Chapter Text
Jimin bilang petang itu kalau rasa-rasanya dia sakit, tepat setelah tangis berhenti. Dia sempat bertanya bagaimana bisa Jungkook pernah menangis akibat tawa di saat yang dia rasakan hanya sesak di dada, sulit rasanya untuk bernapas. Ambil udara saja sudah menyiksa paru.
Jungkook ketakutan, tentu saja. Terngiang benar bagaimana perkataan Jimin soal ia tidak pernah menangis. Tidak jika belum merasakan sakit dan tadi Jimin menangis sembari memeluk Jungkook dengan bibir terus saja bergerak mengucap kalimat pendek yang sama.
“Semuanya tidak nyaman.”
“Sakit.”
Jimin demam malam itu tapi bersikeras mengusir Jungkook keluar dari kamar. Padahal pria itu masih mau membagi peluknya, masih mau dengan lembut mengusap bahu maupun puncak kepala Jimin sambil mendengungkan nada lembut dengan lirih, juga masih mau satu dua kali membagi kecup ringan di seluruh sudut paras Jimin.
Jungkook memang menurut, tapi begitu ia membuka mata esok paginya, ruangan Jimin menjadi tempat pertama yang ia tuju. Pria manis itu sudah bangun lebih dulu, tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Tangannya bertaut di pangkuan tapi mata menoleh menatap satu-satunya panorama yang bisa dilihat, bentang laut. Wajah yang Jungkook pikir akan amat pucat ternyata sudah kembali ronanya. Jungkook tak yakin bagaimana bisa tapi rasa lega jelas mengguyur. Tak ada yang dilakukannya selain memberi pelukan dan mencium dahi Jimin lama.
Namun, leganya tidak lama bertahan. Jimin dengan murung bilang, “Jungkook, airnya menyakitiku.”
***
Saat Jimin bertanya apa Jungkook mau menunggunya di bibir pantai usai ia pergi ke kuil di puncak pulau, Jungkook langsung mengiyakan. Saat Jungkook menawarkan sepatu yang biasa Jimin pakai, Jimin langsung memberi penolakan. “Daratan, aku ingin merasakannya lagi di bawah telapakku.”
Jungkook tidak berkomentar lebih jauh sekalipun rasanya mengganjal mendengar Jimin berucap sama seperti saat awal bertemu. Bagaimana bibirnya membentuk senyum juga masih amat mirip. Dulu dia suka saja melihatnya, tapi tidak untuk sekarang.
“Jungkook tidak apa-apa kalau mengingatku sendirian?” Pertanyaan itu muncul ketika Jimin baru duduk di sisi Jungkook, seperti biasa sambil memeluk lutut. “Kurasa orang-orang di sini tidak akan ada yang mengingatku nanti.”
“Harusnya aku yang tanya, tidak apa-apa kau hanya diingatku saja?”
“Apakah menyenangkan rasanya kalau diingat banyak orang?”
Jungkook diam dulu. Terlepas dari profesinya, memang tidak seburuk itu diingat karena itu artinya dia ada. Seminim apa pun ia menjaga interaksi, akan lebih menyenangkan ketika ia langsung dikenal saat saling bertukar sapa dengan orang-orang ketimbang harus mendapat ekspresi tanya di wajah mereka.
“Untuk figur-figur tertentu, lumayan menyenangkan saat mereka mengingatku.”
Jimin mengangguk. “Kalau begitu untukku Jungkook saja memang sudah cukup.”
Jungkook menggeser tubuh, mendekatkan diri ke Jimin sampai dua bahu mereka saling bersentuhan. Jimin anggap itu adalah izin untuknya menjatuhkan kepala di pundak Jungkook.
“Senja tidak pernah benar-benar terlihat cantik di mataku.”
Jungkook tidak tahu Jimin bicara untuk siapa tapi kalau memang pernyataan tersebut ditujukan untuknya, dia memang sengaja tidak memberi komentar.
***
Semalam, saat melihat Jimin hanya duduk di pinggir kolam menatap airnya, Jungkook bertanya, “Tidak mau masuk?”
Jimin menggeleng. Bibirnya bergetar saat mengucap, “Airnya tidak suka aku.”
Seharian itu Jungkook banyak mengunci mulut. Hal paling jauh yang ia lakukan paling sebatas menggandeng tangan. Tapi kali ini dia sungguhan ingin memeluk. Tidak perlu menunggu Jimin mengulurkan tangan, Jungkook sudah langsung mendekat untuk menangkup paras Jimin. Sengaja ditatapnya manik Jimin yang entah sejak kapan juga sudah tidak punya lagi kilau birunya. Baru direngkuhnya sosok itu.
