinggal diam sejak Touson dan Musha ditargetkan. Mereka bertiga membentuk formasi mengepung Kume. Pisau yang Ango lemparkan tadi memiliki dua tujuan; melemahkan fokus Kume sekaligus menyerahkan Dan senjata.
“Aku belum tahu apa-apa semua hal yang terjadi di sini.” Dan menatap tajam Kume. “Tapi, aku nggak akan membiarkan orang yang mencemarkan buku Dazai kabur.”
“Akutagawa-sensei, tetap di belakangku,” pinta Dazai. “Biar kami yang menangkapnya.”
“Menangkap?” Kume memastikan pendengarannya tidak salah. “Kalian percaya diri bisa menangkapku?”
Tanpa membalasnya, Dan dan Ango maju bersamaan. Mereka menyerang Kume dari belakang dan depan, mengarahkan pisau mereka ke Kume sembari menghindari sentuhan tangannya mengenai tubuh mereka. Dazai tidak ikut menyerang. Ia menunggu momentum yang tepat untuk melumpuhkan pergerakannya.
Apa yang ditunggu Dazai, ironisnya, tidak kunjung datang. Keterbatasan tempat dan fokus yang terbelah selalu menggagalkan usaha keduanya. Begitu irama pertarungan semakin mengabur, tidak perlu waktu lama bagi Kume melenyapkan mereka satu persatu. Dua pisau kayu berhasil diamankannya.
“Dan!! Ango!!!”
“Sakaguchi-kun cerdik juga.” Kume menusuk-nusukan pisau tersebut di tangannya seakan tak mempedulikan kengerian yang tergambar di wajah Dazai. “Aku harus lebih mengawasinya.”
“KAU—”
“Oh, masih sisa kalian.” Kesenangannya memainkan pisau sirna. Kume mengamankannya ke dalam kantong. “Shimazaki-san, Dazai-kun, Akutagawa-kun … kombinasi menarik.”
Keinginan meneriaki semua yang terjadi serba cepat ini tidak lagi tersedia. Akutagawa rasa apapun yang ia pertanyakan tidak akan mendapat jawaban dari Kume bagaimanapun ia bersikeras menuntutnya. Kume yang berdiri di antara abu yang tak berbekas bukan Kume yang selama ini di sampingnya, hanya itu yang Akutagawa yakini.
Tunggu, barusan—
“Berapa kira-kira peluang kalian sukses melindungi Alkemis dan si kucing ajaib?”
Touson memilih jujur. “Kurang dari 10%.”
“Lumayan tinggi persentasenya.” Kume takjub Touson tidak memasang angka di bawah 0. “Supaya lebih cepat, gimana kalau kalian pilih di antara dua situasi yang kutawarkan; membiarkanku pergi ke ruang Alkemis dan menyelesaikannya tanpa rasa sakit atau kalian mati-matian bertahan di pertarungan sia-sia lalu terbakar api hingga jadi abu?”
“Kume-kun, kupikir kamu sebaiknya memasukkan opsi yang menguntungkan pihak kami.”
“Aku sudah memberikan kalian kesempatan selama ini. Salahkan diri kalian yang membuang kesempatannya.” Curiga Touson mengulur-ulur pembicaraan, Kume turut memperhatikan Dazai dan Akutagawa. “Jadi, apa keputusan kalian?”
Sebuah senyum aneh Touson ulas.
“Kami punya pilihan lain, ‘kan?”
Sosok yang berusaha meraihnya dari belakang sudah terbaca. Kume melengahkan pengawasannya sekalipun lawannya putus asa. Akutagawa bukanlah pengecualian.
“Akutagawa-sensei!”
“Siasat bodoh.” Kume memegang lengan Akutagawa. “Apa yang kau harapkan menyerbu ragu-ragu begini?”
Api biru seharusnya mulai menyiksa, lantas mengapa Akutagawa tidak bergeming saat kobarannya membesar?
“Kena—”
“Kamu nggak bisa benar-benar melenyapkan kami,” potong Akutagawa. “Hanya wujud yang bisa kamu hilangkan, bukan jiwa. Logikamu berbenturan dengan penjelasan Kanchoudairi.”
“Secara singkatnya, tubuh yang kalian punya sekarang adalah representasi dari diri kalian di masa lalu . Untuk bisa menciptakan tubuh yang bisa bergerak dan bertarung melawan mereka, kalian membutuhkan medium yang dapat menyimpan jiwa kalian di dalamnya.”
“Setiap ada emosi negatif yang terhubung dengan Shinshokusha yang berusaha masuk ke perpustakaan, Alkemis akan membasmi mereka. Makanya yang bisa dilakukan Shinshokusha hanya menyerang buku, medium yang memiliki dunia lain di luar perpustakaan.”
“Kamu cuma membuat semuanya terkena korosi dan menjebak jiwa mereka ke dalam buku.” Touson menambahkan. “Andai kamu memusnahkan Alkemis, mungkin perkataanmu bakal jadi kenyataan, tapi yang kami lihat sekarang, kamu hanya menggertak saja.”
“Makanya aku nggak akan biarin kamu menyentuh Kanchoudairi maupun Alkemis.” Akutagawa melepas pegangan Kume dan berganti menahan kedua tangannya. “Energi negatif ini … semuanya akan kutelan, bersamamu, dengan begitu kamu pun bakal berhenti menyebarkannya dan terjebak di buku bersamaku, ‘kan?”
“A-Akutagawa-sensei!”
“Jangan mendekat!” perintah Akutagawa membuatnya tersentak. “Kamu mau menggagalkan semuanya?!”
Dazai tidak mau mematuhinya. Kenapa ia harus melihat guru yang ia kagumi mengorbankan diri dari kejauhan? Tidakkah Akutagawa mengerti betapa hancurnya Dazai mengalami ‘kepergian’ Akutagawa kedua kalinya?
Sebelum langkah pertamanya bergerak, Touson menghentikannya. “Jangan mengganggunya, Dazai-kun.”
“Shimazaki-sensei, apa yang Akutagawa-sensei lakukan—"
“Kita harus memanfaatkan kesempatan yang disiapkannya.”
“Lepas … Akutagawa-kun.” Tenaga Akutagawa sangat kuat. Kume kesulitan melepaskan diri. “Kamu suka sekali membunuh dirimu sendiri?”
“Soal itu aku belum dapat gambaran jelas. Apa kamu bersedia menceritakannya nanti?” tanda-tanda tubuhnya menghilang mulai bermunculan. Akutagawa tetap tenang menghadapinya. “Kita punya banyak waktu.”
“Yang kalian temui selepas lenyap bukan aku.”
“Kalau begitu, kupastikan peganganku kuat supaya kamu bisa memanduku ke tempat yang lain.”
Banter Akutagawa dan Kume semakin senyap kala keduanya memudar. Teriakan Dazai terlalu besar, mustahil Akutagawa tidak mendengarnya, tapi semua itu tidak melemahkan pendiriannya.
Akutagawa menyempatkan diri menengok ke arah Dazai dan Touson di detik terakhirnya. Tatapan lembutnya tidak akan pernah dilupakan Dazai.
“Sisanya … kuserahkan pada kalian.”
To Be Continued