“Jangan menangis, jangan, jangan.” Bagaimana Jungkook tidak takut saat tahu kalau Jimin menangis, artinya dia sedang sakit?
Sama seperti kemarin, Jimin memberi tahu dia tidak mau Jungkook menemani lelapnya. Tapi sebelum mengusir Jungkook keluar, Jimin tatap lama sekali paras Jungkook. Banyak pujian keluar dari mulut dan rengutan karena rasanya dia ingin sekali bisa menggambar wajah Jungkook.
“Daripada menggambar, bagaimana kalau menulis.”
“Soal Jungkook?”
Usai memberi anggukan, Jungkook jadi ingat bahwa dia masih punya tanggungan satu lukisan untuk Jimin. Karenanya sebelum keluar kamar, Jungkook membuat sepotong janji. “Besok aku selesaikan lukisannya.”
“Jungkook bisa menggambarnya tanpa aku, ‘kan?”
Alis Jungkook terangkat. “Kau mau pergi?”
“Iya. Aku sudah punya janji.”
Mungkin harusnya dia langsung menggeleng saja waktu itu atau bertanya bertemu siapa. Dengan demikian, mungkin juga Jimin akan tetap di tempat. Karena itu, ketika ia tidak menemukan Jimin di kamar esok pagi, ia pikir hanya tinggal pergi lagi ke bibir pantai. Memang mana lagi tempat yang sekiranya akan Jimin tuju?
Harusnya juga Jungkook bisa langsung keluar mencari, kalau saja mata tidak jatuh menatap buku tempat Jimin menulis tentangnya dalam posisi terbuka di atas tempat tidur. Bagaimana tidak tertarik untuk membaca? Ia mendekat, duduk, kemudian dengan pelan membuka tiap lembar.
Seperti biasa, tulisannya tidak rapi. Deskripsinya pendek, soal bagaimana sosok Jungkook di mata Jimin. Hanya sekedar dia yang terlihat lucu saat terjatuh di ujung batu, makanya Jimin tertawa. Kemudian bagaimana ia harus memanggil Jungkook dengan bisikan karena tidak boleh dengan keras menyebut nama. Jimin menambahkan kalau ia suka, karena artinya bisa berjinjit dekat ke telinga Jungkook dan mencium wangi pakaian.
Jungkook agak tidak menyangka Jimin bisa menulis banyak hal karena rasanya waktu yang mereka lewati tidak sebegitu lama. Senyum Jungkook baru luruh begitu melihat lembar terakhir.
[Aku lihat seseorang mengatupkan tangan saat di kuil. Sambil menutup mata, mereka mengucap banyak minta. Aku tidak tahu pada atau untuk siapa. Tapi waktu itu aku juga ikut melakukannya. “Jungkook, jangan sakit.”]
Ada jarak cukup panjang dan di bawah sekali Jungkook menemukan satu kalimat yang sepertinya menjadi penutup.
[Jungkook, bahagiaku cuma sampai di sini tapi semoga Jungkook tidak.]
***
Jungkook bawa setangkai bunga dengan kelopak sederhana; mungil-mungil dan putihnya sama cerah dengan awan saat itu. Tangannya melimbai lesu, sudah seperti rapuh digoyang-goyang angin. Dia yang meminta Seokjin menunggu sebentar di tepi jalan sementara dirinya menapak pelan menuju ujung pantai yang lengang. Kakinya tahu di mana harus berhenti; ujung batu.
Ombak pecah sudah mulai membasahi dada tapi Jungkook hanya diam sembari memutar tangkai bunganya. Jauh ia pandang garis perpotongan laut dan langit. Ia ingat sebuah kutipan. Mereka bilang laut akan tampak indah jika suasana hati sedang tak nyaman. Jungkook membenarkan. Hampar paduan biru nampak makin memikat, mungkin karena ia butuh hal manis untuk mengisi kehilangan. Sesuatu yang mampu memberi kehangatan.
Jungkook membungkuk, meletakkan krisannya di sana. Pengganti ucapan selamat tinggal yang agaknya tak akan pernah mampu untuk ia ucap keluar.
Begitu kembali menyusuri jalan pulang, Jungkook dengar Seokjin bertanya. “Kenapa kalian memaksakan semua jika tahu bagaimana akhirnya?”
Jungkook memandang keluar jendela mobil yang sudah menyintas jalanan ramai. Keramaian dan gedung-gedungnya, semua asing sekali. “Aku yang tidak tahu akhirnya, Kak. Jimin tahu semua sejak awal.”
“Lalu ke mana dia pergi?”
Jungkook tidak tahu, dia tidak bertanya pada Jimin. Jadi, yang lirih keluar dari bibirnya hanya, “Jauh.”